My Shared on 4shared.com
By Yahya Jakfar
Al Qur'an di mata Syi'ah
Setiap Syiah harus, sekali lagi harus
percaya bahwa Al Qur'an yang ada saat ini tidak otentik dan mengalami
perubahan. Tidak percaya? Jangan terburu marah, baca dulu selengkapnya
Jika kita menelaah literatur-literatur syiah, maka akan anda temui banyak riwayat juga pernyataan para ulama syiah yang menegaskan bahwa Al Qur’an yang dijadikan pedoman umat islam saat ini sudah bukan asli lagi, alias sudah dirubah. Jadi kitab suci yang ada pada umat islam sejak dulu sampai hari ini menurut syiah sudah bukan otentik lagi, alias ada ayat-ayat yang bukan lagi wahyu Allah, tetapi ada juga hasil tulisan tangan manusia. Selain diubah, nukilan-nukilan itu juga menyatakan bahwa ada ayat-ayat dalam Al Qur’an yang dihapus. Intinya, Al Qur’an yang ada sekarang ini tidak seperti yang diturunkan oleh Allah pada Nabi Muhammad SAAW.
Sampai di sini para pembaca mungkin merasa heran dan bertanya-tanya, apakah benar syiah menganggap demikian? Mungkin anda pernah mendengar hal ini sebelumnya dan mengklarifikasi kepada teman atau tetangga anda yang syiah, dan dijawab oleh mereka bahwa hal itu semata-mata adalah fitnah dan tuduhan yang dihembuskan oleh musuh-musuh syiah, dari mereka yang ingin memecah belah umat Islam. Lebih jauh lagi, mereka akan menuduh orang yang menebarkan hal itu sebagai antek zionis yahudi. Astaghfirullah
Mengklarifikasikan sebuah tuduhan adalah sikap yang benar, dan seharusnya dilakukan oleh setiap muslim yang objektif, tetapi hendaknya kita tidak salah alamat dalam mengklarifikasi sebuah berita. Seperti kasus kita kali ini, mestinya kita mengklarifikasi tuduhan ini dengan melihat langsung ke literatur syiah untuk mengecek kebenaran berita ini, mengecek apakah benar ada kitab-kitab syiah yang menyatakan demikian atau tidak ada. Mengapa klarifikasi ke tetangga, teman atau dosen anda yang syiah adalah salah alamat? Ada beberapa sebab; bisa jadi teman, tetangga dan dosen anda belum pernah mendapat akses ke literatur itu, bisa jadi dia memang sudah mengakses tetapi dia mengingkari hal itu. bisa jadi dia adalah “anggota biasa” yang tidak tahu apa-apa, banyak kemungkinan. Tetapi semua itu tidak akan mengubah apa yang tercantum dalam kitab-kitab syiah. Di antaranya:
Abu Abdillah berkata: “Al Qur’an yang diturunkan Jibril kepada Muhammad adalah 17 ribu ayat”. Al Kafi jilid 2 hal 463. Muhammad Baqir Al Majlisi berkata bahwa riwayat ini adalah muwathaqoh. Lihat di Mir’atul Uqul jilid 2 hal 525.
Jika kita telaah lagi pernyataan-pernyataan ulama syiah mengenai ingkarnya mereka pada Al Qur’an hari ini, kita akan sampai pada sebuah kesimpulan berbahaya, yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kesimpulan ini berbunyi:
Setiap syiah harus mengingkari keaslian Al Qur’an, jika masih beriman bahwa AL Qur’an sekarang ini adalah asli otentik seperti yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAAW, maka dia bukan syiah.
Ada kalimat lain untuk kesimpulan di atas, yaitu setiap syiah harus meyakini bahwa al qur’an telah dirubah, ditambah dan dikurangi. Seseorang tidak bisa menjadi syiah jika tidak meyakini hal itu. Sehingga dapat kita katakan bahwa seorang syiah terpaksa meyakini hal itu jika masih ingin menjadi syiah. Di sini meyakini adanya penambahan, pengurangan dan perubahan terhadap ayat Al Qur’an menjadi sebuah konsekwensi yang melekat, dan tidak pernah akan lepas, bagi seorang penganut syiah.
Bisa dikatakan juga, mereka yang meyakini bahwa Al Qur’an masih asli tidak pernah akan menjadi syiah.
Saya mohon maaf pada pembaca karena barangkali telah membuat pembaca agak sedikit bingung –plus terkejut-. Tetapi ini adalah kenyataan yang harus kita ketahui. Barangkali anda akan bertanya mengenai hal-hal yang mendasari kesimpulan saya di atas, ini adalah pertanyaan wajar, dan memang saya akan mengetengahkan bukti-bukti dari pernyataan di atas. Saya katakan di atas bahwa yang akan mencapai kesimpulan seperti itu bukanlah saya pribadi, tetapi kita semua, seluruh pembaca makalah ini. Saya mengajak diri saya sendiri dan pembaca yang budiman untuk merasa tidak puas dengan omongan orang tentang sesuatu, sebelum merujuk pada sumber otentik dari sesuatu itu. anda jangan puas hanya dengan mendengar omongan dan –mungkin- bualan dari teman anda, tapi hendaknya kita melangkah jauh untuk memberanikan diri menelaah sumber-sumber otentik mazhab syiah. Pembaca akan mendapatkan apa yang tersembunyi dari mazhab syiah imamiyah, dan kami –team hakekat- berusaha untuk menampilkan sumber otentik lengkap dengan nomor jilid dan halaman.
Telah kita bahas di atas bahwa keyakinan terhadap diubahnya Al Qur’an adalah konsekwensi dari mazhab syiah imamiyah. Ulama syiah klasik benar-benar menyadari hal ini, maka keyakinan tentang perubahan Al Qur’an menjadi sebuah aksioma dalam mazhab syiah –yang tidak bisa diganggu gugat-. Apa yang mendorong para ulama syiah klasik memasukkan keyakinan ini sebagai aksioma? Karena mereka sadar bahwa menolak hal itu sama dengan menolak mazhab syiah. Mari kita simak nukilan dari ulama klasik syiah.
Pertama-tama, mari kita sadari bahwa riwayat dalam kitab literatur syiah yang menggugat keotentikan Al Qur’an hari ini mutawatir dan sangat banyak, sekali lagi, menurut ulama syiah sendiri. Sebuah kenyataan yang membuat setiap muslim bersedih.
1.Al Mufid –Muhammad bin Nu’man- mengatakan:
Banyak sekali hadits-hadits dari para imam yang membawa petunjuk – a’immatil huda- dari keluarga Nabi Muhammad SAAW bahwa Al Qur’an yang ada bukan lagi asli, juga memuat berita tentang orang-orang zhalim yang menambah dan mengurangi isi Al Qur’an. Lihat Awa’ilul Maqalat hal 91.
2.Abul Hasan Al Amili mengatakan:
Ketahuilah, kebenaran yang disimpulkan dari riwayat mutawatir yang akan dipaparkan kemudian, dan riwayat lain yang tidak kami jelaskan di sini, bahwa Al Qur’an yang ada di tangan kita saat itu, telah mengalami perubahan sepeninggal Rasulullah SAAW. Para penulis Al Qur’an sepeninggal Nabi SAAW telah menghapus banyak ayat dan kata dari ayat Al Qur’an.
Muqaddimah kedua dari tafsir Miraatul Anwar wa Mishkatul Asrar hal 36, dicetak sebagai pengantar bagi Tafsir Al Burhan karya Al Bahrani.
Nyata-nyata menuduh para sahabat telah menghapus banyak ayat Al Qur’an. Nampak sekali bahwa yang tertuduh dalam hal ini adalah Usman bin Affan, yang dikenal sebagai pemrakarsa penulisan Al Qur’an, dan penyatuan bacaan Al Qur’an bagi seluruh kaum muslimin. Ini adalah kesimpulan ulama dari riwayat-riwayat yang dianggapnya mutawatir, jadi tidak lagi mengenal adanya “shahih” atau “dhaif”, karena sebuah kesimpulan hanya mewakili person penyimpulnya. Dengan pernyataan ini kita dapat mengambil kesimpulan juga, bahwa Abu Hasan Al Amili tidak beriman pada Al Qur’an yang ada saat ini. Dia telah kehilangan salah satu rukun iman. [Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un]
3.Ni’matullah Al Jaza’iri
Figur yang satu ini lebih memilih untuk percaya riwayat-riwayat mutawatir menurut versinya daripada Kalam Ilahi yang terhimpun dalam Al Qur’an. Katanya:
Dengan menganggap Al Qur’an yang ada sekarang ini adalah mutawatir dari wahyu ilahi, [artinya diriwayatkan secara mutawatir berasal dari Nabi yang menerima wahyu dari Allah], dan meyakini bahwa Al Qur’an yang ada sekarang ini adalah Al Qur’an yang diturunkan oleh Ruhul Amin [Malaikat Jibril] mengandung konsekwensi penolakan terhadap riwayat yang banyak sekali, bahkan mencapai derajat mutawatir, yang menyatakan bahwa Al Qur’an telah dirubah, isinya, kalimatnya dan I’rabnya. Padahal ulama mazhab kami telah sepakat bahwa riwayat itu valid adanya dan mereka yakin pada isi riwayat itu. Al Anwar An Nu’maniyah jilid 2 hal 357.
Kita lihat seluruh ulama syiah sepakat menerima riwayat yang menggugat Al Qur’an, yang menuduh Al Qur’an kaum muslimin saat ini telah dirubah, dan bukan asli lagi. Ini bukan lagi tuduhan, tetapi pernyataan dari ulama syiah sendiri.
keyakinan di atas mengandung sekian banyak konsekwensi, di antaranya, menganggap kaum muslimin yang berpegang pada Al Qur’an yang ada saat ini adalah sesat, karena berpedoman pada kitab suci yang sudah dirubah oleh “tangan-tangan kotor”.
4. Al Allamah Al Hujjah Sayyid Adnan Al Bahrani
riwayat tak terhitung banyaknya, yang menerangkan bahwa Al Qur’an telah dirubah, sungguh banyak, melebihi derajat mutawatir. Masyariq Asy Syumus Ad Durriyah, hal 126.
5.Sulthan Muhammad Al Khurasani
Mengatakan dalam kitabnya, Tafsir Bayanus Sa’adah fi Maqamatil Ibadah, cet. Muassasah Al A’lami hal 19
6.Begitu juga Husein Nuri Thabrasi, yang getol menyatakan Al Qur’an telah dirubah, sampai-sampai dia menulis sebuah kitab yang diberi judul Fashlul Khitab fi Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbabi [pemutus ucapan, pembuktian bahwa kitab Allah telah dirubah]. Kita simak ucapannya dalam kitab di atas hal. 227 :
Hadits yang memuat hal itu [perubahan Al Qur’an] berjumlah lebih dari 2000 hadits, sejumlah ulama besar menyatakan banyaknya riwayat yang menyatakan hal itu, seperti Al Mufid, Al Muhaqqiq Ad Damad, Majlisi dan lainnya.
7. Muhammad Baqir Al Majlisi
ketika membahas hadits riwayat Hisyam bin Salim dari Abu Abdillah Alaihissalam; Sesungguhnya Al Qur’an yang diturunkan oleh Jibril Alihissalam kepada Muhammad SAAW ada 17000 ayat. Majlisi mengomentari riwayat ini: [riwayat ini] dipercaya, dalam cetakan lain tertulis Hisyam bin Salim di posisi Harun bin Salim. Riwayat ini shahih, seperti sudah diketahui bahwa riwayat ini juga banyak riwayat shahih yang menerangkan dengan jelas bahwa Al Qur’an yang ada saat ini telah dikurangi dan diubah, bagi saya hadits-hadits yang menyatakan perubahan Al Qur’an mencapai derajat mutawatir ma’nawi. Menolak riwayat ini mengharuskan kita untuk menolak seluruh riwayat [hadits Ahlulbait]. Saya kira hadits yang mengatakan hal ini[perubahan Al Qur’an] tidak kalah banyak dari riwayat hadits yang membahas imamah, bagaimana masalah imamah bisa dibuktikan dengan riwayat? Mir’atul Uqul, jilid 12 hal 525.
Maksudnya, bagaimana masalah imamah bisa didasarkan dari dalil riwayat ahlulbait jika riwayat mengenai perubahan Al Qur’an ditolak? Karena kitab-kitab yang memuat riwayat dari para imam Ahlulbait, yang dijadikan rujukan bagi mazhab imamiyah [tentang imamah dan nash] juga memuat riwayat tentang perubahan AL Qur’an. Maka Syiah tidak dapat mengingkari riwayat tentang perubahan Al Qur’an, karena mengingkari riwayat perubahan Al Qur’an berarti menolak riwayat tentang imamah dan penunjukan para imam, menolak riwayat mengenai imamah berarti menggugurkan mazhab syiah, karena mazhab syiah imamiyah hanya bersandar pada riwayat-riwayat dari ahlulbait mengenai imamah. Berarti konsekwensi dari mengimani prinsip imamah dalam syiah adalah percaya terhadap perubahan Al Qur’an. Ini berarti seluruh umat syiah wajib meyakini perubahan dan pengurangan Al Qur’an, jika masih ingin meyakini imamah.
Perhatikan lagi pernyataan Majlisi, yang menjelaskan bahwa menolak riwayat perubahan Al Qur’an berarti menolak seluruh hadits dan riwayat syiah.
Ternyata ada ulama syiah yang belum menelaah riwayat perubahan Al Qur'an, mungkinkah demikian? atau hanya kura-kura dalam perahu..."
Dari makalah bagian pertama, akhirnya kita ketahui bahwa perubahan Al Qur’an adalah salah satu aksioma [hal yang tidak bisa lagi ditawar-tawar] dalam mazhab syi'ah imamiyah. Ini merupakan konsekwensi logis dari keterangan di atas barusan. Di antara ulama syi'ah yang “konsekuen” pada konsekuensi logis di atas adalah:
Abu Hasan Al Amili
Dia mengatakan: bagi saya, perubahan Al Qur’an telah demikian jelasnya, karena saya telah mengkonfirmasi dan menelusuri seluruh riwayat, yang mana dapat dikatakan bahwa keyakinan terhadap perubahan Al Qur’an adalah salah satu keyakinan pokok [aksioma] dalam mazhab syi'ah dan salah satu tujuan perebutan khilafah [dari yang berhak].
Lihat Muqaddimah kedua pasal ke empat dari tafsir Miraatul Anwar wa Mishkatul Asrar, dicetak sebagai pengantar bagi Tafsir Al Burhan karya Al Bahrani.
Ternyata demikian jelas, bahwa meyakini perubahan Al Qur’an adalah wajib bagi penganut syi'ah, jika masih ingin dianggap sebagai syi'ah. Karena riwayat yang begitu banyaknya –sampai derajat mutawatir bahkan lebih- harus diterima oleh penganut syi'ah yang katanya mengikuti ahlulbait Nabi. Bagaimana dia mau mengikuti Nabi dan tetap berada dalam mazhab syi'ah sementara dia menolak isi riwayat yang jelas mutawatir -bahkan lebih-? Bagaimana bisa menjadi syi'ah dengan menolak isi kitab literaturnya? Menolak meyakini perubahan Al Qur’an berarti menolak mazhab syi'ah.
Begitu juga Al Allamah Al Hujjah Sayyid Adnan Al Bahrani mengatakan:
Meyakini perubahan Al Qur’an adalah salah satu aksioma mazhab mereka [syi'ah]. Masyariq Syumus Ad Durriyah hal. 126
Karena banyaknya riwayat tentang perubahan Al Qur’an, akhirnya ulama syi'ah [yang konsekuen] menyimpulkan bahwa seseorang tidak bisa menjadi syi'ah jika masih meyakini keaslian Al Qur’an yang ada saat ini. Begitu juga ulama syi'ah menyatakan bahwa seluruh syi’ah bersepakat meyakini bahwa Al Qur’an telah diubah. Di antaranya:
Al Allamah Al Hujjah Sayyid Adnan Al Bahrani
Setelah menukilkan banyak riwayat yang menunjukkan perubahan Al Qur’an, Adnan mengatakan : riwayat telah begitu banyak tak terhitung jumlahnya, bahkan telah melebihi syarat mutawatir sehingga tidak berguna lagi untuk disampaikan setelah keyakinan tentang perubahan Al Qur’an tersebar luas di kalangan kedua kelompok, bahkan sudah dijadikan aksioma oleh sahabat dan tabi’in, dan ijma’ [kesepakatan] golongan yang benar [syi'ah imamiyah], dan keyakinan itu menjadi sebuah pokok mazhab mereka dan banyak riwayat dari kitab syi'ah yang menyatakan demikian. Lihat Masyariq Syumus Ad Durriyah fi Ahaqqiyyati Mazhabil Akhbariyyah hal 126.
Muhammad bin Nu’man [juga dijuluki dengan Al Mufid] mengatakan:
Penganut Imamiyah sepakat meyakini bahwa banyak orang yang sudah mati akan kembali hidup lagi di dunia sebelum hari kiamat, mereka juga bersepakat meyakini Allah bersifat bada’, imamiyah juga bersepakat meyakini bahwa pemimpin sesat telah menyelewengkan ayat Al Qur’an, mereka juga menyimpang dari ajaran Al Qur’an dan sunnah Nabi. Lihat Awa’ilul Maqalat hal. 48-49.
Semua ini menguatkan kesimpulan bahwa: seseorang tidak mungkin menjadi syi'ah tanpa meyakini perubahan Al Qur’an.
Mengapa?
Karena mengingkari perubahan Al Qur’an sama dengan mengingkari prinsip Imamah, karena hadits yang menyatakan perubahan Al Qur’an dan Imamah sama-sama banyak dan dimuat di kitab yang sama. Mengingkari prinsip imamah sama saja dengan keluar dari mazhab syi'ah imamiyah.
Di atas kita singgung ulama syi'ah yang konsekuen dengan mazhabnya, yaitu menyatakan bahwa Al Qur’an telah diubah. Jika ada ulama syi'ah yang konsekuen, ada juga ulama syi'ah yang tidak konsekuen karena mereka menolak meyakini perubahan Al Qur’an, padahal mereka juga meyakini imamah. Padahal semestinya mereka juga meyakini perubahan Al Qur’an.
Salah satu ulama yang “tidak konsekuen” adalah Muhammad Ridha Muzaffar. Dalam karyanya yang berjudul Aqaidul Imamiyah hal 59, Muzaffar mengatakan:
Kami meyakini bahwa Al Qur’an adalah wahyu ilahi yang diturunkan dari Allah ta’ala melalui lisan NabiNya yang mulia, memuat keterangan tentang segala sesuatu, Al Qur’an adalah mu’jizat yang kekal sepanjang masa, yang mana manusia tidak mampu meniru balaghah dan kefasihannya, juga tidak mampu meniru isinya yang mengandung hakekat dan ilmu yang tinggi, tidak mengalami perubahan dan penyelewengan.
Di sini Muzaffar menandaskan bahwa syi’ah meyakini bahwa Al Qur’an yang ada sekarang ini terjaga dari penyelewengan dan perubahan. Di atas telah kita lihat bahwa syi'ah imamiyah sepakat bahwa Al Qur’an telah diubah. Berarti ada dua kemungkinan, yang pertama Muzaffar memang tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang syi'ah.
Dalam pengantar kitabnya itu “Aqaid Al Imamiyah” tertulis sekelumit biografi penulisnya “Muhammad Ridha Muzaffar” kita simak sedikit kutipannya:
.. dia mengikuti seluruh pelajaran yang harus ditempuh di tingkat “sutuh” [tingkatan pendidikan ala hauzah ilmiyah syi'ah di Najaf] syaikh[Muhammad Ridha Muzaffar] unggul dalam seluruh pelajaran tingkatan itu……Dia juga mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh kakaknya Muhammad Hasan dan Muhammad Husein, begitu juga mengikuti pelajaran syaikh Aqa Dhiya’uddin Al Iraqi yagn mengajarkan ushul fiqh, juga mengikuti pelajran syaikh mirza muhammad husein An Na’ini yang mengajarkan fiqh dan ushul fiqh, mengikuti pelajaran syaikh Muhammad Husein Al Asfahani secara privat dan intensif..
Artinya Syaikh Muhammad Ridha Muzaffar bukanlah seorang santri biasa atau syi'ah amatiran[seperti teman-teman syi'ah indonesia yang baru pulang dari iran] yang asal menulis buku. Tak lupa kita nukilkan sedikit dari muqadimah “kata pengantar” bukunya “Aqaidul Imamiyah”:
Saya menuliskan keyakinan-keyakinan ini, saya hanya berniat untuk menuliskan seluruh pengetahuan saya tentang pemahaman Islam ala ahlulbait.
Tetapi pembaca telah melihat sendiri bahwa riwayat mutawatir, bahkan lebih dari mutawatir dari jalan periwayatan syi'ah imamiyah, telah menegaskan bahwa Al Qur’an telah diubah. Sedangkan Muhammad Ridha Muzaffar adalah seorang figur yang jelas tidak memiliki kredibilitas untuk “melawan” riwayat yang banyak itu.
Atau Muzaffar hanya “kura-kura dalam perahu” pura-pura tidak tahu?
Wallahu A’lam, hanya Allah yang tahu apa isi hati Muzaffar, tapi yang jelas pernyataannya dalam kitab itu harus kita teliti lagi validitasnya karena menyelisihi riwayat dari ahlulbait yang sudah jelas-jelas maksum, ditambah pula riwayat itu memiliki banyak jalur sehingga disebut mutawatir.
Masih ada lagi contoh dari ulama syi'ah yang “tidak mau konsekuen” terhadap keyakinan imamah, yaitu tidak mau menyatakan bahwa Al Qur’an yang ada saat telah diubah, seperti ditegaskan oleh riwayat syi'ah yang lebih dari mutawatir. Dialah Muhammad Husein Al Kasyiful Ghita, yang menulis kitab Ashel Syi’ah wa Ushuluha. Dia menyebutkan bahwa riwayat yang menyatakan perubahan Al Qur’an adalah riwayat yang lemah lagi menyimpang dari kebanyakan riwayat yang valid. Dalam kitabnya itu pada hal 220, terbitan Mu’assasah Imam Ali Alaihissalam, cet. Sitarah dia menyatakan:
Kitab Al Qur’an yang ada di tengah kaum muslimin hari ini adalah kitab yang diturunkan oleh Allah untuk membuktikan kebesaran allah dan menantang kaum kafir untuk membuat kitab seperti Al Qur’an, juga untuk mengajarkan hukum-hukum agama, menjelaskan yang halal dan yang haram, tidak pernah mengalami pengurangan, penyelewengan atau penambahan, pendapat ini adalah kesepakatan seluruh kaum muslimin. Kelompok mana saja di kalangan kaum muslimin yang beranggapan bahwa ada isi Al Qur’an hari ini telah mengalami penyelewengan dan pengurangan, maka pendapatnya itu adalah keliru, dibantah oleh ayat Al Qur’an: sungguh Kami telah menurunkan peringatan, dan Kami akan menjaganya. Seluruh riwayat dari kitab kami maupun mereka yang menyatakan perubahan Al Qur’an adalah menyimpang dan lemah, dan hadits ahad tidak dapat menjadi dasar ilmu maupun amal.
Ada beberapa hal yang harus dikomentari dari kutipan ini, yang paling mencolok adalah pernyataan bahwa riwayat-riwayat perubahan Al Qur’an dalam kitab syi'ah adalah dho’if dan menyimpang. Padahal pembaca sudah melihat sendiri pernyataan yang dikutip dari ulama-ulama besar syi'ah masa lampau bahwa riwayat perubahan Al Qur’an adalah mutawatir, sama seperti riwayat imamah. akhirnya kita bertanya-tanya, apakah Al Kasyiful Ghita bersikap pura-pura tidak tahu? Atau memang dia benar-benar tidak tahu? Jika kita lihat ajaran taqiyah di kalangan syi'ah, kita semakin yakin bahwa Al Kasyiful Ghita hanya berpura-pura tidak tahu, untuk menghibur kaum muslimin yang “intelek tapi bodoh” dan “bodoh tapi intelek (bergelar sarjana S2 dan S3)” bahwa syi'ah dan sunni tidaklah berbeda, dan tuduhan seperti itu hanyalah tuduhan yang tanpa bukti. Sayangnya para intelek-intelek itu mau saja ditipu. Bahkan ada seorang “intelek” bergelar DOKTOR yang sering muncul di TV, menulis buku membela syi'ah dengan berdasar pada buku Kasyiful Ghita ini.
Mungkin pembaca heran, bagaimana mengingkari kenyataan begitu mudah bagi Kasyiful Ghita, atau jangan-jangan Kasyiful Ghita hanyalah seorang syi'ah “amatiran”?
Bagaimana dia bisa tidak tahu bahwa riwayat syi'ah yang menyatakan perubahan Al Qur’an adalah mutawatir seperti pernyataan ulama-ulama yang lebih senior?
Ini sungguh membuat malu mazhab syi'ah, karena bagaimana orang seperti itu bisa jadi ulama? Ini pertanyaan yang mungkin timbul dari pembaca yang awam.
Begitu juga katanya ada riwayat tahrif dalam buku sunni, tetapi kita tidak pernah melihat hal itu, kecuali riwayat yang menyatakan adanya nasakh tilawah, sedangkan nasakh tilawah boleh dan terjadi dalam Al Qur’an, dan nasakh tilawah adalah perubahan dari Allah semasa hidup Nabi, bukan perubahan dari tangan-tangan sahabat Nabi, seperti dalam riwayat syi'ah. Apakah kita menyamakan nasakh tilawah dan tahrif/perubahan versi syi'ah? Nyatanya banyak tokoh “intelek” menyamakannya.
Akhirnya orang awam yang tidak tahu terpengaruh, tapi insya Allah setelah membaca makalah ini anda tidak lagi terpengaruh.
Juga orang awam akan bertanya-tanya, apakah setiap pernyataan ulama syi'ah masa kini harus dicek dulu agar kita tahu apakah pernyataan itu sesuai dengan literatur syi'ah atau tidak. Lebih jauh lagi, sebuah pertanyaan "berbahaya" akan muncul;
Kalau begitu, apakah kita layak mempercayai ucapan ulama syi'ah? Siapa yang menjamin bahwa mereka tidak akan mengatakan hal yang berbeda dengan isi kitab literatur syi'ah?
Jika kita menelaah literatur-literatur syiah, maka akan anda temui banyak riwayat juga pernyataan para ulama syiah yang menegaskan bahwa Al Qur’an yang dijadikan pedoman umat islam saat ini sudah bukan asli lagi, alias sudah dirubah. Jadi kitab suci yang ada pada umat islam sejak dulu sampai hari ini menurut syiah sudah bukan otentik lagi, alias ada ayat-ayat yang bukan lagi wahyu Allah, tetapi ada juga hasil tulisan tangan manusia. Selain diubah, nukilan-nukilan itu juga menyatakan bahwa ada ayat-ayat dalam Al Qur’an yang dihapus. Intinya, Al Qur’an yang ada sekarang ini tidak seperti yang diturunkan oleh Allah pada Nabi Muhammad SAAW.
Sampai di sini para pembaca mungkin merasa heran dan bertanya-tanya, apakah benar syiah menganggap demikian? Mungkin anda pernah mendengar hal ini sebelumnya dan mengklarifikasi kepada teman atau tetangga anda yang syiah, dan dijawab oleh mereka bahwa hal itu semata-mata adalah fitnah dan tuduhan yang dihembuskan oleh musuh-musuh syiah, dari mereka yang ingin memecah belah umat Islam. Lebih jauh lagi, mereka akan menuduh orang yang menebarkan hal itu sebagai antek zionis yahudi. Astaghfirullah
Mengklarifikasikan sebuah tuduhan adalah sikap yang benar, dan seharusnya dilakukan oleh setiap muslim yang objektif, tetapi hendaknya kita tidak salah alamat dalam mengklarifikasi sebuah berita. Seperti kasus kita kali ini, mestinya kita mengklarifikasi tuduhan ini dengan melihat langsung ke literatur syiah untuk mengecek kebenaran berita ini, mengecek apakah benar ada kitab-kitab syiah yang menyatakan demikian atau tidak ada. Mengapa klarifikasi ke tetangga, teman atau dosen anda yang syiah adalah salah alamat? Ada beberapa sebab; bisa jadi teman, tetangga dan dosen anda belum pernah mendapat akses ke literatur itu, bisa jadi dia memang sudah mengakses tetapi dia mengingkari hal itu. bisa jadi dia adalah “anggota biasa” yang tidak tahu apa-apa, banyak kemungkinan. Tetapi semua itu tidak akan mengubah apa yang tercantum dalam kitab-kitab syiah. Di antaranya:
Abu Abdillah berkata: “Al Qur’an yang diturunkan Jibril kepada Muhammad adalah 17 ribu ayat”. Al Kafi jilid 2 hal 463. Muhammad Baqir Al Majlisi berkata bahwa riwayat ini adalah muwathaqoh. Lihat di Mir’atul Uqul jilid 2 hal 525.
Jika kita telaah lagi pernyataan-pernyataan ulama syiah mengenai ingkarnya mereka pada Al Qur’an hari ini, kita akan sampai pada sebuah kesimpulan berbahaya, yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kesimpulan ini berbunyi:
Setiap syiah harus mengingkari keaslian Al Qur’an, jika masih beriman bahwa AL Qur’an sekarang ini adalah asli otentik seperti yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAAW, maka dia bukan syiah.
Ada kalimat lain untuk kesimpulan di atas, yaitu setiap syiah harus meyakini bahwa al qur’an telah dirubah, ditambah dan dikurangi. Seseorang tidak bisa menjadi syiah jika tidak meyakini hal itu. Sehingga dapat kita katakan bahwa seorang syiah terpaksa meyakini hal itu jika masih ingin menjadi syiah. Di sini meyakini adanya penambahan, pengurangan dan perubahan terhadap ayat Al Qur’an menjadi sebuah konsekwensi yang melekat, dan tidak pernah akan lepas, bagi seorang penganut syiah.
Bisa dikatakan juga, mereka yang meyakini bahwa Al Qur’an masih asli tidak pernah akan menjadi syiah.
Saya mohon maaf pada pembaca karena barangkali telah membuat pembaca agak sedikit bingung –plus terkejut-. Tetapi ini adalah kenyataan yang harus kita ketahui. Barangkali anda akan bertanya mengenai hal-hal yang mendasari kesimpulan saya di atas, ini adalah pertanyaan wajar, dan memang saya akan mengetengahkan bukti-bukti dari pernyataan di atas. Saya katakan di atas bahwa yang akan mencapai kesimpulan seperti itu bukanlah saya pribadi, tetapi kita semua, seluruh pembaca makalah ini. Saya mengajak diri saya sendiri dan pembaca yang budiman untuk merasa tidak puas dengan omongan orang tentang sesuatu, sebelum merujuk pada sumber otentik dari sesuatu itu. anda jangan puas hanya dengan mendengar omongan dan –mungkin- bualan dari teman anda, tapi hendaknya kita melangkah jauh untuk memberanikan diri menelaah sumber-sumber otentik mazhab syiah. Pembaca akan mendapatkan apa yang tersembunyi dari mazhab syiah imamiyah, dan kami –team hakekat- berusaha untuk menampilkan sumber otentik lengkap dengan nomor jilid dan halaman.
Telah kita bahas di atas bahwa keyakinan terhadap diubahnya Al Qur’an adalah konsekwensi dari mazhab syiah imamiyah. Ulama syiah klasik benar-benar menyadari hal ini, maka keyakinan tentang perubahan Al Qur’an menjadi sebuah aksioma dalam mazhab syiah –yang tidak bisa diganggu gugat-. Apa yang mendorong para ulama syiah klasik memasukkan keyakinan ini sebagai aksioma? Karena mereka sadar bahwa menolak hal itu sama dengan menolak mazhab syiah. Mari kita simak nukilan dari ulama klasik syiah.
Pertama-tama, mari kita sadari bahwa riwayat dalam kitab literatur syiah yang menggugat keotentikan Al Qur’an hari ini mutawatir dan sangat banyak, sekali lagi, menurut ulama syiah sendiri. Sebuah kenyataan yang membuat setiap muslim bersedih.
1.Al Mufid –Muhammad bin Nu’man- mengatakan:
Banyak sekali hadits-hadits dari para imam yang membawa petunjuk – a’immatil huda- dari keluarga Nabi Muhammad SAAW bahwa Al Qur’an yang ada bukan lagi asli, juga memuat berita tentang orang-orang zhalim yang menambah dan mengurangi isi Al Qur’an. Lihat Awa’ilul Maqalat hal 91.
2.Abul Hasan Al Amili mengatakan:
Ketahuilah, kebenaran yang disimpulkan dari riwayat mutawatir yang akan dipaparkan kemudian, dan riwayat lain yang tidak kami jelaskan di sini, bahwa Al Qur’an yang ada di tangan kita saat itu, telah mengalami perubahan sepeninggal Rasulullah SAAW. Para penulis Al Qur’an sepeninggal Nabi SAAW telah menghapus banyak ayat dan kata dari ayat Al Qur’an.
Muqaddimah kedua dari tafsir Miraatul Anwar wa Mishkatul Asrar hal 36, dicetak sebagai pengantar bagi Tafsir Al Burhan karya Al Bahrani.
Nyata-nyata menuduh para sahabat telah menghapus banyak ayat Al Qur’an. Nampak sekali bahwa yang tertuduh dalam hal ini adalah Usman bin Affan, yang dikenal sebagai pemrakarsa penulisan Al Qur’an, dan penyatuan bacaan Al Qur’an bagi seluruh kaum muslimin. Ini adalah kesimpulan ulama dari riwayat-riwayat yang dianggapnya mutawatir, jadi tidak lagi mengenal adanya “shahih” atau “dhaif”, karena sebuah kesimpulan hanya mewakili person penyimpulnya. Dengan pernyataan ini kita dapat mengambil kesimpulan juga, bahwa Abu Hasan Al Amili tidak beriman pada Al Qur’an yang ada saat ini. Dia telah kehilangan salah satu rukun iman. [Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un]
3.Ni’matullah Al Jaza’iri
Figur yang satu ini lebih memilih untuk percaya riwayat-riwayat mutawatir menurut versinya daripada Kalam Ilahi yang terhimpun dalam Al Qur’an. Katanya:
Dengan menganggap Al Qur’an yang ada sekarang ini adalah mutawatir dari wahyu ilahi, [artinya diriwayatkan secara mutawatir berasal dari Nabi yang menerima wahyu dari Allah], dan meyakini bahwa Al Qur’an yang ada sekarang ini adalah Al Qur’an yang diturunkan oleh Ruhul Amin [Malaikat Jibril] mengandung konsekwensi penolakan terhadap riwayat yang banyak sekali, bahkan mencapai derajat mutawatir, yang menyatakan bahwa Al Qur’an telah dirubah, isinya, kalimatnya dan I’rabnya. Padahal ulama mazhab kami telah sepakat bahwa riwayat itu valid adanya dan mereka yakin pada isi riwayat itu. Al Anwar An Nu’maniyah jilid 2 hal 357.
Kita lihat seluruh ulama syiah sepakat menerima riwayat yang menggugat Al Qur’an, yang menuduh Al Qur’an kaum muslimin saat ini telah dirubah, dan bukan asli lagi. Ini bukan lagi tuduhan, tetapi pernyataan dari ulama syiah sendiri.
keyakinan di atas mengandung sekian banyak konsekwensi, di antaranya, menganggap kaum muslimin yang berpegang pada Al Qur’an yang ada saat ini adalah sesat, karena berpedoman pada kitab suci yang sudah dirubah oleh “tangan-tangan kotor”.
4. Al Allamah Al Hujjah Sayyid Adnan Al Bahrani
riwayat tak terhitung banyaknya, yang menerangkan bahwa Al Qur’an telah dirubah, sungguh banyak, melebihi derajat mutawatir. Masyariq Asy Syumus Ad Durriyah, hal 126.
5.Sulthan Muhammad Al Khurasani
Mengatakan dalam kitabnya, Tafsir Bayanus Sa’adah fi Maqamatil Ibadah, cet. Muassasah Al A’lami hal 19
6.Begitu juga Husein Nuri Thabrasi, yang getol menyatakan Al Qur’an telah dirubah, sampai-sampai dia menulis sebuah kitab yang diberi judul Fashlul Khitab fi Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbabi [pemutus ucapan, pembuktian bahwa kitab Allah telah dirubah]. Kita simak ucapannya dalam kitab di atas hal. 227 :
Hadits yang memuat hal itu [perubahan Al Qur’an] berjumlah lebih dari 2000 hadits, sejumlah ulama besar menyatakan banyaknya riwayat yang menyatakan hal itu, seperti Al Mufid, Al Muhaqqiq Ad Damad, Majlisi dan lainnya.
7. Muhammad Baqir Al Majlisi
ketika membahas hadits riwayat Hisyam bin Salim dari Abu Abdillah Alaihissalam; Sesungguhnya Al Qur’an yang diturunkan oleh Jibril Alihissalam kepada Muhammad SAAW ada 17000 ayat. Majlisi mengomentari riwayat ini: [riwayat ini] dipercaya, dalam cetakan lain tertulis Hisyam bin Salim di posisi Harun bin Salim. Riwayat ini shahih, seperti sudah diketahui bahwa riwayat ini juga banyak riwayat shahih yang menerangkan dengan jelas bahwa Al Qur’an yang ada saat ini telah dikurangi dan diubah, bagi saya hadits-hadits yang menyatakan perubahan Al Qur’an mencapai derajat mutawatir ma’nawi. Menolak riwayat ini mengharuskan kita untuk menolak seluruh riwayat [hadits Ahlulbait]. Saya kira hadits yang mengatakan hal ini[perubahan Al Qur’an] tidak kalah banyak dari riwayat hadits yang membahas imamah, bagaimana masalah imamah bisa dibuktikan dengan riwayat? Mir’atul Uqul, jilid 12 hal 525.
Maksudnya, bagaimana masalah imamah bisa didasarkan dari dalil riwayat ahlulbait jika riwayat mengenai perubahan Al Qur’an ditolak? Karena kitab-kitab yang memuat riwayat dari para imam Ahlulbait, yang dijadikan rujukan bagi mazhab imamiyah [tentang imamah dan nash] juga memuat riwayat tentang perubahan AL Qur’an. Maka Syiah tidak dapat mengingkari riwayat tentang perubahan Al Qur’an, karena mengingkari riwayat perubahan Al Qur’an berarti menolak riwayat tentang imamah dan penunjukan para imam, menolak riwayat mengenai imamah berarti menggugurkan mazhab syiah, karena mazhab syiah imamiyah hanya bersandar pada riwayat-riwayat dari ahlulbait mengenai imamah. Berarti konsekwensi dari mengimani prinsip imamah dalam syiah adalah percaya terhadap perubahan Al Qur’an. Ini berarti seluruh umat syiah wajib meyakini perubahan dan pengurangan Al Qur’an, jika masih ingin meyakini imamah.
Perhatikan lagi pernyataan Majlisi, yang menjelaskan bahwa menolak riwayat perubahan Al Qur’an berarti menolak seluruh hadits dan riwayat syiah.
Ternyata ada ulama syiah yang belum menelaah riwayat perubahan Al Qur'an, mungkinkah demikian? atau hanya kura-kura dalam perahu..."
Dari makalah bagian pertama, akhirnya kita ketahui bahwa perubahan Al Qur’an adalah salah satu aksioma [hal yang tidak bisa lagi ditawar-tawar] dalam mazhab syi'ah imamiyah. Ini merupakan konsekwensi logis dari keterangan di atas barusan. Di antara ulama syi'ah yang “konsekuen” pada konsekuensi logis di atas adalah:
Abu Hasan Al Amili
Dia mengatakan: bagi saya, perubahan Al Qur’an telah demikian jelasnya, karena saya telah mengkonfirmasi dan menelusuri seluruh riwayat, yang mana dapat dikatakan bahwa keyakinan terhadap perubahan Al Qur’an adalah salah satu keyakinan pokok [aksioma] dalam mazhab syi'ah dan salah satu tujuan perebutan khilafah [dari yang berhak].
Lihat Muqaddimah kedua pasal ke empat dari tafsir Miraatul Anwar wa Mishkatul Asrar, dicetak sebagai pengantar bagi Tafsir Al Burhan karya Al Bahrani.
Ternyata demikian jelas, bahwa meyakini perubahan Al Qur’an adalah wajib bagi penganut syi'ah, jika masih ingin dianggap sebagai syi'ah. Karena riwayat yang begitu banyaknya –sampai derajat mutawatir bahkan lebih- harus diterima oleh penganut syi'ah yang katanya mengikuti ahlulbait Nabi. Bagaimana dia mau mengikuti Nabi dan tetap berada dalam mazhab syi'ah sementara dia menolak isi riwayat yang jelas mutawatir -bahkan lebih-? Bagaimana bisa menjadi syi'ah dengan menolak isi kitab literaturnya? Menolak meyakini perubahan Al Qur’an berarti menolak mazhab syi'ah.
Begitu juga Al Allamah Al Hujjah Sayyid Adnan Al Bahrani mengatakan:
Meyakini perubahan Al Qur’an adalah salah satu aksioma mazhab mereka [syi'ah]. Masyariq Syumus Ad Durriyah hal. 126
Karena banyaknya riwayat tentang perubahan Al Qur’an, akhirnya ulama syi'ah [yang konsekuen] menyimpulkan bahwa seseorang tidak bisa menjadi syi'ah jika masih meyakini keaslian Al Qur’an yang ada saat ini. Begitu juga ulama syi'ah menyatakan bahwa seluruh syi’ah bersepakat meyakini bahwa Al Qur’an telah diubah. Di antaranya:
Al Allamah Al Hujjah Sayyid Adnan Al Bahrani
Setelah menukilkan banyak riwayat yang menunjukkan perubahan Al Qur’an, Adnan mengatakan : riwayat telah begitu banyak tak terhitung jumlahnya, bahkan telah melebihi syarat mutawatir sehingga tidak berguna lagi untuk disampaikan setelah keyakinan tentang perubahan Al Qur’an tersebar luas di kalangan kedua kelompok, bahkan sudah dijadikan aksioma oleh sahabat dan tabi’in, dan ijma’ [kesepakatan] golongan yang benar [syi'ah imamiyah], dan keyakinan itu menjadi sebuah pokok mazhab mereka dan banyak riwayat dari kitab syi'ah yang menyatakan demikian. Lihat Masyariq Syumus Ad Durriyah fi Ahaqqiyyati Mazhabil Akhbariyyah hal 126.
Muhammad bin Nu’man [juga dijuluki dengan Al Mufid] mengatakan:
Penganut Imamiyah sepakat meyakini bahwa banyak orang yang sudah mati akan kembali hidup lagi di dunia sebelum hari kiamat, mereka juga bersepakat meyakini Allah bersifat bada’, imamiyah juga bersepakat meyakini bahwa pemimpin sesat telah menyelewengkan ayat Al Qur’an, mereka juga menyimpang dari ajaran Al Qur’an dan sunnah Nabi. Lihat Awa’ilul Maqalat hal. 48-49.
Semua ini menguatkan kesimpulan bahwa: seseorang tidak mungkin menjadi syi'ah tanpa meyakini perubahan Al Qur’an.
Mengapa?
Karena mengingkari perubahan Al Qur’an sama dengan mengingkari prinsip Imamah, karena hadits yang menyatakan perubahan Al Qur’an dan Imamah sama-sama banyak dan dimuat di kitab yang sama. Mengingkari prinsip imamah sama saja dengan keluar dari mazhab syi'ah imamiyah.
Di atas kita singgung ulama syi'ah yang konsekuen dengan mazhabnya, yaitu menyatakan bahwa Al Qur’an telah diubah. Jika ada ulama syi'ah yang konsekuen, ada juga ulama syi'ah yang tidak konsekuen karena mereka menolak meyakini perubahan Al Qur’an, padahal mereka juga meyakini imamah. Padahal semestinya mereka juga meyakini perubahan Al Qur’an.
Salah satu ulama yang “tidak konsekuen” adalah Muhammad Ridha Muzaffar. Dalam karyanya yang berjudul Aqaidul Imamiyah hal 59, Muzaffar mengatakan:
Kami meyakini bahwa Al Qur’an adalah wahyu ilahi yang diturunkan dari Allah ta’ala melalui lisan NabiNya yang mulia, memuat keterangan tentang segala sesuatu, Al Qur’an adalah mu’jizat yang kekal sepanjang masa, yang mana manusia tidak mampu meniru balaghah dan kefasihannya, juga tidak mampu meniru isinya yang mengandung hakekat dan ilmu yang tinggi, tidak mengalami perubahan dan penyelewengan.
Di sini Muzaffar menandaskan bahwa syi’ah meyakini bahwa Al Qur’an yang ada sekarang ini terjaga dari penyelewengan dan perubahan. Di atas telah kita lihat bahwa syi'ah imamiyah sepakat bahwa Al Qur’an telah diubah. Berarti ada dua kemungkinan, yang pertama Muzaffar memang tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang syi'ah.
Dalam pengantar kitabnya itu “Aqaid Al Imamiyah” tertulis sekelumit biografi penulisnya “Muhammad Ridha Muzaffar” kita simak sedikit kutipannya:
.. dia mengikuti seluruh pelajaran yang harus ditempuh di tingkat “sutuh” [tingkatan pendidikan ala hauzah ilmiyah syi'ah di Najaf] syaikh[Muhammad Ridha Muzaffar] unggul dalam seluruh pelajaran tingkatan itu……Dia juga mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh kakaknya Muhammad Hasan dan Muhammad Husein, begitu juga mengikuti pelajaran syaikh Aqa Dhiya’uddin Al Iraqi yagn mengajarkan ushul fiqh, juga mengikuti pelajran syaikh mirza muhammad husein An Na’ini yang mengajarkan fiqh dan ushul fiqh, mengikuti pelajaran syaikh Muhammad Husein Al Asfahani secara privat dan intensif..
Artinya Syaikh Muhammad Ridha Muzaffar bukanlah seorang santri biasa atau syi'ah amatiran[seperti teman-teman syi'ah indonesia yang baru pulang dari iran] yang asal menulis buku. Tak lupa kita nukilkan sedikit dari muqadimah “kata pengantar” bukunya “Aqaidul Imamiyah”:
Saya menuliskan keyakinan-keyakinan ini, saya hanya berniat untuk menuliskan seluruh pengetahuan saya tentang pemahaman Islam ala ahlulbait.
Tetapi pembaca telah melihat sendiri bahwa riwayat mutawatir, bahkan lebih dari mutawatir dari jalan periwayatan syi'ah imamiyah, telah menegaskan bahwa Al Qur’an telah diubah. Sedangkan Muhammad Ridha Muzaffar adalah seorang figur yang jelas tidak memiliki kredibilitas untuk “melawan” riwayat yang banyak itu.
Atau Muzaffar hanya “kura-kura dalam perahu” pura-pura tidak tahu?
Wallahu A’lam, hanya Allah yang tahu apa isi hati Muzaffar, tapi yang jelas pernyataannya dalam kitab itu harus kita teliti lagi validitasnya karena menyelisihi riwayat dari ahlulbait yang sudah jelas-jelas maksum, ditambah pula riwayat itu memiliki banyak jalur sehingga disebut mutawatir.
Masih ada lagi contoh dari ulama syi'ah yang “tidak mau konsekuen” terhadap keyakinan imamah, yaitu tidak mau menyatakan bahwa Al Qur’an yang ada saat telah diubah, seperti ditegaskan oleh riwayat syi'ah yang lebih dari mutawatir. Dialah Muhammad Husein Al Kasyiful Ghita, yang menulis kitab Ashel Syi’ah wa Ushuluha. Dia menyebutkan bahwa riwayat yang menyatakan perubahan Al Qur’an adalah riwayat yang lemah lagi menyimpang dari kebanyakan riwayat yang valid. Dalam kitabnya itu pada hal 220, terbitan Mu’assasah Imam Ali Alaihissalam, cet. Sitarah dia menyatakan:
Kitab Al Qur’an yang ada di tengah kaum muslimin hari ini adalah kitab yang diturunkan oleh Allah untuk membuktikan kebesaran allah dan menantang kaum kafir untuk membuat kitab seperti Al Qur’an, juga untuk mengajarkan hukum-hukum agama, menjelaskan yang halal dan yang haram, tidak pernah mengalami pengurangan, penyelewengan atau penambahan, pendapat ini adalah kesepakatan seluruh kaum muslimin. Kelompok mana saja di kalangan kaum muslimin yang beranggapan bahwa ada isi Al Qur’an hari ini telah mengalami penyelewengan dan pengurangan, maka pendapatnya itu adalah keliru, dibantah oleh ayat Al Qur’an: sungguh Kami telah menurunkan peringatan, dan Kami akan menjaganya. Seluruh riwayat dari kitab kami maupun mereka yang menyatakan perubahan Al Qur’an adalah menyimpang dan lemah, dan hadits ahad tidak dapat menjadi dasar ilmu maupun amal.
Ada beberapa hal yang harus dikomentari dari kutipan ini, yang paling mencolok adalah pernyataan bahwa riwayat-riwayat perubahan Al Qur’an dalam kitab syi'ah adalah dho’if dan menyimpang. Padahal pembaca sudah melihat sendiri pernyataan yang dikutip dari ulama-ulama besar syi'ah masa lampau bahwa riwayat perubahan Al Qur’an adalah mutawatir, sama seperti riwayat imamah. akhirnya kita bertanya-tanya, apakah Al Kasyiful Ghita bersikap pura-pura tidak tahu? Atau memang dia benar-benar tidak tahu? Jika kita lihat ajaran taqiyah di kalangan syi'ah, kita semakin yakin bahwa Al Kasyiful Ghita hanya berpura-pura tidak tahu, untuk menghibur kaum muslimin yang “intelek tapi bodoh” dan “bodoh tapi intelek (bergelar sarjana S2 dan S3)” bahwa syi'ah dan sunni tidaklah berbeda, dan tuduhan seperti itu hanyalah tuduhan yang tanpa bukti. Sayangnya para intelek-intelek itu mau saja ditipu. Bahkan ada seorang “intelek” bergelar DOKTOR yang sering muncul di TV, menulis buku membela syi'ah dengan berdasar pada buku Kasyiful Ghita ini.
Mungkin pembaca heran, bagaimana mengingkari kenyataan begitu mudah bagi Kasyiful Ghita, atau jangan-jangan Kasyiful Ghita hanyalah seorang syi'ah “amatiran”?
Bagaimana dia bisa tidak tahu bahwa riwayat syi'ah yang menyatakan perubahan Al Qur’an adalah mutawatir seperti pernyataan ulama-ulama yang lebih senior?
Ini sungguh membuat malu mazhab syi'ah, karena bagaimana orang seperti itu bisa jadi ulama? Ini pertanyaan yang mungkin timbul dari pembaca yang awam.
Begitu juga katanya ada riwayat tahrif dalam buku sunni, tetapi kita tidak pernah melihat hal itu, kecuali riwayat yang menyatakan adanya nasakh tilawah, sedangkan nasakh tilawah boleh dan terjadi dalam Al Qur’an, dan nasakh tilawah adalah perubahan dari Allah semasa hidup Nabi, bukan perubahan dari tangan-tangan sahabat Nabi, seperti dalam riwayat syi'ah. Apakah kita menyamakan nasakh tilawah dan tahrif/perubahan versi syi'ah? Nyatanya banyak tokoh “intelek” menyamakannya.
Akhirnya orang awam yang tidak tahu terpengaruh, tapi insya Allah setelah membaca makalah ini anda tidak lagi terpengaruh.
Juga orang awam akan bertanya-tanya, apakah setiap pernyataan ulama syi'ah masa kini harus dicek dulu agar kita tahu apakah pernyataan itu sesuai dengan literatur syi'ah atau tidak. Lebih jauh lagi, sebuah pertanyaan "berbahaya" akan muncul;
Kalau begitu, apakah kita layak mempercayai ucapan ulama syi'ah? Siapa yang menjamin bahwa mereka tidak akan mengatakan hal yang berbeda dengan isi kitab literatur syi'ah?
1. Najhul Balaghah 53-54
kitab Nahj al-Balaghah. 53-54,
mengisahkan tentara Sufyan bin ‘Auf menyerang al-Anbar (gudang simpanan barang jualan). Ketika berlaku serangan, orang-orang Syi‘ah melarikan diri meninggalkan ‘Ali tanpa membantunya menahan serangan tentera Sufyan bin ‘Auf. ‘Ali kemudian berkhutbah:
Suatu perbuatan yang tercela dan sangat menyedihkan ketika kalian menjadi sasaran tembak, kalian diserang namun kalian tidak menyerang, kalian diperangi namun kalian tidak melawan. Ada yang berbuat maksiat kepada Allah dan kalian membiarkannya.
Apabila aku perintahkan kalian untuk menyerang mereka pada musim panas, kalian berkata: “Suasana kini sangat panas, tunggulah sehingga panasnya hilang.” Dan apabila aku perintahkan kalian untuk menyerang mereka pada musim dingin, kalian berkata: “Suasana sangat dingin, tunggulah sehingga dinginnya hilang.” Ini semua hanya sebagai alasan supaya kalian terhindar dari panas dan dingin. Kalau kalian takut kepada panas dan dingin, tentu demi Allah kalian akan lebih takut dari pedang (yakni untuk berperang)!
Wahai kaum yang mirip lelaki tetapi tidak jantan, berfikiran seperti anak kecil dan perempuan, aku akan mencintai kalian seandainya aku belum pernah melihat dan mengenal kalian. Demi Allah! Perkenalan ini menjadi penyesalan dan menambah kekecewaan, semoga Allah melaknat kalian! Telah kalian isi hatiku dengan nanah dan kalian bakar dadaku dengan kemarahan sehingga membuat aku harus menelan dukacita yang berpanjangan. Kalian hancurkan pendapatku dengan kedurhakaan tanpa mau menolongku sama sekali sampai-sampai kaum Quraisy berkata: “Sesungguhnya anak Abu Thalib adalah seorang pemberani tetapi dia tidak mengenal strategi peperangan (disebabkan mereka yang enggan membantunya).”
mengisahkan tentara Sufyan bin ‘Auf menyerang al-Anbar (gudang simpanan barang jualan). Ketika berlaku serangan, orang-orang Syi‘ah melarikan diri meninggalkan ‘Ali tanpa membantunya menahan serangan tentera Sufyan bin ‘Auf. ‘Ali kemudian berkhutbah:
Suatu perbuatan yang tercela dan sangat menyedihkan ketika kalian menjadi sasaran tembak, kalian diserang namun kalian tidak menyerang, kalian diperangi namun kalian tidak melawan. Ada yang berbuat maksiat kepada Allah dan kalian membiarkannya.
Apabila aku perintahkan kalian untuk menyerang mereka pada musim panas, kalian berkata: “Suasana kini sangat panas, tunggulah sehingga panasnya hilang.” Dan apabila aku perintahkan kalian untuk menyerang mereka pada musim dingin, kalian berkata: “Suasana sangat dingin, tunggulah sehingga dinginnya hilang.” Ini semua hanya sebagai alasan supaya kalian terhindar dari panas dan dingin. Kalau kalian takut kepada panas dan dingin, tentu demi Allah kalian akan lebih takut dari pedang (yakni untuk berperang)!
Wahai kaum yang mirip lelaki tetapi tidak jantan, berfikiran seperti anak kecil dan perempuan, aku akan mencintai kalian seandainya aku belum pernah melihat dan mengenal kalian. Demi Allah! Perkenalan ini menjadi penyesalan dan menambah kekecewaan, semoga Allah melaknat kalian! Telah kalian isi hatiku dengan nanah dan kalian bakar dadaku dengan kemarahan sehingga membuat aku harus menelan dukacita yang berpanjangan. Kalian hancurkan pendapatku dengan kedurhakaan tanpa mau menolongku sama sekali sampai-sampai kaum Quraisy berkata: “Sesungguhnya anak Abu Thalib adalah seorang pemberani tetapi dia tidak mengenal strategi peperangan (disebabkan mereka yang enggan membantunya).”
2.Menjawab Syi'ah: Hadis 12 Khalifah
Di antara hadis yang terdapat di dalam kitab-kitab ASWJ yang
sering dijadikan hujah oleh golongan Syi’ah untuk menguatkan pegangan
mereka adalah hadis 12 khalifah yang terdapat di dalam kitab seperti
Sahih Muslim, Jami’ Termizi, Sunan Abi Daud.
Sebelum membincangkan berkenaan kebenaran dakwaan mereka kita lihat hadis-hadis tersebut.
حدثنا ابن أبي عمر. حدثنا سفيان عن عبدالملك بن عمير، عن جابر
بن سمرة. قال سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول (لا يزال أمر الناس ماضيا
ما وليهم اثنا عشر رجلا. ثم تكلم النبي صلى الله عليه وسلم بكلمة خفيت
علي. فسألت أبي: ماذا قال رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ فقال كلهم من قريش
حدثنا نصر بن علي الجهضمي. حدثنا يزيد بن زريع. حدثنا ابن عون.
ح وحدثنا أحمد بن عثمان النوفلي (واللفظ له). حدثنا أزهر. حدثنا ابن عون
عن الشعبي، عن جابر بن سمرة. قال: انطلقت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم
ومعي أبي. فسمعته يقول (لا يزال هذا الدين عزيزا منيعا إلى اثني عشر
خليفة) فقال كلمة صمنيها الناس. فقلت لأبي: ما قال؟ قال (كلهم من قريش).
Daripada Jabir bin Samurah r.a. katanya, “Aku pergi kepada
Rasulullah s.a.w. dan ayahku bersamaku, lalu aku mendengar Baginda
bersabda, “Agama ini akan terus mulia dan teguh sehingga ke dua belas
orang khalifah, lalu Baginda berkata dengan kalimah yang orang ramai
tidak mendengarnya, maka aku berkata kepada ayahku, “Apakah yang Baginda
katakan? Ayahku menjawab, “Semua mereka dari Quraisy”.(Riwayat Muslim)
حدثني محمد بن المثنَّى: حدثناغندر: حدثنا شعبة، عن عبد الملك:
سمعت جابر بن سمرة قال: سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (يكون اثنا
عشر أميراً فقال كلمة لم أسمعها، فقال أبي: إنه قال: (كلهم من قريش.
Jabir bin Samurah r.a. berkata, Aku mendengar Rasulullah
s.a.w. bersabda, “Akan ada dua belas orang amir, lalu baginda berkata
dengan kalimah yang aku tidak dengarinya, ayahku berkata, ”Semuanya
mereka dari Quraisy”. (Riwayat Termizi).
ـ حدثنا عمرو بن عثمان، ثنا مروان بن معاوية، عن إسماعيل يعني
ابن أبي خالد عن أبيه، عن جابر بن سمرة قال: سمعت رسول اللّه صلى اللّه
عليه وسلم يقول: "لايزال هذا الدِّين قائماً حتى يكون عليكم اثنا عشر
خليفةً، كلهم تجتمع عليه الأمة" فسمعت كلاماً من النبيِّ صلى اللّه عليه
وسلم لم أفهمه، قلت لأبي: ما يقول؟ قال: كلهم من قريش.
Daripada Jabir bin Samurah r.a. katanya, aku mendengar
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Agama ini akan terus teguh sehingga
memerintah kamu dua belas orang khalifah, semua mereka ini disepakati
oleh ummat”. (Riwayat Abi Daud)
Golongan Syi’ah mengatakan 12 khalifah atau amir yang
terdapat di dalam hadis tersebut adalah 12 imam maksum di sisi mereka.
Ulama-ulama ASWJ menolak pendapat mereka dengan beberapa hujah.
Antaranya adalah:
Pertama: Di dalam hadis tersebut Nabi s.a.w. menggunakan
kalimah amir atau khalifah dan tidak ada satupun riwayat yang
menyebutkan kalimah imam dengan mufrad atau aimmah dengan lafaz jama’.
Kalau dipandang kepada kalimah sajapun sama sekali tidak
menepati imam-imam Syi’ah kerana kalimat amir atau khalifah digunakan
kepada pemerintah. Sedangkan di kalangan imam-imam Syi’ah hanya dua org
saja yang menjadi pemerintah.
Kedua: Rasulullah s.a.w. bersabda, “Agama ini akan terus mulia dan teguh sehingga 12 orang khalifah atau amir”.
Di sisi ASWJ agama Islam begitu gemilang selama pemerintahan
12 orang khalifah bermula dari zaman khalifah pertama Abu Bakar
as-Siddiq r.a. sehingga 12 orang khalifah.
Bukankah di zaman-zaman tersebut musuh-musuh Islam begitu
takut dengan kekuatan kerajaan Islam dan mereka tidak mampu untuk
memerangi umat Islam? Bukankah itu buktinya Islam begitu mulia dan
teguh?
Namun begitu musuh-musuh Islam tidak akan berdiam diri
bilamana mereka tidak dapat memerangi umat Islam pada ketika itu tapi
dendam yang bersarang di hati mereka mendorong mereka untuk merusak
sejarah gemilang umat Islam tersebut. Lalu tersebarlah cerita-cerita
dari mereka-mereka yang jahat dan bermaksud utk menggelapkan sejarah
gemilang umat islam di zaman awal Islam seperti cerita-cerita antaranya
yang memburukkan khalifah umat Islam Mu’wiyah r.a. serta anaknya Yazid.
Dengan itu hadis ini memang tepat untuk dua belas khalifah
di kalangan ASWJ dan sememangnya hadis ini merupakan salah satu mukjizat
Rasulullah s.a.w. setelah kewafatannya.
Dan juga jikalau dilihat kepada hadis ini “Rasulullah s.a.w.
bersabda, “Agama ini akan terus mulia dan teguh sehingga 12 org
khalifah atau amir”.
Maka langsung tidak tepat untuk imam-imam Syi’ah kerana:
Mengikut Syi’ah, Imamah (zaman dua belas imam) berlangsung
sehingga kini dengan mereka mengatakan zaman ini adalah zaman imam yang
kedua belas mereka iaitu Muhammad bin Hasan al-‘Askari yang diberi gelar
al-Qaaim serta merupakan imam mahdi mereka (sekarang ini masih ghaib
entah akan keluar atau tidak,mungkin takut dibunuh oleh Syi’ah sendiri).
Kalau kita melihat kepada hadis tersebut yang berbunyi,
“agama ini akan terus mulia dan teguh sehingga 12 orang khalifah atau
amir” bermakna langsung tidak bertepatan dengan pegangan Syi’ah kerana
zaman imam ke 12 mereka (sekarang bahkan bermulalebih dari seribu tahun
yg lalu) bukanlah merupakan zaman kegemilangan, kemulian, keteguhan
Islam tapi zaman kini adalah merupakan zaman kelemahan, kehinaan umat
islam.
Ketiga: Sabda Rasulullah s.a.w, “Semua mereka dari Quraisy”.
Andaikata itu bertepatan dengan pegangan Syi’ah niscaya Nabi
s.a.w. akan menjelaskan dengan sejelas-jelasnya dan akan berkata, “ dari
kalangan ahlul baitku”.
Dan kalau diperhatikan pada hadis ini memang bertepatan
dengan pegangan ASWJ di mana 12 khalifah tersebut memang dari kalangan
Quraisy dan berasal dari berbagai-bagai kabilah Quraisy. Kerana itu Nabi
s.a.w. mengatakan, “Semuanya dari Quraisy yang menunjukkan kepelbagai
keluarga serta kabilah mereka bukannya dari satu keluarga atau satu
kabilah.
Kesimpulannya kalau diperhatikan kepada hadis tersebut
langsung tidak terdapat isyarat secara jelas perlantikan imam-imam ahlul
bait sebagai imam maksum serta wajib ditaati sebagaimana mengikut
fahaman Syi’ah.
Wallahua’lam.
3.MAKSUD HADIS AL-GHADIR
“Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang
penting, salah satu daripadanya lebih besar daripada yang lain: Kitab
Allah Ta‘ala (al-Qur’an) dan ahli keluarga terdekatku. Maka
perhatikanlah bagaimana sikap kalian terhadap kedua-duanya sepeninggalan
aku kerana sesungguhnya kedua-duanya tidak akan berpisah sehingga
bertemu dengan aku di Telaga Haudh (di Akhirat kelak).”
(Zaid berkata): Kemudian baginda bersabda: “Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla adalah Mawla aku dan aku adalah mawla bagi setiap mukminin.”
(Kemudian Zaid menerangkan): Kemudian baginda mengangkat tangan
Ali radhiallahu 'anh lalu bersabda: “Barangsiapa aku adalah mawlanya
maka inilah (‘Ali) walinya. Ya Allah! Cintailah sesiapa yang
memperwalikannya dan musuhilah sesiapa yang memusuhinya.”
Hadis di atas dikeluarkan oleh al-Hakim di dalam kitabnya
al-Mustadrak – hadis no: 4576 (Kitab Ma’refah al-Shahabah, Bab manaqib
‘Ali bin Abi Thalib). Ia disahihkan oleh al-Zahabi sebagaimana disebut
Ibn Katsir di dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, jld. 5, hal 209
Maksud Hadis al-Ghadir dan kesalahan Syi‘ah dalam menjadikannnya sebagai hujah bisa dikaji dari tiga sudut:
Sudut pertama: dari sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam
Seandainya Rasulullah ingin menjadikan ‘Ali sebagai khalifah umat
Islam, pasti baginda akan menyebut perka-taan “khalifah” secara jelas
sehingga tidak timbul perselisihan pendapat terha-dapnya. Akan tetapi
memandangkan Rasulullah tidak melakukannya, bukanlah disebabkan oleh
faktor kelupaan, melainkan baginda sejak asal memang tidak bermaksud
melantik ‘Ali sebagai khalifah umat Islam.
Sebelumnya, ingin diperingatkan kepada para pembaca sekalian bahawa
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sama ada pilihan
perkataan atau susunan lafaznya, adalah bersumber daripada wahyu Allah
Subhanahu wa Ta‘ala. Allah berfirman:
Dan dia (Muhammad) tidak memperkatakan (sesuatu yang berhubung
dengan agama Islam) menurut kemauan dan pendapatnya sendiri. Segala yang
diperkatakannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. [al-Najm 53:3-4]
Oleh karena itu apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda dengan menggunakan sesuatu perkataan dan susunan lafaz,
bukanlah sesuatu yg mengambang atau tidak disengajakan. Akan tetapi
adalah yang dipilih dan disusun khusus dari sumber wahyu. karena itu,
Hadis al-Ghadir atau hadis lain yang sahih yang bakal dibahas dalam note
ini, setiap perkataan dan susunannya memiliki arti tersendiri
sebagaimana ia digunakan. Kita wajib memahami perkataan dan susunan
tersebut sebagaimana yang tercatat dalam kitab-kitab yang sahih tanpa
memaksa-maksa atau mentakwil (mengubah) pengertiannya ke arah maksud
yang disukai.
Kembali kepada Hadis al-Ghadir, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyebut ‘Ali sebagai Mawla dan Wali bagi umat Islam,
maka yang baginda maksudkan ialah penolong dan pelindung bagi umat
Islam. Seandainya Rasulullah ingin menjadikan ‘Ali sebagai khalifah umat
Islam, pasti baginda akan menyebut perkataan “khalifah” secara tegas
sehingga tidak timbul perselisihan pendapat terhadapnya. Akan tetapi
memandangkan Rasulullah tidak melakukannya, itu bukanlah disebabkan oleh
faktor kelupaan atau alpha, melainkan baginda sejak asal memang tidak
bermaksud melantik ‘Ali sebagai khalifah umat Islam.
Adapun kenyataan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa “Sesungguhnya ‘Ali adalah daripada aku dan aku adalah daripadanya…” ,
itu bukan berarti kesamaan diri antara baginda dan ‘Ali. Akan tetapi
itu adalah satu bentuk pujian Rasulullah kepada orang yang dihargainya.
Di dalam Shahih Muslim – hadis no: 2472 (Kitab Fadha’il al-Shahabah, Bab keutamaan Julaibib), di
akhir sebuah peperangan, Rasulullah mencari seorang sahabat yang
bernama Julaibib. Setelah dicari-cari, para sahabat menemui beliau yang
telah gugur syahid di sisi tujuh orang musuh yang dibunuhnya sebelum
itu. Melihat yang itu, Rasulullah bersabda:
“Dia membunuh tujuh orang kemudian terbunuh! Iai daripada aku dan aku daripadanya. Ia daripada aku dan aku daripadanya.”
Di dalam Shahih al-Bukhari – hadis no: 2486 Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
Sesungguhnya apabila golongan al-Asy'ariyyin, apabila mereka
kekurangan perbekalan dalam perang atau kekurangan makanan untuk
anak-anak mereka di Madinah, mereka menghimpun apa saja pakaian yang ada
pada sisi mereka dan minum dari satu bekas air. Maka mereka daripada
aku dan aku daripada mereka.
oleh karena itu perkataan “Sesungguhnya ‘Ali adalah daripada aku dan aku adalah daripadanya…” tidak hanya khusus kepada ‘Ali tetapi meluas kepada beberapa sahabat yang lain.
Sudut kedua: Maksud Hadis al-Ghadir di sisi para sahabat.
Di antara generasi umat Islam, para sahabat radhiallahu 'anhum adalah
generasi yang paling memahami agama, khususnya maksud al-Qur’an dan
al-Sunnah. Merujuk kepada al-Sunnah, para sahabat menyaksikan sendiri
peristiwa yang melatarbelakangi sesuatu hadis (asbab al-wurud),
memerhatikan sendiri lisan dan gerak badan (body language) Rasulullah
ketika menyampaikannya dan tanpa lengah berpeluang untuk bertanya terus
kepada baginda seandainya mereka tidak memahaminya.
Lebih dari itu, kefahaman para sahabat dipersaksikan sendiri kebenarannya oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Allah berfirman:
Dan orang-orang yang terdahulu - yang mula-mula (berhijrah dan
memberi bantuan) dari orang-orang “Muhajirin” dan “Ansar”, dan
orang-orang yang menurut (jejak langkah) mereka dengan kebaikan (iman
dan taat), Allah redha akan mereka dan mereka pula redha akan Dia, serta
Dia menyediakan untuk mereka syurga-syurga yang mengalir di bawahnya
beberapa sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; itulah
kemenangan yang besar. [al-Taubah 9:100]
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta‘ala menerangkan
keridhaan-Nya terhadap para sahabat dan keridhaan para sahabat
kepada-Nya. Tidak sekadar itu, Allah juga menjanjikan syurga yang kekal
kepada mereka.
Para sahabat tidak mengartikan perkataan Mawla dalam Hadis al-Ghadir
dengan arti khalifah kerana jika demikian hadis tersebut akan berbunyi:
“Barangsiapa yang aku adalah khalifahnya, maka ‘Ali adalah khalifahnya.”
Ini akan men-jadikan wujudnya dua khalifah dalam satu waktu yang sama,
sesuatu yang tidak dibolehkan dalam Islam.
Nah! Jika pemahaman para sahabat terhadap agama (al-Qur’an dan
al-Sunnah) adalah salah atau mereka sengaja menyembunyikan pemahaman
yang benar, pasti Allah tidak akan ridha kepada mereka, apatah lagi
menjanjikan syurga yang kekal kepada mereka. Ini tidak lain menunjukkan
pemahaman para sahabat terhadap agama adalah benar dan apa yang mereka
amalkan serta sampaikan kepada generasi seterusnya adalah juga benar.
Tidak ada orang yang menyangkal pemahaman agama para sahabat melainkan mereka menyangkal persaksian Allah dalam ayat di atas!!!
Termasuk dalam kebenaran pemahaman para sahabat terhadap agama ialah
kpemahaman mereka terhadap perkataan Mawla dan Wali dalam Hadis
al-Ghadir. Sebelum ini para pengkaji Syi‘ah sendiri telah menerangkan
bahwa terdapat 110 orang sahabat yang meriwayatkan Hadis al-Ghadir. Ahlus-Sunnah
menambah, bahawa para sahabat tidak sekadar meriwayatkan hadits tetapi
mereka juga memahami apa yang mereka riwayatkan. apakah
pemahaman para sahabat yang menyaksikan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam berkhutbah menyampaikan Hadis al-Ghadir?
Kefahaman mereka adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ingin
menjadikan ‘Ali sebagai sebaik-baik penolong dan pelindung mereka. Ini
kerena umat Islam asalnya adalah penolong dan pelindung bagi sesama
mereka. Firman Allah:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, setengahnya menjadi penolong bagi setengahnya yang lain. [al-Taubah 9:100]
Maka ‘Ali adalah penolong dan pelindung yang paling utama bagi orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan.
Para sahabat tidak memahami perkataan Mawla dalam Hadis al-Ghadir
dengan arti khalifah kerana jika demikian hadis tersebut akan berbunyi:
“Barangsiapa yang aku adalah khalifahnya, maka ‘Ali adalah khalifahnya.”
Ini akan menjadikan wujudnya dua khalifah dalam satu waktu yang sama.
Hal ini adalah tidak mungkin kerana dalam sebuah hadis yang dikeluarkan
oleh Muslim di dalam kitab Shahihnya – hadis no: 1853
(Kitab kepimpinan, Bab apabila dua khalifah menuntut bai‘ah), Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menegaskan:
Apabila terdapat dua khalifah yang menuntut dibai‘ah (diberi ikrar janji taat setia), maka bunuhlah yang kedua daripada mereka.
Seandainya didakwa Hadis al-Ghadir hanya untuk melantik ‘Ali sebagai
khalifah dan jabatan tersebut disandang sesudah wafatnya Rasulullah, itu
tidak mutlak.
Rasulullah tidak merujuk kepada ‘Ali ra kerana dalam sebuah hadis yang lain Rasulullah juga berpesan:
Ikutilah dua orang sesudahku (yakni) Abu Bakar dan ‘Umar (bin al-Khaththab).
Ini adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat,
antaranya Huzaifah bin al-Yaman, ‘Abd Allah ibn Mas‘ud, Abu al-Darda’,
‘Abd Allah ibn ‘Umar dan Anas bin Malik radhiallahu 'anhum. Lafaz di
atas dikeluarkan oleh al-Tirmizi dan dinilai sahih dalam Shahih Sunan
al-Tirmizi – hadis no: 3662 (Kitab al-Manaqib, Bab manaqib Abu Bakar dan
‘Umar).
Oleh karena itu di sisi para sahabat radhiallahu 'anhum, perkataan
Mawla dan Wali tidak bermaksud khalifah tetapi penolong dan pelindung
umat Islam. Ini tidak sedikit juga mengurangi keutamaan ‘Ali kerana
khalifah adalah satu kedudukan yang dibebani dengan pelbagai
tanggungjawab sedangkan Mawla adalah satu kedudukan yang dipenuhi dengan
pelbagai keutamaan.
Sudut ketiga: Maksud Hadis al-Ghadir di sisi ‘Ali bin Abi Thalib.
Di antara semua sahabat, orang yang paling memahami Hadis al-Ghadir
ialah ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anh. Ini kerana apabila
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah menyampaikan Hadis
al-Ghadir, baginda menyampaikannya sambil memegang dan mengangkat tangan
‘Ali. Zaid bin Arqam radhiallahu 'anh menerangkan peristiwa khutbah
Ghadir Khum, di mana antara lain Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
“Sesungguhnya aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang
penting, salah satu daripadanya lebih besar daripada yang lain: Kitab
Allah Ta‘ala (al-Qur’an) dan ahli keluarga terdekatku. Maka
perhatikanlah bagaimana sikap kalian terhadap kedua-duanya sepeninggalan
aku kerana sesungguhnya kedua-duanya tidak akan berpisah sehingga
bertemu dengan aku di Telaga Haudh (di Akhirat kelak).”
(Zaid berkata): Kemudian baginda bersabda: “Sesungguhnya Allah
'Azza wa Jalla adalah Mawla aku dan aku adalah mawla bagi setiap
mukminin.”
(Kemudian Zaid menerangkan): Kemudian baginda mengangkat tangan
Ali radhiallahu 'anh lalu bersabda: “Barangsiapa aku adalah mawlanya
maka inilah (‘Ali) walinya. Ya Allah! Cintailah sesiapa yang
memperwalikannya dan musuhilah sesiapa yang memusuhinya.”
Di antara semua sahabat, orang yang paling memahami Hadis al-Ghadir
ialah ‘Ali bin Abi Thalib. Ini kerana ketika menyampaikan hadis
tersebut, Rasulullah telah memegang dan mengangkat tangan ‘Ali. Akan
tetapi sepanjang hayatnya ‘Ali tidak pernah menggunakan Hadis al-Ghadir
untuk menuntut hak khalifah bagi dirinya.Hadis di atas dikeluarkan oleh
al-Hakim di dalam kitabnya al-Mustadrak – hadis no: 4576 (Kitab Ma’refah
al-Shahabah, Bab manaqib ‘Ali bin Abi Thalib). Ia disahihkan oleh
al-Zahabi sebagaimana sebut Ibn Katsir di dalam al-Bidayah wa
al-Nihayah, jld. 5, hal. 209.
Terdapat beberapa poin penting dari hadis di atas:
1. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: “…aku tinggalkan
kepada kalian dua perkara yang penting…”, inilah yang dimaksudkan
sebagai Hadis al-Tsaqalain
2. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: “…Sesungguhnya
Allah 'Azza wa Jalla adalah Mawla ku…” bererti Allah adalah penolong dan
pelindung Rasulullah. Di sini perkataan Mawla tidak bermaksud khalifah
kerana Allah bukanlah khalifah kepada Rasulullah, tidak juga kepada umat
Islam. Ini selanjutnya menjadi bukti bahawa Hadis al-Ghadir yang
menggunakan perkataan Mawla dan Wali pada asalnya tidak membahas subjek
kekhalifahan tetapi subjek penolong dan pelindung bagi umat Islam.
3. Keterangan Zaid bin Arqam radhiallahu 'anh bahawa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam memegang dan mengangkat tangan Ali seraya
bersabda: “Barangsiapa aku adalah mawlanya maka inilah (‘Ali) walinya”
menunjukkan bahawa orang yang paling memahami maksud Hadis al-Ghadir
adalah ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anh.
Timbul persoalan, apakah kefahaman ‘Ali terhadap Hadis al-Ghadir? Jawabannya dapat diperoleh dengan mengkaji dua petunjuk:
Petunjuk pertama: ‘Ali tidak pernah menggunakan Hadis al-Ghadir untuk menuntut hak menjadi khalifah.
Seandainya Hadis al-Ghadir bermaksud melantik ‘Ali radhiallahu 'anh
sebagai khalifah, pasti ‘Ali akan menuntut haknya berdasar hadis
tersebut. Pasti ‘Ali akan bangun berkhutbah di hadapan para Sahabat tak
lama setelah wafatanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
mengingatkan mereka tentang Hadis al-Ghadir dan menuntut umat Islam
melantiknya menjadi khalifah.
Akan tetapi fakta yang sahih menunjukkan ‘Ali tidak pernah melakukan
hal itu. Apakah ‘Ali mendurhakai kehendak Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam?
Pasti tidak! Tidak ada apa-apa penjelasan melainkan ‘Ali sendiri
mengetahui bahawa Hadis al-Ghadir tidak bermaksud melantik dirinya
sebagai khalifah.
Tokoh-tokoh Syi‘ah memberi alasan konon katanya ‘Ali tidak menuntut
haknya sebagai seorang khalifah demi menjaga kesatuan umat Islam. Konon
katanya setelah melihat umat Islam melantik Abu Bakar radhiallahu 'anh,
‘Ali mengambil keputusan untuk berkompromi, yakni dengan tidak meminta
hak kekhalifahannya demi mencegah perpecahan umat Islam saat itu. Di
sisi Ahlus -Sunnah, ini adalah alasan yang amat lemah. Sebab:
1. Ahlus-Sunnah mengenali ‘Ali sebagai seorang yang berani lagi teguh
menegakkan kebenaran. Berdasarkan sikapnya ini, ‘Ali tidak akan
sekali-kali akan membiarkan haknya menjadi khalifah diambil oleh orang
lain. Membiarkan hal itu berarti mendurhakai wasiat Rasulullah dalam
Hadis al-Ghadir.
Melainkan, ‘Ali sendiri memahami bahwa ketika Rasulullah mengangkat
tangannya dalam Hadis al-Ghadir, baginda tidak bermaksud menjadikannya
sebagai khalifah Islam tetapi sebagai penolong dan pelindung umat Islam.
2. Seandainya benar ‘Ali mengambil keputusan untuk berkompromi, itu
adalah keputusan yang amat fatal. Disebabkan keputusan inilah umat Islam
berpecah kepada Ahlus-Sunnah dan Syi‘ah sebagaimana yang disaksikan
sehingga hari ini. Padahal jika ‘Ali membuat keputusan untuk tidak
berkompromi, yakni dengan tetap menuntut haknya menjadi khalifah yang
pertama tanpa berlengah, niscaya perpecahan umat Islam tidak akan
terjadi.
Melainkan, ‘Ali sendiri mengetahui bahwa Hadis al-Ghadir tidak
bermaksud memberi dirinya hak menjadi khalifah. Atas pengetahuan inilah
‘Ali tidak pernah membuat keputusan untuk berkompromi kerana pada
asalnya memang tidak ada apa-apa untuk dikompromikan.
Petunjuk kedua: ‘Ali menggunakan Hadis al-Ghadir hanya setelah dirinya dilantik menjadi khalifah keempat.
‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anh tidak menggunakan Hadis
al-Ghadir untuk menuntut haknya menjadi khalifah. Sebaliknya ‘Ali
menggunakan Hadis al-Ghadir untuk menuntut orang orang membantunya dalam
tugas-tugas kekhalifahan. Ini terjadi setelah beliau diangkat menjadi
khalifah umat Islam yang keempat setelah wafatnya ‘Utsman radhiallahu
'anh.
Sa‘id bin Wahab dan Zaid bin Yutsay’ (زيد بن يثيع) menerangkan:
‘Ali pernah meminta persaksian orang ramai di sebuah tanah
lapang, siapa yang pernah mendengar sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam pada hari Ghadir Khum, hendaklah berdiri. Maka berdirilah di
belakang Sa‘id (bin Wahab) enam orang dan di belakang Zaid (bin Yutsay’)
enam orang, mereka bersaksi bahwa mereka telah mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada ‘Ali radhiallahu 'anh pada
hari Ghadir Khum:
“Bukankah Allah lebih utama terhadap kaum mukminin?” Orang orang (yang hadir di Ghadir Khum ketika itu menjawab): “Ya!”.
Rasulullah melanjutkan: “Ya Allah! Barangsiapa yang aku adalah
mawlanya maka ‘Ali adalah mawlanya. Ya Allah! Cintailah siapa siapa yang
memperwalikannya dan musuhilah siapa siapa yang memusuhinya.”
Hadis ini dikeluarkan oleh Ahmad bin Hanbal. Dalam beberapa riwayat
yang lain, disebut bahawa yang berdiri adalah tiga puluh orang, dua
belas daripadanya adalah mereka yang pernah menyertai Perang Badar.
Hadis ini dinilai sahih oleh Syu‘aib al-Arna’uth dalam Musnad Ahmad –
hadis no: 950 (Musnad sepuluh orang yang diberi berita gembira dengan
syurga, Musnad ‘Ali bin Abi Thalib).
Kenapakah ‘Ali meminta persaksian para Sahabat Nabi tentang Hadis
al-Ghadir? Fakta-fakta sejarah menerangkan bahawa orang-orang yang
membai‘ah ‘Ali terdiri daripada dua kelompok
1. Pertama adalah para sahabat radhiallahu 'anh dan mereka bersikap
jujur dalam memberi bai‘ah kepada ‘Ali dan membantu tugas-tugas
kekhalifahannya.
2. Kedua adalah orang-orang yang terlibat dalam peristiwa pembunuhan
‘Utsman radhiallahu 'anh dan mereka berpura-pura memberi bai‘ah kepada
‘Ali dalam rangka menyamar dan menghindarkan diri daripada dijatuhkan
hukuman. Ciri-ciri utama untuk mengenali orang-orang dalam kelompok
kedua ini adalah mereka enggan membantu ‘Ali dalam tugas-tugas
kekhalifahannya.
Justeru ‘Ali berkhutbah kepada orangOrang dan meminta persaksian
mereka tentang Hadis al-Ghadir. Melalui persaksian ini, orang-orang yang
hadir pada hari Ghadir Khum, yakni para sahabat daripada kelompok
pertama, dapat memberitahu kepada orang-orang yang tidak hadir pada hari
Ghadir Khum, yakni orang-orang yang menyamar dari kelompok kedua. para
sahabat memberitahukan kepada mereka daripada tentang peristiwa Ghadir
Khum dan Hadis al-Ghadir:
“Ya Allah! Barangsiapa yang aku adalah mawlanya maka ‘Ali adalah
mawlanya. Ya Allah! Cintailah sesiapa yang memperwalikannya dan
musuhilah sesiapa yang memusuhinya”, sebagian orang dari kelompok kedua
sadar akan kehilafaan mereka dan kembali bertaubat dengan membantu ‘Ali
dalam tugas-tugas kekhalifahnnya. Sebagian lagi enggan bertaubat kerana
sejak awal tujuan mereka masuk Islam adalah untuk merusaknya dari
dalam(syi'ah/rafidah).
Fakta yang penting di sini adalah, tindakan ‘Ali meminta
persaksian para Sahabat untuk membantunya dalam tugas-tugas
kekhalifahan melalui Hadis al-Ghadir menunjukkan beliau memahami hadis
tersebut dalam konteks penolong dan pelindung, bukan dalam konteks
kekhalifahan. Seandainya ‘Ali memahami Hadis al-Ghadir dalam konteks
kekhalifahan, niscaya beliau meminta persaksian para Sahabat tidak lama
setelah wafatnya Rasulullah, tidak setelah dirinya dilantik menjadi
khalifah keempat.
Demikianlah kajian kita terhadap maksud Hadis al-Ghadir dari sisi
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, para sahabat radhiallahu 'anhum
dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anh. Jelas bahwa mereka memahami
Hadis al-Ghadiri menerangkan:
1.keutamaan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anh sebagai penolong dan
pelindung umat Islam. Hadis al-Ghadir tidak bermaksud melantik ‘Ali
sebagai khalifah umat Islam sebagaimana yang didakwa oleh Syi‘ah.
2.Hadis al-Ghadir bermaksud menerangkan keutamaan ‘Ali bin Abi Thalib
sebagai penolong dan pelindung umat Islam. Seandainya Hadis al-Ghadir
bermaksud melantik ‘Ali sebagai khalifah, berarti ‘Ali telah mendurhakai
kehendak Rasulullah. Hal ini pasti mustahil bagi ‘Ali, maka mustahil
jugalah menjadikan Hadis al-Ghadir dalil kekhalifahan bagi ‘Ali
Radiallahu'anh.
Wallahu a'lam
Penilaian Imam Ahlul Bayt tentang Sahabat
Ja'far Shadiq, imam keenam:
أبو عبد الله عليه السلام قال : كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وآله
اثني عشر ألفا ثمانية آلاف من المدينة ، و ألفان من مكة ، وألفان من
الطلقاء ، ولم ير فيهم قدري ولا مرجي ولا حروري ولا معتزلي ، ولا صحاب رأي ،
كانوا يبكون الليل والنهار ويقولون : اقبض أرواحنا من قبل أن نأكل خبز
الخمير.") الخصال، الشيخ الصدوق - ص 639 – 640)
"Para sahabat Rasulullah saw. ada dua belas ribu orang.
Delapan ribu orang dari Madinah, dua ribu orang dari Mekkah, dan dua
ribu orang dari kalangan ath-Thulaqaa` (yang masuk Islam setelah era
Fath Makkah). Dalam diri mereka tidak didapati seorangpun yang menganut
paham qadariyah, atau murjiah, atau haruriah, atau mu'tazilah atau
rasionalis. Mereka itu selalu menangis di waktu malam dan siang (karena
rindu kepada Tuhan mereka) dan mereka berdoa: Ya Allah cabutlah nyawa
kami sebelum kami sempat makan roti." (al Khishal, karya Syekh Shaduuq,
hal. 639-640)
Imam ke 11, Hasan al 'Askari:
إن رجلاً ممن يبغض آل محمد وأصحابه الخيرين، أو واحداً منهم يعذبه الله
عذاباً لو قسم على مثل عدد خلق الله لأهلكهم أجمعين. (تفسير الحسن العسكري
ص196 ، و بحار الأنوار للمجلسي ج 26 ص 331)
"Orang yang membenci keluarga Muhammad dan para
sahabatnya yang mulia, atau terhadap salah seorang dari mereka, niscaya
Allah akan adzab mereka dengan adzab yang jika ditimpakan kepada seluruh
makhluk Allah niscaya binasalah mereka seluruhnya."
(Tafsir al Hasan al 'Askari, hal. 196. Juga lihat di Biharul Anwar karya Al Majlisi, juz 26, hal. 331)
wasiat penghulu para imam Ahlul Bait, yaitu Ali bin Abi
Thalib r.a. tentang para sahabat yang mulia dan persaksian ta'dil dia
terhadap mereka:
وأوصيكم بأصحاب نبيكم ، لا تسبوهم ، وهم الذين لم يحدثوا بعده حدثا ،
ولم يأتوا محدثا ، فإن رسول الله ( صلى الله عليه وآله ) أوصى بهم. )
الأمالي ، الشيخ الطوسي ، ص 522 – 523)
"Aku berwasiat kepada kalian tentang para sahabat Nabi
kalian. Jangan kalian cerca mereka. Karena mereka tidak melakukan suatu
perubahan apa pun terhadap agama setelah Nabi saw. Mereka juga tidak
mendatangkan orang yang melakukan perubahan. Dan Rasulullah saw. juga
berwasiat seperti itu tentang mereka." (al Amaali, karya Syekh ath
Thuusi, hal. 522-523)
Imam yang kedelapan, yaitu Ali bin Musa atau yang dikenal dengan Ali ar Ridhai:
قال علي بن موسى الملقب بالرضا - الإمام الثامن عند الشيعة - حينما سئل
"عن قول النبي صلى الله عليه وسلم : أصحابي كالنجوم فبأيهم اقتديتم اهديتم ،
وعن قوله عليه السلام: دعوا لي أصحابي:؟ فقال: هذا صحيح . (عيون أخبار
الرضا (ع)، الشيخ الصدوق ، ج1 ص 93)
Ali bin Musa ar Ridha imam Ahlul Bait ke delapan ketika
ditanya tentang sabda Nabi saw: "Para sahabatku seperti bintang
gemintang, dengan siapapun dari mereka kalian mengikut, niscaya kalian
akan mendapatkan petunjuk yang benar." Serta tentang sabda Nabi
saw."Jangan kalian berbuat buruk kepada sahabatku." Ali ar Ridha
menjawab: "hadits itu sahih." ('Uyun Akbar ar Ridha, karya Syekh ash
Shaduuq, juz 1 hal. 93).
Imam ke 11, Hasan al 'Askari berkata dalam tafsirnya:
( إن كليم الله موسى سأل ربه : هل في صحابة الأنبياء أكرم عندك من
صحابتي؟ قال الله عز وجل: يا موسى! أما عملت أن فضل صحابة محمد صلى الله
عليه وآله على جميع صحابة المرسلين كفضل آل محمد على جميع آل النبيين وكفضل
محمد على جميع المرسلين) .(تفسير الحسن العسكري ص 32).
"Kalimullah Musa pernah bertanya kepada Rabb-Nya: Apakah
diantara sahabat-sahabat para nabi ada yang lebih mulia di sisiMu
dibandingkan para sahabatku? Allah swt. berfirman: "Musa! Apakah engkau
tidak tahu bahwa keutamaan sahabat Muhammad saw. atas seluruh sahabat
para Rasul yang lain adalah laksana keutamaan keluarga Muhammad atas
seluruh keluarga para nabi. Dan seperti keutamaan Muhammad atas seluruh
Rasul." (Tafsir al Hasan al 'Askari, hal. 32)
Wallahu' a'lam
Ahlul Bait Rasulullah SAW
Banyak orang yang mengaku mencintai ahlul bait akan tetapi membenci para istri Rasulullah SAW. Mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ahlul bait dalam ayat :
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (33)
”Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (Al Ahzab : 33 )
Hanyalah Sayidina Ali, Fatimah, Hasan dan Husain r.a, sesuai dengan
suatu riwayat yang menceritakan bahwa ketika ayat tersebut turun di
rumah Umi Salamah (salah satu istri Rasul), Dia menanyakan apakah dia
termasuk dalam ahlul bait, Rasul menjawab “Tetaplah di tempatmu, engkau
berada dalam kebaikan”, dari situ mereka membuat kesimpulan bahwa Istri
Rasul bukanlah termasuk ahlul bait.
Terdapat pula kaum yang mempertanyakan penisbatan nasab Sayidina
Hasan dan Husain kepada Rasulullah karena dalam islam nasab seseorang
diambil dari jalur ayah bukan Ibu, sedangkan nasab mereka bersambung
kepada Rasulullah melalui jalur ibu mereka yaitu Sayidatuna Fatimah
bukan melalui jalur ayah mereka.
Kalaupun mereka termasuk ahlul bait ataupun keluarga Nabi,
lantas benarkah mereka menjadi mulia karena memiliki hubungan
kekerabatan dengan Rasulullah, bukankah islam hanya memandang ketakwaan
sebagai patokan keutamaan seseorang bukan dengan nasabnya sebagaimana
firman Allah SWT :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal” (Al Hujurat : 13 )
Kami Menjawab
Makna Ahlul Bait
Secara harfiyah arti Ahlul Bait adalah penghuni rumah atau kerabat. Berarti ahlul bait Rasul adalah semua penghuni rumah Rasul, dari sini menjadi jelas bahwa istri-istri Beliau termasuk di dalamnya(1). Oleh karena itu tidak diragukan bahwa ahlil bait dalam ayat :
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (33)
”Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (Al Ahzab : 33 )
Mencakup istri-istri Beliau. Selain itu ayat-ayat yang ada sebelum
dan sesudah ayat ini berisi mengenai petunjuk Allah terhadap istri-istri
Nabi. Akan tetapi jika yang dimaksud dengan ahlul bait dalam ayat ini hanya istri-istri beliau saja seperti yang dikatakan oleh sebagian ahli tafsir, maka akan terdapat sedikit kemusykilan
karena kata ganti yang digunakan dalam ayat ini adalah kata ganti
untuk laki-laki ((كُم bukan untuk wanita (كنّ). berarti yang dimaksud
dengan ahlul bait bukan hanya istri-istri beliau saja akan
tetapi mencakup juga keluarga Rasul yang lain (dalam bahasa arab, kata
ganti laki-laki jamak bisa juga digunakan untuk sekumpulan laki-laki
dan wanita, berbeda dengan kata ganti wanita jamak yang hanya bisa
digunakan untuk sekelompok wanita saja), mereka adalah Sayidatuna
Fatimah, Sayidina Ali, Hasan dan Husain, ini sesuai dengan hadits yang
diriwayatkan Imam Tirmidzi:
عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه وسلم قال نزلت
هذه الآية على النبي صلى الله عليه وسلم { إنما يريد الله ليذهب عنكم
الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا } في بيت أم سلمة فدعا النبي صلى الله
عليه وسلم فاطمة وحسنا وحسينا فجللهم بكساء وعلي خلف ظهره فجلله بكساء ثم
قال اللهم هؤلاء أهل بيتي فاذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت أم سلمة
وأنا مَعَهُمْ يا نَبِيَّ اللَّهِ قال أَنْتِ على مَكَانِكِ وَأَنْتِ على
خَيْرٍ قال هذا حَدِيثٌ غَرِيبٌ من حديث عَطَاءٍ عن عُمَرَ بن أبي
سَلَمَةَ
“Dari Umar bin Abi Salamah, anak tiri Rasulullah saw, berkata
“ayat ini turun kepada Nabi saw di rumah Umi Salamah yaitu ayat
”Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai
ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”, kemudian Nabi
memanggil Fatimah, Hasan dan Husain, dan menaungi mereka dengan kain
kisa`, ketika itu Ali berada di belakang punggungnya kemudian Rasul
menaunginya pula dengan kain kisa`, kemudian berkata “ Wahai Allah,
inilah Ahlil baitku maka hilangkanlah dari mereka kotoran dan sucikanlah
mereka”. Umu Salamah pun berkata “apakah aku bersama mereka wahai
rasulullah?”, Rasulullah menjawab “Engkau berada di tempatmu dan engkau
berada dalam kebaikan”” (2).
Perkataan Rasulullah kepada Umi Salamah “Engkau berada di kedudukanmu dan engkau berada dalam kebaikan” tidak berarti bahwa istri Rasulullah bukan termasuk dalam ahlul bait
akan tetapi maksudnya adalah Umu salamah sudah memiliki kedudukan
sebagai ahlil bait karena dia adalah istri Rasul oleh karena itu Rasul
berkata “dan engkau berada dalam kebaikan”. Selain itu tidak
mungkin Rasulullah memasukkan Umi salamah ke dalam naungan kisa` karena
disana ada Sayidina Ali yang merupakan lelaki ajnabi baginya.
Termasuk dalam lingkup ahlul bait adalah paman-paman beliau
yang muslim begitu juga semua keluarga nabi yang diharamkan untuk
menerima zakat, ini sesuai dengan perkataan Nabi kepada cucunya ketika
mengeluarkan kurma zakat dari mulutnya :
أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ آلَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم لَا يَأْكُلُونَ الصَّدَقَةَ ) صحيح البخاري – (2 / 541(
“Apakah engkau tahu bahwa keluarga Muhammad tidak memakan shadaqah (zakat)” (HR Bukhari)
Dari hadits ini bisa kita ketahui bahwa keluarga Nabi (آل النبي)
adalah mereka yang diharamkan untuk menerima zakat, yaitu Bani Hasyim
dan Bani Muthalib menurut madzhab Syafii, berarti para paman-paman
beliau termasuk keluarga nabi yang harus dihormati.
Jika mereka termasuk آل النبي, berarti mereka termasuk juga dalam
ahlul bait nabi karena secara bahasa arti آل tak berbeda dengan Ahli
yaitu kerabat. Oleh karena itu sebagian ahli bahasa menganggap tidak ada perbedaan antara istilah ahlu dan Al (آل). Ini bisa dilihat dari tashghir keduannya ke dalam satu lafadz yang sama yaitu اهيل (3).
Referensi
(1)المحكم والمحيط الأعظم – (4 / 355)
( وهُمْ أهَلاتٌ حَوْلَ قَيْسِ بنِ عاصِمٍ إذا أدَلجُوا
بالليلِ يَدْعونَ كَوْثَرَا ) قال سيبويه : وقالوا : أهْلاتٌ ….. الى ان
قال وأهلُ المذهب : من يدين به . وأهلُ الأمر : ولاته . وأهلُ البيت :
سكانه . وأهلُ بيت النبي صلى الله عليه وسلم : أزواجه وبناته وصهره ، اعني
عليا عليه السلام ، وقيل : نساء النبي صلى الله عليه وسلم ، والرجال الذين
هم آله . وفي التنزيل : ) إنما يُريدُ اللهُ لِيُذْهِبُ عَنْكُمُ
الرِّجْسَ أهْلَ البَيْتِ ( القراءة أهل بالنصب على المدح ، كما قال : بك
الله نرجو الفضل ، وسبحانك الله العظيم ، وعلى النداء ، كأنه قال : يا
أهْلَ البيت ، وقوله تعالى لنوح عليه السلام : ) إنَّهُ لَيْسَ مِنْ
أهْلِكَ ( قال الزجاج : أراد ليس من أهلِك الذين وعدتك أن أنجيتهم ، قال :
ويجوز أن يكون : ليس من أهل دينك . وأهْلُ كل نبي : أمته .
المصباح المنير – (1 / 28)
( أهل ) الرجل ( يأهل ) و ( يأهل ) ( أهولا ) إذا تزوج و ( تأهل
) كذلك ويطلق ( الأهل ) على الزوجة و ( الأهل ) أهل البيت والأصل فيه
القرابة وقد أطلق على الأتباع و ( أهل ) البلد من استوطنه و ( أهل ) العلم
من اتصف به والجمع ( الأهلون ) وربما قيل ( الأهالي ) و ( أهل ) الثناء
والمجد في الدعاء منصوب على النداء ويجوز رفعه خبر مبتدأ محذوف أي أنت أهل
و ( الأهلي ) من الدواب ما ألف المنازل وهو ( أهل ) للإكرام أي مستحق له
وقولهم ( أهلا وسهلا ومرحبا ) معناه أتيت قوما أهلا وموضعا سهلا واسعا
فابسط نفسك واستأنس ولا تستوحش و ( الإهالة ) بالكسر الودك المذاب و (
استأهلها ) أكلها ويقال ( استأهل ) بمعنى استحق
(2)سنن الترمذي – (5 / 663)
حدثنا قتيبة حدثنا محمد بن سليمان الأصبهاني عن يحيى بن عبيد
عن عطاء بن أبي رباح عن عمر بن أبي سلمة ربيب النبي صلى الله عليه وسلم
قال نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه وسلم { إنما يريد الله ليذهب
عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا } في بيت أم سلمة فدعا النبي صلى
الله عليه وسلم فاطمة وحسنا وحسينا فجللهم بكساء وعلي خلف ظهره فجلله
بكساء ثم قال اللهم هؤلاء أهل بيتي فاذهب عنهم الرجس وطهرهم تطهيرا قالت
أم سلمة وأنا مَعَهُمْ يا نَبِيَّ اللَّهِ قال أَنْتِ على مَكَانِكِ
وَأَنْتِ على خَيْرٍ قال هذا حَدِيثٌ غَرِيبٌ من حديث عَطَاءٍ عن عُمَرَ
بن أبي سَلَمَةَ
صحيح مسلم – (4 / 1883)
حدثنا أبو بَكْرِ بن أبي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بن عبد اللَّهِ
بن نُمَيْرٍ واللفظ لِأَبِي بَكْرٍ قالا حدثنا محمد بن بِشْرٍ عن زكريا عن
مُصْعَبِ بن شَيْبَةَ عن صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ قالت قالت عَائِشَةُ
خَرَجَ النبي صلى الله عليه وسلم غَدَاةً وَعَلَيْهِ مِرْطٌ مُرَحَّلٌ من
شَعْرٍ أَسْوَدَ فَجَاءَ الْحَسَنُ بن عَلِيٍّ فَأَدْخَلَهُ ثُمَّ جاء
الْحُسَيْنُ فَدَخَلَ معه ثُمَّ جَاءَتْ فَاطِمَةُ فَأَدْخَلَهَا ثُمَّ
جاء عَلِيٌّ فَأَدْخَلَهُ ثُمَّ قال { إنما يُرِيدُ الله لِيُذْهِبَ
عَنْكُمْ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا }
سنن البيهقي الكبرى – (2 / 149(
80 أخبرنا أبو عبد الله محمد بن أحمد بن أبي طاهر الدقاق
ببغداد أنبأ أحمد بن عثمان الآدمي ثنا محمد بن عثمان بن أبي شيبة ثنا أبي
ثنا محمد بن بشر العبدي ثنا زكريا بن أبي زائدة ثنا مصعب بن شيبة عن صفيه
بنت شيبة عن عائشة رضي الله عنها قالت خرج النبي صلى الله عليه وسلم ذات
غداة وعليه مرط مرحل من شعر أسود فجاء الحسن فأدخله معه ثم جاء الحسين
فأدخله معه ثم جاءت فاطمة فأدخلها معه ثم جاء علي فأدخله معه ثم قال إنما
يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا رواه مسلم في الصحيح
عن أبي بكر بن أبي شيبة وغيره عن محمد بن بشر
الدر المنثور – (6 / 605)
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يمر بباب فاطمة رضي الله
عنها اذا خرج إلى صلاة الفجر ويقول الصلاة يا أهل البيت الصلاة { إنما
يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا } وأخرج مسلم عن
زيد بن أرقم رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أذكركم
الله في أهل بيتي فقيل : لزيد رضي الله عنه : ومن أهل بيته أليس نساؤه من
أهل بيته قال : نساؤه من أهل بيته ولكن أهل بيته من حرم الصدقة بعده آل علي
وآل عقيل وآل جعفر
(3)تهذيب اللغة – (ج 5 / ص 200)
وقالت طائفة: الآل والأهل، واحد.واحتجوا بأن ” الآل ” إذا
صُغِّر قالوا: أُهَيل، فكان الهمزة هاء، كقولهم: هنرت الثوب وأَنرته، إذا
جعلت له علماً.وروى الفراء عن الكسائي في تصغير ” آل ” : أُوَيْل.قال أبو
العباس: فقد زالت تلك العلة وصار الآل والأهل أصلين لمعنيين، فيدخل في
الصلاة كل من اتبع النبي صلى الله عليه وسلم، قرابة كان أو غير قرابة.
Wilayah Bukan Imamah
Allah SWT berfirman :
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (55) [المائدة/55
Artinya : “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).”
Syubhat
Sebagian golongan mengklaim ayat tersebut sebagai bukti kuat mengenai hak Imam Ali untuk menjadi khalifah setelah wafatnya Rasul SAW, sekaligus bukti bahwa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman tidak syah dalam pandangan syariat. Mereka mengatakan bahwa Wali dalam ayat diatas semestinya diartikan dengan penguasa/pemimpin, dan yang dimaksud dengan :
وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
(Orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat, seraya menunaikan zakat, seraya mereka rukuk)
adalah Imam Ali seorang. Karena mereka mengartikan kalimat وَهُمْ رَاكِعُونَ dengan “menunaikan zakat ketika rukuk”. Jika demikian, arti ayat tersebut menjadi :
“Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat ketika rukuk (yaitu Imam Ali).”
Menurut mereka, Ulama tafsir sepakat bahwa ayat ini turun khusus mengenai Imam Ali, yaitu berkenaan dengan sedekah cincin yang dilakukan Imam Ali kepada seorang pengemis ketika beliau sedang rukuk dalam sholatnya. Kemudian, karena lafadz إِنَّمَا dalam bahasa arab berfaedah hashr (membatasi), berarti ayat tersebut intinya menegaskan bahwa pemimpin orang-orang mukmin hanya Allah, Rasul-Nya, dan Imam Ali saja. Dengan demikian secara otomatis pemimpin yang selainnya (seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman) tidak syah menurut syariat.
Sebab turun ayat
Pernyataan bahwa ulama bersepakat mengenai sebab turun ayat ini merupakan pernyataan yang tidak objektif dan penuh dengan hawa kefanatikan. Nyatanya, kitab-kitab tafsir penuh dengan komentar beragam para ulama tafsir mengenai sebab turun ayat ini. Sebagian ahli tafsir berpendapat ayat ini turun mengenai Abdullah bin Salam (mu`alaf yahudi) yang mengeluh pada Rasul mengenai rasa kesepian karena dikucilkan kaumnya(1). Ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar(2). Dari Ibnu Abbas sendiri terdapat dua riwayat, yang pertama menyatakan ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali(3), sedangkan riwayat kedua menyebutkan sebab turun ayat ini adalah Ubadah bin Shomit, ketika beliau membatalkan ikatan persekutuan dengan Yahudi(4),.
Kalaupun kita mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini turun mengenai Imam Ali, itu tidak berarti hukum ayat ini khusus bagi Imam Ali. Karena yang digunakan dalam ayat ini adalah ungkapan untuk orang banyak (shigoh jamak/plural) bukan ungkapan untuk satu orang (single). Ungkapannya yaitu, “ orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” Dalam kaidah tafsir disebutkan, yang dijadikan patokan adalah keumuman lafadz bukan kekhususan sebab(5). Jadi, semua orang mukmin yang memiliki sifat sesuai dengan apa yang disebut ayat diatas layak untuk dimasukkan dalam kategori Wali, tidak hanya Imam Ali seorang. Hal inilah yang diisyaratkan oleh Imam Abu Ja`far, Muhammad Al Bagir ( Tokoh Tabi`in yang diagungkan Ahlu Sunnah maupun Syiah) ketika beliau ditanyakan mengenai ayat ini, apakah ayat ini khusus turun mengenai Imam Ali, Beliau menjawab “Ali adalah salah seorang dari orang-orang mukmin”(6). Maksudnya, yang dimaksud wali dalam ayat tersebut adalah setiap mukmin yang sifatnya sesuai dengan apa yang disebutkan dalamnya, dan Imam Ali termasuk salah satunya.
Makna Wali
Lafadz وَلِيُّ memiliki banyak makna, seperti : tuan, hamba, anak paman, penolong, teman, kekasih, pemimpin, dan lain-lain(7). Akan tetapi, makna Wali yang paling umum ada tiga, yaitu penolong, kekasih, dan pemimpin. Kemudian, dari ketiga makna tersebut, yang paling sesuai dengan ayat di atas adalah penolong bukan pemimpin. Hal ini ditinjau dari beberapa segi, diantaranya:
1. Jika kita memperhatikan ayat-ayat yang ada sebelum dan sesudah ayat ini, kita akan menemukan dalam kedua ayat tersebut juga disebutkan lafadz Wali atau lebih tepatnya Auliya (bentuk majemuk dari kata wali), kedua ayat tersebut adalah:
2. Ayat ini menetapkan status kewalian bagi mereka yang disebutkan didalamnya secara langsung tanpa tenggat waktu. Maksudnya begitu ayat ini turun, di saat itu juga status mereka adalah Wali(9). Andai kita artikan Wali sebagai pemimpin, berarti ayat ini akan memiliki makna, “Sesungguhnya pemimpin kalian hanyalah Allah, Rasul Nya, dan orang-orang yang beriman...”. Adalah hal yang tidak mungkin orang-orang beriman yang jumlahnya begitu banyak, semuanya menjadi pemimpin bersama-sama dalam satu waktu, anda bisa bayangkan seberapa kacau kesudahannya. Begitu juga jika kita katakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang beriman adalah Imam Ali seorang--sebagaimana yang mereka yakini. Kalau demikian, maka maksud ayat ini akan menjadi seperti ini, “Sesungguhnya pemimpin kalian hanyalah Allah, Rasul Nya, dan Ali”, ini juga tidak tepat karena itu artinya Imam Ali berhak untuk mengatur umat, bersama-sama dengan Rasul saat Rasul masih hidup, padahal kenyataanya, Imam Ali di masa hidup Rasul sama sekali tidak pernah turut campur dalam memerintah umat kecuali sebagai suruhan Rasul(10). Berbeda jika kita artikan wali dengan penolong, maka makna ayat ini akan menjadi jelas tanpa ada kemusykilan.
3. Maksud mereka untuk menjadikan ayat ini sebagai hujjah mengenai hak Imam Ali menjadi khalifah Rasul, tidak akan terealisasikan kecuali jika lafadz إِنَّمَا berfaidah hashr haqiqi (membatasi). kalau lafadz tersebut berfaidah hashr maka arti ayat ini adalah, “Sesungguhnya pemimpin kalian hanya Allah, Rasul Nya, dan Imam Ali saja”.(tak ada yang lain)
Jika Syiah konsisten dengan pendapatnya ini, seharusnya mereka tidak mengambil imam lain selain Imam Ali. Faktanya, Syiah memiliki sebelas imam lain yang dianggap ma’sum selain Imam Ali.
Andai kita mau meninggalkan kefanatikan, lalu merenungkan dengan objektif mengenai ayat ini beserta ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, akan semakin jelas bagi kita bahwa ayat ini tidak mengarah pada penunjukkan Imam Ali sebagai khalifah, bahkan tidak ada kaitanya sama sekali dengan kekhalifahan. Jadi, menjadikan ayat ini sebagai alasan untuk mengingkari kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman merupakan kekeliruan yang besar.
Referensi
(1)تفسير الجلالين - (ج 2 / ص 223(
ونزل لما قال ابن سلام يا رسول الله إن قومنا هجرونا { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ الله وَرَسُولُهُ والذين ءامَنُواْ الذين يُقِيمُونَ الصلاة وَيُؤْتُونَ الزكواة وَهُمْ رَاكِعُونَ } خاشعون أو يصلون صلاة التطوّع
(3),(2)تفسير الرازي - (ج 6 / ص 87)
القول الثاني : أن المراد من هذه الآية شخص معين ، وعلى هذا ففيه أقوال : روى عكرمة أن هذه الآية نزلت في أبي بكر رضي الله عنه . والثاني : روى عطاء عن ابن عباس أنها نزلت في علي بن أبي طالب عليه السلام
(4)تفسير الخازن - (ج 2 / ص 302)
قوله تعالى : { إنما وليكم الله ورسوله والذين آمنوا } قال ابن عباس : نزلت هذه الآية فى عبادة بن الصامت حين تبرأ من موالاة اليهود وقال : أوالي الله ورسوله والمؤمنين يعني أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم وقال جابر بن عبد الله : نزلت فى عبد الله بن سلام وذلك أنه جاء إلى محمد صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إن قومنا قريظة والنضير قد هجرونا وفارقونا وأقسموا أن لا يجالسونا ، فنزلت هذه الآية ، فقرأ : عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال عبد الله بن سلام :
رضينا بالله ربّاً وبرسوله نبياً وبالمؤمنين أولياء .
(5)تفسير الصاوي (ج1/ص383-384)
قوله: (انما وليكم) الخطاب لعبد الله بن سلام و اتباعه الذين هداهم الله الى الاسلام, فلما نزلت هذه الاية, قال عبد الله بن سالام: رضينا بالله ربا, و برسول الله نبيا, و بالمؤمنين اولياء, و العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب, فكل من انتسب لله فهو وليه....
تفسير الرازي - (ج 6 / ص 87)
المسألة الأولى : في قوله { والذين ءامَنُواْ } قولان : الأول : أن المراد عامة المؤمنين ، وذلك لأن عبادة بن الصامت لما تبرأ من اليهود وقال : أنا بريء إلى الله من حلف قريظة والنضير ، وأتولى الله ورسوله نزلت هذه الآية على وفق قوله . وروي أيضاً أن عبدالله بن سلام قال : يا رسول الله إن قومنا قد هجرونا وأقسموا أن لا يجالسونا ، ولا نستطيع مجالسة أصحابك لبعد المنازل ، فنزلت هذه الآية ، فقال رضينا بالله ورسوله وبالمؤمنين أولياء ، فعلى هذا : الآية عامة في حق كل المؤمنين ، فكل من كان مؤمناً فهو ولي كل المؤمنين ، ونظيره قوله تعالى : { والمؤمنون والمؤمنات بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ } [ التوبة : 71 ] وعلى هذا فقوله { الذين يُقِيمُونَ الصلاة وَيُؤْتُونَ الزكواة } صفة لكل المؤمنين…
(6) تفسير البغوي – (ج 3 / ص 73)
وقال جوبير عن الضحاك في قوله: { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا } قال: هم المؤمنون بعضهم أولياء بعض، وقال أبو جعفر محمد بن علي الباقر: { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا } نزلت في المؤمنين، فقيل له: إن أناسا يقولون إنها نزلت في علي رضي الله عنه، فقال: هو من المؤمنين .
(7)المصباح المنير في غريب الشرح الكبير – (ج 10 / ص 453)
وَالْوَلِيُّ فَعِيلٌ بِمَعْنَى فَاعِلٍ مِنْ وَلِيَهُ إذَا قَامَ بِهِ وَمِنْهُ { اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا } وَالْجَمْعُ أَوْلِيَاءُ قَالَ ابْنُ فَارِسٍ وَكُلُّ مَنْ وَلِيَ أَمْرَ أَحَدٍ فَهُوَ وَلِيُّهُ وَقَدْ يُطْلَقُ الْوَلِيُّ أَيْضًا عَلَى الْمُعْتِقِ وَالْعَتِيقِ وَابْنِ الْعَمِّ وَالنَّاصِرِ وَحَافِظِ النَّسَبِ وَالصَّدِيقِ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى وَقَدْ يُؤَنَّثُ بِالْهَاءِ فَيُقَالُ هِيَ وَلِيَّةٌ قَالَ أَبُو زَيْدٍ سَمِعْتُ بَعْضَ بَنِي عُقَيْلٍ يَقُولُ هُنَّ وَلِيَّاتُ اللَّهِ وَعَدُوَّاتُ اللَّهِ وَأَوْلِيَاؤُهُ وَأَعْدَاؤُهُ وَيَكُونُ الْوَلِيُّ بِمَعْنَى مَفْعُولٍ فِي حَقِّ الْمُطِيعِ فَيُقَالُ الْمُؤْمِنُ وَلِيُّ اللَّهِ وَفُلَانٌ أَوْلَى بِكَذَا أَيْ أَحَقُّ بِهِ وَهُمْ الْأَوْلَوْنَ بِفَتْحِ اللَّامِ وَالْأَوَالِي مِثْلُ الْأَعْلَوْنَ وَالْأَعَالِي وَفُلَانَةُ هِيَ الْوُلْيَا وَهُنَّ الْوُلَى مِثْلُ الْفُضْلَى وَالْفُضَلُ وَالْكُبْرَى وَالْكُبَرِ وَرُبَّمَا جُمِعَتْ بِالْأَلِفِ وَالتَّاءِ فَقِيلَ الْوَلِيَّاتُ وَوَلَّيْتُ عَنْهُ أَعْرَضْتُ وَتَرَكْتُهُ وَتَوَلَّى أَعْرَضَ .
تفسير البغوي – (ج 7 / ص 173(
(32) وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33(
} نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ } تقول لهم الملائكة الذين تنزل عليهم بالبشارة: نحن أولياؤكم أنصاركم وأحباؤكم،
تفسير الطبري – (ج 14 / ص 84)
القول في تأويل قوله : { وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ (73) }
قال أبو جعفر: يقول تعالى ذكره:(والذين كفروا)، بالله ورسوله =(بعضهم أولياء بعض)، يقول: بعضهم أعوان بعض وأنصاره، وأحق به من المؤمنين بالله ورسوله.
تفسير الطبري – (ج 14 / ص 347)
القول في تأويل قوله : { وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (71) }
قال أبو جعفر: يقول تعالى ذكره: وأما “المؤمنون والمؤمنات”، وهم المصدقون بالله ورسوله وآيات كتابه، فإن صفتهم: أن بعضهم أنصارُ بعض وأعوانهم ….
القاموس المحيط – (ج 3 / ص 486(
ي الوَلْيُ القُرْبُ، والدُّنُوُّ، والمَطَرُ بعدَ المَطَرِ، وُلِيَتِ الأرضُ، بالضم. والوَلِيُّ الاسمُ منه، والمُحِبُّ، والصَّدِيقُ، والنَّصيرُ. ووَلِيَ الشيءَ، و عليه وِلايَةً وَوَلايَةً، أَو هي المَصْدَرُ، وبالكسر الخُطَّةُ، والإِمارَةُ، والسُّلطانُ. ….
(8) تفسير الرازي – (ج 6 / ص 89)
أن اللائق بما قبل هذه الآية وبما بعدها ليس إلا هذا المعنى ، أما ما قبل هذه لآية فلأنه تعالى قال : { ياأيها الذين ءامَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ اليهود والنصارى أَوْلِيَاء } [ المائدة : 51 ] وليس المراد لا تتخذوا اليهود والنصارى أئمة متصرفين في أرواحكم وأموالكم لأن بطلان هذا كالمعلوم بالضرورة ، بل المراد لا تتخذوا اليهود والنصارى أحباباً وأنصاراً ، ولا تخالطوهم ولا تعاضدوهم ، ثم لما بالغ في النهي عن ذلك قال : إنما وليكم الله ورسوله والمؤمنون والموصوفون ، والظاهر أن الولاية المأمور بها ههنا هي المنهي عنها فيما قبل ، ولما كانت الولاية المنهي عنها فيما قبل هي الولاية بمعنى النصرة كانت الولاية المأمور بها هي الولاية بمعنى النصرة ، وأما ما بعد هذه الآية فهي قوله { ياأيها الذين ءامَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الذين اتخذوا دِينَكُمْ هُزُواً وَلَعِباً مّنَ الذين أُوتُواْ الكتاب مِن قَبْلِكُمْ والكفار أَوْلِيَاء واتقوا الله إِن كُنتُم مؤمنين } [ المائدة : 57 ] فأعاد النهي عن اتخاذ اليهود والنصارى والكفار أولياء ، ولا شك أن الولاية المنهي عنها هي الولاية بمعنى النصرة ، فكذلك الولاية في قوله { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ الله } يجب أن تكون هي بمعنى النصرة ، وكل من أنصف وترك التعصب وتأمل في مقدمة الآية وفي مؤخرها قطع بأن الولي في قوله { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ الله } ليس إلا بمعنى الناصر والمحب ، ولا يمكن أن يكون بمعنى الإمام ، لأن ذلك يكون إلقاء كلام أجنبي فيما بين كلامين مسوقين لغرض واحد ، وذلك يكون في غاية الركاكة والسقوط ، ويجب تنزيه كلام الله تعالى عنه ..
(9)تفسير الرازي – (ج 6 / ص 90)
لحجة الثانية : أنا لو حملنا الولاية على التصرف والإمامة لما كان المؤمنون المذكورين في الآية موصوفين بالولاية حال نزول الآية ، لأن علي بن أبي طالب كرم الله وجهه ما كان نافذ التصرف حال حياة الرسول ، والآية تقتضي كون هؤلاء المؤمنون موصوفين بالولاية في الحال ، أما لو حملنا الولاية على المحبة والنصرة كانت الولاية حاصلة في الحال ، فثبت أن حمل الولاية على المحبة أولى من حملها على التصرف ، والذي يؤكد ما قلناه أنه تعالى منع المؤمنين من اتخاذ اليهود والنصارى أولياء ، ثم أمرهم بموالاة هؤلاء المؤمنين ، فلا بدّ وأن تكون موالاة هؤلاء المؤمنين حاصلة في الحال حتى يكون النفي والإثبات متواردين على شيء واحد ، ولما كانت الولاية بمعنى التصرف غير حاصلة في الحال امتنع حمل الآية عليها .
(10)تفسير الرازي – (ج 6 / ص 90)
الحجة السادسة : هب أنها دالة على إمامة علي ، لكنا توافقنا على أنها عند نزولها ما دلت على حصول الإمامة في الحال : لأن علياً ما كان نافذ التصرف في الأمة حال حياة الرسول عليه الصلاة والسلام ، فلم يبق إلا أن تحمل الآية على أنها تدل على أن علياً سيصير إماماً بعد ذلك ، ومتى قالوا ذلك فنحن نقول بموجبه ونحمله على إمامته بعد أبي بكر وعمر وعثمان ، إذ ليس في الآية ما يدل على تعيين الوقت
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (55) [المائدة/55
Artinya : “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).”
Syubhat
Sebagian golongan mengklaim ayat tersebut sebagai bukti kuat mengenai hak Imam Ali untuk menjadi khalifah setelah wafatnya Rasul SAW, sekaligus bukti bahwa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman tidak syah dalam pandangan syariat. Mereka mengatakan bahwa Wali dalam ayat diatas semestinya diartikan dengan penguasa/pemimpin, dan yang dimaksud dengan :
وَالَّذِينَ آَمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
(Orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat, seraya menunaikan zakat, seraya mereka rukuk)
adalah Imam Ali seorang. Karena mereka mengartikan kalimat وَهُمْ رَاكِعُونَ dengan “menunaikan zakat ketika rukuk”. Jika demikian, arti ayat tersebut menjadi :
“Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat ketika rukuk (yaitu Imam Ali).”
Menurut mereka, Ulama tafsir sepakat bahwa ayat ini turun khusus mengenai Imam Ali, yaitu berkenaan dengan sedekah cincin yang dilakukan Imam Ali kepada seorang pengemis ketika beliau sedang rukuk dalam sholatnya. Kemudian, karena lafadz إِنَّمَا dalam bahasa arab berfaedah hashr (membatasi), berarti ayat tersebut intinya menegaskan bahwa pemimpin orang-orang mukmin hanya Allah, Rasul-Nya, dan Imam Ali saja. Dengan demikian secara otomatis pemimpin yang selainnya (seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman) tidak syah menurut syariat.
Sebab turun ayat
Pernyataan bahwa ulama bersepakat mengenai sebab turun ayat ini merupakan pernyataan yang tidak objektif dan penuh dengan hawa kefanatikan. Nyatanya, kitab-kitab tafsir penuh dengan komentar beragam para ulama tafsir mengenai sebab turun ayat ini. Sebagian ahli tafsir berpendapat ayat ini turun mengenai Abdullah bin Salam (mu`alaf yahudi) yang mengeluh pada Rasul mengenai rasa kesepian karena dikucilkan kaumnya(1). Ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar(2). Dari Ibnu Abbas sendiri terdapat dua riwayat, yang pertama menyatakan ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali(3), sedangkan riwayat kedua menyebutkan sebab turun ayat ini adalah Ubadah bin Shomit, ketika beliau membatalkan ikatan persekutuan dengan Yahudi(4),.
Kalaupun kita mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini turun mengenai Imam Ali, itu tidak berarti hukum ayat ini khusus bagi Imam Ali. Karena yang digunakan dalam ayat ini adalah ungkapan untuk orang banyak (shigoh jamak/plural) bukan ungkapan untuk satu orang (single). Ungkapannya yaitu, “ orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” Dalam kaidah tafsir disebutkan, yang dijadikan patokan adalah keumuman lafadz bukan kekhususan sebab(5). Jadi, semua orang mukmin yang memiliki sifat sesuai dengan apa yang disebut ayat diatas layak untuk dimasukkan dalam kategori Wali, tidak hanya Imam Ali seorang. Hal inilah yang diisyaratkan oleh Imam Abu Ja`far, Muhammad Al Bagir ( Tokoh Tabi`in yang diagungkan Ahlu Sunnah maupun Syiah) ketika beliau ditanyakan mengenai ayat ini, apakah ayat ini khusus turun mengenai Imam Ali, Beliau menjawab “Ali adalah salah seorang dari orang-orang mukmin”(6). Maksudnya, yang dimaksud wali dalam ayat tersebut adalah setiap mukmin yang sifatnya sesuai dengan apa yang disebutkan dalamnya, dan Imam Ali termasuk salah satunya.
Makna Wali
Lafadz وَلِيُّ memiliki banyak makna, seperti : tuan, hamba, anak paman, penolong, teman, kekasih, pemimpin, dan lain-lain(7). Akan tetapi, makna Wali yang paling umum ada tiga, yaitu penolong, kekasih, dan pemimpin. Kemudian, dari ketiga makna tersebut, yang paling sesuai dengan ayat di atas adalah penolong bukan pemimpin. Hal ini ditinjau dari beberapa segi, diantaranya:
1. Jika kita memperhatikan ayat-ayat yang ada sebelum dan sesudah ayat ini, kita akan menemukan dalam kedua ayat tersebut juga disebutkan lafadz Wali atau lebih tepatnya Auliya (bentuk majemuk dari kata wali), kedua ayat tersebut adalah:
-
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ ...[المائدة/51
-
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ
اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ ... [المائدة/57
2. Ayat ini menetapkan status kewalian bagi mereka yang disebutkan didalamnya secara langsung tanpa tenggat waktu. Maksudnya begitu ayat ini turun, di saat itu juga status mereka adalah Wali(9). Andai kita artikan Wali sebagai pemimpin, berarti ayat ini akan memiliki makna, “Sesungguhnya pemimpin kalian hanyalah Allah, Rasul Nya, dan orang-orang yang beriman...”. Adalah hal yang tidak mungkin orang-orang beriman yang jumlahnya begitu banyak, semuanya menjadi pemimpin bersama-sama dalam satu waktu, anda bisa bayangkan seberapa kacau kesudahannya. Begitu juga jika kita katakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang beriman adalah Imam Ali seorang--sebagaimana yang mereka yakini. Kalau demikian, maka maksud ayat ini akan menjadi seperti ini, “Sesungguhnya pemimpin kalian hanyalah Allah, Rasul Nya, dan Ali”, ini juga tidak tepat karena itu artinya Imam Ali berhak untuk mengatur umat, bersama-sama dengan Rasul saat Rasul masih hidup, padahal kenyataanya, Imam Ali di masa hidup Rasul sama sekali tidak pernah turut campur dalam memerintah umat kecuali sebagai suruhan Rasul(10). Berbeda jika kita artikan wali dengan penolong, maka makna ayat ini akan menjadi jelas tanpa ada kemusykilan.
3. Maksud mereka untuk menjadikan ayat ini sebagai hujjah mengenai hak Imam Ali menjadi khalifah Rasul, tidak akan terealisasikan kecuali jika lafadz إِنَّمَا berfaidah hashr haqiqi (membatasi). kalau lafadz tersebut berfaidah hashr maka arti ayat ini adalah, “Sesungguhnya pemimpin kalian hanya Allah, Rasul Nya, dan Imam Ali saja”.(tak ada yang lain)
Jika Syiah konsisten dengan pendapatnya ini, seharusnya mereka tidak mengambil imam lain selain Imam Ali. Faktanya, Syiah memiliki sebelas imam lain yang dianggap ma’sum selain Imam Ali.
Andai kita mau meninggalkan kefanatikan, lalu merenungkan dengan objektif mengenai ayat ini beserta ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, akan semakin jelas bagi kita bahwa ayat ini tidak mengarah pada penunjukkan Imam Ali sebagai khalifah, bahkan tidak ada kaitanya sama sekali dengan kekhalifahan. Jadi, menjadikan ayat ini sebagai alasan untuk mengingkari kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman merupakan kekeliruan yang besar.
Referensi
(1)تفسير الجلالين - (ج 2 / ص 223(
ونزل لما قال ابن سلام يا رسول الله إن قومنا هجرونا { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ الله وَرَسُولُهُ والذين ءامَنُواْ الذين يُقِيمُونَ الصلاة وَيُؤْتُونَ الزكواة وَهُمْ رَاكِعُونَ } خاشعون أو يصلون صلاة التطوّع
(3),(2)تفسير الرازي - (ج 6 / ص 87)
القول الثاني : أن المراد من هذه الآية شخص معين ، وعلى هذا ففيه أقوال : روى عكرمة أن هذه الآية نزلت في أبي بكر رضي الله عنه . والثاني : روى عطاء عن ابن عباس أنها نزلت في علي بن أبي طالب عليه السلام
(4)تفسير الخازن - (ج 2 / ص 302)
قوله تعالى : { إنما وليكم الله ورسوله والذين آمنوا } قال ابن عباس : نزلت هذه الآية فى عبادة بن الصامت حين تبرأ من موالاة اليهود وقال : أوالي الله ورسوله والمؤمنين يعني أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم وقال جابر بن عبد الله : نزلت فى عبد الله بن سلام وذلك أنه جاء إلى محمد صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إن قومنا قريظة والنضير قد هجرونا وفارقونا وأقسموا أن لا يجالسونا ، فنزلت هذه الآية ، فقرأ : عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال عبد الله بن سلام :
رضينا بالله ربّاً وبرسوله نبياً وبالمؤمنين أولياء .
(5)تفسير الصاوي (ج1/ص383-384)
قوله: (انما وليكم) الخطاب لعبد الله بن سلام و اتباعه الذين هداهم الله الى الاسلام, فلما نزلت هذه الاية, قال عبد الله بن سالام: رضينا بالله ربا, و برسول الله نبيا, و بالمؤمنين اولياء, و العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب, فكل من انتسب لله فهو وليه....
تفسير الرازي - (ج 6 / ص 87)
المسألة الأولى : في قوله { والذين ءامَنُواْ } قولان : الأول : أن المراد عامة المؤمنين ، وذلك لأن عبادة بن الصامت لما تبرأ من اليهود وقال : أنا بريء إلى الله من حلف قريظة والنضير ، وأتولى الله ورسوله نزلت هذه الآية على وفق قوله . وروي أيضاً أن عبدالله بن سلام قال : يا رسول الله إن قومنا قد هجرونا وأقسموا أن لا يجالسونا ، ولا نستطيع مجالسة أصحابك لبعد المنازل ، فنزلت هذه الآية ، فقال رضينا بالله ورسوله وبالمؤمنين أولياء ، فعلى هذا : الآية عامة في حق كل المؤمنين ، فكل من كان مؤمناً فهو ولي كل المؤمنين ، ونظيره قوله تعالى : { والمؤمنون والمؤمنات بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ } [ التوبة : 71 ] وعلى هذا فقوله { الذين يُقِيمُونَ الصلاة وَيُؤْتُونَ الزكواة } صفة لكل المؤمنين…
(6) تفسير البغوي – (ج 3 / ص 73)
وقال جوبير عن الضحاك في قوله: { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا } قال: هم المؤمنون بعضهم أولياء بعض، وقال أبو جعفر محمد بن علي الباقر: { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا } نزلت في المؤمنين، فقيل له: إن أناسا يقولون إنها نزلت في علي رضي الله عنه، فقال: هو من المؤمنين .
(7)المصباح المنير في غريب الشرح الكبير – (ج 10 / ص 453)
وَالْوَلِيُّ فَعِيلٌ بِمَعْنَى فَاعِلٍ مِنْ وَلِيَهُ إذَا قَامَ بِهِ وَمِنْهُ { اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا } وَالْجَمْعُ أَوْلِيَاءُ قَالَ ابْنُ فَارِسٍ وَكُلُّ مَنْ وَلِيَ أَمْرَ أَحَدٍ فَهُوَ وَلِيُّهُ وَقَدْ يُطْلَقُ الْوَلِيُّ أَيْضًا عَلَى الْمُعْتِقِ وَالْعَتِيقِ وَابْنِ الْعَمِّ وَالنَّاصِرِ وَحَافِظِ النَّسَبِ وَالصَّدِيقِ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى وَقَدْ يُؤَنَّثُ بِالْهَاءِ فَيُقَالُ هِيَ وَلِيَّةٌ قَالَ أَبُو زَيْدٍ سَمِعْتُ بَعْضَ بَنِي عُقَيْلٍ يَقُولُ هُنَّ وَلِيَّاتُ اللَّهِ وَعَدُوَّاتُ اللَّهِ وَأَوْلِيَاؤُهُ وَأَعْدَاؤُهُ وَيَكُونُ الْوَلِيُّ بِمَعْنَى مَفْعُولٍ فِي حَقِّ الْمُطِيعِ فَيُقَالُ الْمُؤْمِنُ وَلِيُّ اللَّهِ وَفُلَانٌ أَوْلَى بِكَذَا أَيْ أَحَقُّ بِهِ وَهُمْ الْأَوْلَوْنَ بِفَتْحِ اللَّامِ وَالْأَوَالِي مِثْلُ الْأَعْلَوْنَ وَالْأَعَالِي وَفُلَانَةُ هِيَ الْوُلْيَا وَهُنَّ الْوُلَى مِثْلُ الْفُضْلَى وَالْفُضَلُ وَالْكُبْرَى وَالْكُبَرِ وَرُبَّمَا جُمِعَتْ بِالْأَلِفِ وَالتَّاءِ فَقِيلَ الْوَلِيَّاتُ وَوَلَّيْتُ عَنْهُ أَعْرَضْتُ وَتَرَكْتُهُ وَتَوَلَّى أَعْرَضَ .
تفسير البغوي – (ج 7 / ص 173(
(32) وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33(
} نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ } تقول لهم الملائكة الذين تنزل عليهم بالبشارة: نحن أولياؤكم أنصاركم وأحباؤكم،
تفسير الطبري – (ج 14 / ص 84)
القول في تأويل قوله : { وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ (73) }
قال أبو جعفر: يقول تعالى ذكره:(والذين كفروا)، بالله ورسوله =(بعضهم أولياء بعض)، يقول: بعضهم أعوان بعض وأنصاره، وأحق به من المؤمنين بالله ورسوله.
تفسير الطبري – (ج 14 / ص 347)
القول في تأويل قوله : { وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (71) }
قال أبو جعفر: يقول تعالى ذكره: وأما “المؤمنون والمؤمنات”، وهم المصدقون بالله ورسوله وآيات كتابه، فإن صفتهم: أن بعضهم أنصارُ بعض وأعوانهم ….
القاموس المحيط – (ج 3 / ص 486(
ي الوَلْيُ القُرْبُ، والدُّنُوُّ، والمَطَرُ بعدَ المَطَرِ، وُلِيَتِ الأرضُ، بالضم. والوَلِيُّ الاسمُ منه، والمُحِبُّ، والصَّدِيقُ، والنَّصيرُ. ووَلِيَ الشيءَ، و عليه وِلايَةً وَوَلايَةً، أَو هي المَصْدَرُ، وبالكسر الخُطَّةُ، والإِمارَةُ، والسُّلطانُ. ….
(8) تفسير الرازي – (ج 6 / ص 89)
أن اللائق بما قبل هذه الآية وبما بعدها ليس إلا هذا المعنى ، أما ما قبل هذه لآية فلأنه تعالى قال : { ياأيها الذين ءامَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ اليهود والنصارى أَوْلِيَاء } [ المائدة : 51 ] وليس المراد لا تتخذوا اليهود والنصارى أئمة متصرفين في أرواحكم وأموالكم لأن بطلان هذا كالمعلوم بالضرورة ، بل المراد لا تتخذوا اليهود والنصارى أحباباً وأنصاراً ، ولا تخالطوهم ولا تعاضدوهم ، ثم لما بالغ في النهي عن ذلك قال : إنما وليكم الله ورسوله والمؤمنون والموصوفون ، والظاهر أن الولاية المأمور بها ههنا هي المنهي عنها فيما قبل ، ولما كانت الولاية المنهي عنها فيما قبل هي الولاية بمعنى النصرة كانت الولاية المأمور بها هي الولاية بمعنى النصرة ، وأما ما بعد هذه الآية فهي قوله { ياأيها الذين ءامَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الذين اتخذوا دِينَكُمْ هُزُواً وَلَعِباً مّنَ الذين أُوتُواْ الكتاب مِن قَبْلِكُمْ والكفار أَوْلِيَاء واتقوا الله إِن كُنتُم مؤمنين } [ المائدة : 57 ] فأعاد النهي عن اتخاذ اليهود والنصارى والكفار أولياء ، ولا شك أن الولاية المنهي عنها هي الولاية بمعنى النصرة ، فكذلك الولاية في قوله { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ الله } يجب أن تكون هي بمعنى النصرة ، وكل من أنصف وترك التعصب وتأمل في مقدمة الآية وفي مؤخرها قطع بأن الولي في قوله { إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ الله } ليس إلا بمعنى الناصر والمحب ، ولا يمكن أن يكون بمعنى الإمام ، لأن ذلك يكون إلقاء كلام أجنبي فيما بين كلامين مسوقين لغرض واحد ، وذلك يكون في غاية الركاكة والسقوط ، ويجب تنزيه كلام الله تعالى عنه ..
(9)تفسير الرازي – (ج 6 / ص 90)
لحجة الثانية : أنا لو حملنا الولاية على التصرف والإمامة لما كان المؤمنون المذكورين في الآية موصوفين بالولاية حال نزول الآية ، لأن علي بن أبي طالب كرم الله وجهه ما كان نافذ التصرف حال حياة الرسول ، والآية تقتضي كون هؤلاء المؤمنون موصوفين بالولاية في الحال ، أما لو حملنا الولاية على المحبة والنصرة كانت الولاية حاصلة في الحال ، فثبت أن حمل الولاية على المحبة أولى من حملها على التصرف ، والذي يؤكد ما قلناه أنه تعالى منع المؤمنين من اتخاذ اليهود والنصارى أولياء ، ثم أمرهم بموالاة هؤلاء المؤمنين ، فلا بدّ وأن تكون موالاة هؤلاء المؤمنين حاصلة في الحال حتى يكون النفي والإثبات متواردين على شيء واحد ، ولما كانت الولاية بمعنى التصرف غير حاصلة في الحال امتنع حمل الآية عليها .
(10)تفسير الرازي – (ج 6 / ص 90)
الحجة السادسة : هب أنها دالة على إمامة علي ، لكنا توافقنا على أنها عند نزولها ما دلت على حصول الإمامة في الحال : لأن علياً ما كان نافذ التصرف في الأمة حال حياة الرسول عليه الصلاة والسلام ، فلم يبق إلا أن تحمل الآية على أنها تدل على أن علياً سيصير إماماً بعد ذلك ، ومتى قالوا ذلك فنحن نقول بموجبه ونحمله على إمامته بعد أبي بكر وعمر وعثمان ، إذ ليس في الآية ما يدل على تعيين الوقت
'ALI RA BEDA BANGAD DG SYE'AH BALK 12/SYE'AH IMAMIYAH
'ALI RA BEDA BANGAD DG SYE'AH BALK 12/SYE'AH IMAMIYAH (KATE Maa Ana Bi-Fi Zhonnik)
#01#
'ALI RA TIDAK PERNAH MMPERMASALAHKN ORISINALITAS AL-QUR'AN YANG
DIBUKUKAN PARA PENDAHULUNYA, sedangkan para kacong/agen/bodak sye'ah
balak 12 meyaqini al-Qur'an tsb telah ditahrif oleh para pendahulu 'Ali
ra.
#02#
'ALI RA MENGAKUI LEGALITAS KE-3 KHOLIFAH PeNDAHULUNYA (ABU BAKAR RA,
UMAR BIN AL-KHOTTHOB RA DAN UTSMAN BIN AFFAN RA), sedangkan para
kacong/agen/bodak sye'ah balak 12 menganggap mereka tidak sah sebagai
penerus Rasul Saw, dan menuduh mereka telah MURTAD.
#03#
'ALI RA MENGAKUI ADANYA RIWAYAT PENGHARAMAN MUT'EH DARI RASUL SAW,
sedangkan para kacong/agen/bodak sye'ah balak 12 malah menghalalkan
mut'eh, dan mengnggapnya sebagai masa penjajagan sebelum nikah Da'im.
#04#
'ALI RA TIDAKK PERNAH MENGAKUI ADANYA WASIAT IMAMAH UNTUK DIRINYA DARI
RASUL SAW, sedangkan para kacong/agen/bodak sye'ah balk 12meyaqini
adanya wasit tersebut.
#05#
'ALI RA SANGAT MENJUNJUNG TINGGI SIKAP MENGHORMATI ISTRI-ISTRI RASUL
SAW, TERMASUK 'AISYAH BT ABU BAKAR RA, sedangkan para kacong/agen/bodak
sye'ah 12 melecehkan 2 orng istri Rasul saw dan menuduh keduanya
sebagai pembunuh Nabi Saw.
KONTRADIKSI BANGAT YAAA !!
========>>
Begitu tulis si akun Maa Ana Bi-Fi Zhonnik di wall grop ne, juga di wall
grup Just 4 Sye'ah Balak 12 dan juga di wall grop 1,000,000 Facebooker
Dukung MUI untuk Memfatwakan SESAT SYIAH IMAMIYAH.
ajaran syiah yang berbeda dengan ahlu sunnah dalam masalah sahabat, al-quran dan hadits
Pendahuluan
Tidak seperti kebiasaan firqah-firqah Islam yang lain, Syiah menyampaikan dan menyebarkan ajarannya dengan menggunakan senjata Taqiyah, yaitu menampakkan atau mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan isi hatinya atau dengan bahasa yang popular munafiq.
Taqiyah bagi syiah adalah 9/10 agama, wajib dilakukan dan tidak boleh ditinggalkan sampai Imam Mahdi datang, dengan cara taqiyah inilah maka banyak dari orang Ahlu Sunnah yang terjebak mengikuti ajaran Syiah, bahkan ada yang mengatakan bahwa Syiah adalah sama dengan Ahlu Sunnah. Ini disebabkan oleh ketidak mengertiannya tentang hakikat Syiah.
Maka dalam tulisan singkat ini, kami akan menyampaikan data-data tentang aqidah, faham dan ajaran Syiah yang diangkat dari kitab-kitab Syiah yang mu’tabar yang menjadi pegangan utama kaum Syiah.
Pengertian Syiah dan Perkembangannya
Kata Syiah menurut bahasa adalah pendukung atau pembela. Syiah Ali adalah pendukung atau pembela Ali, Syiah Muawiyah adalah pendukung atau pembela Muawiyah. Pada zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman kata Syiah dalam arti nama kelompok orang Islam belum dikenal dan barulah kata Syiah muncul sebagai nama kelompok umat Islam ketika terjadi peperangan antara Ali dan Muawiyah. Tetapi bukan hanya pendukung Ali yang disebut Syiah Ali, ada Syiah Muawiyah. Adapun faham dan aqidahnya, kedua belah pihak sama, karena besumberkan dari kitabullah dan sunnah Rasulullah.
Selanjutnya Syiah mengalami perkembangan dan bahkan perpecahan, terutama ketika imam mereka meninggal dunia. Dan semakin jauh perpecahan mereka semakin banyak pula ajaran dan faham baru, dimana tidak jarang ajaran Syiah dalam suatu periode bertentangan dengan ajaran mereka pada periode sebelumnya. Karena setiap imam memberikan ajaran bahwa perkataan Imam adalah sama dengan perkataan Nabi bahkan ada yang beranggapan sama dengan perkataan Allah. Maka perpecahan Syiah dari masa ke masa semakin banyak sehingga menurut al-Muqrizi bahwa jumlah firqah Syiah mencapai 300 firqah. Tetapi yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah aqidah dan ajaran Syiah Imamiyah yang percaya dengan munculnya imam terakhir yaiti Muhammad bin al-Hasan Abdul Qasim al-Mahdi.
Ajaran Syiah yang bertentangan dengan ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah (Islam)
Syiah dan Al-Quran
Syiah dan Hadits
Maka sumber hukum Syiah jauh berbeda dengan sumber aqidah dan hukum Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
“Keyakinan bahwa imam itu ma’shum menjadikan semua hadits yang keluar dari mereka adalah shahih, maka tidak diperlukan menyandarkan sanadnya kepada Rasulullah saw, sebagaimana halnya di kalangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah”.[8]
Sumber: Resume dari Makalah Drs. K.H. Moh. Dawam Anwar yang berjudul “Inilah Hakikat Syiah” yang disampaikan dalam Seminar Nasional Tentang Syiah di Aula Masjid Istiqlal Jakarta tanggal 21 September 1997.
[1] Bihar Anwar, 4/385
[2] Ushul al-Kaafi, 2/410
[3] Tafsir al-Iyasyi, 1/199
[4] Ushul Mazahib Syiah, 1/202
[5] Bihar Anwar, 89/50
[6] Ushul al-Kaafi, 2/134
[7] Al-Kulaini/ al-Kaafi, 2/271-272
[8] Abdullah Faiyaidh, Tarikh Al-Imamiyah, 40
Tidak seperti kebiasaan firqah-firqah Islam yang lain, Syiah menyampaikan dan menyebarkan ajarannya dengan menggunakan senjata Taqiyah, yaitu menampakkan atau mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan isi hatinya atau dengan bahasa yang popular munafiq.
Taqiyah bagi syiah adalah 9/10 agama, wajib dilakukan dan tidak boleh ditinggalkan sampai Imam Mahdi datang, dengan cara taqiyah inilah maka banyak dari orang Ahlu Sunnah yang terjebak mengikuti ajaran Syiah, bahkan ada yang mengatakan bahwa Syiah adalah sama dengan Ahlu Sunnah. Ini disebabkan oleh ketidak mengertiannya tentang hakikat Syiah.
Maka dalam tulisan singkat ini, kami akan menyampaikan data-data tentang aqidah, faham dan ajaran Syiah yang diangkat dari kitab-kitab Syiah yang mu’tabar yang menjadi pegangan utama kaum Syiah.
Pengertian Syiah dan Perkembangannya
Kata Syiah menurut bahasa adalah pendukung atau pembela. Syiah Ali adalah pendukung atau pembela Ali, Syiah Muawiyah adalah pendukung atau pembela Muawiyah. Pada zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman kata Syiah dalam arti nama kelompok orang Islam belum dikenal dan barulah kata Syiah muncul sebagai nama kelompok umat Islam ketika terjadi peperangan antara Ali dan Muawiyah. Tetapi bukan hanya pendukung Ali yang disebut Syiah Ali, ada Syiah Muawiyah. Adapun faham dan aqidahnya, kedua belah pihak sama, karena besumberkan dari kitabullah dan sunnah Rasulullah.
Selanjutnya Syiah mengalami perkembangan dan bahkan perpecahan, terutama ketika imam mereka meninggal dunia. Dan semakin jauh perpecahan mereka semakin banyak pula ajaran dan faham baru, dimana tidak jarang ajaran Syiah dalam suatu periode bertentangan dengan ajaran mereka pada periode sebelumnya. Karena setiap imam memberikan ajaran bahwa perkataan Imam adalah sama dengan perkataan Nabi bahkan ada yang beranggapan sama dengan perkataan Allah. Maka perpecahan Syiah dari masa ke masa semakin banyak sehingga menurut al-Muqrizi bahwa jumlah firqah Syiah mencapai 300 firqah. Tetapi yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah aqidah dan ajaran Syiah Imamiyah yang percaya dengan munculnya imam terakhir yaiti Muhammad bin al-Hasan Abdul Qasim al-Mahdi.
Ajaran Syiah yang bertentangan dengan ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah (Islam)
- Syiah mengkafirkan para sahabat Nabi saw dan semua orang Islam yang mengikuti sahabat Nabi saw.
- Berkata al-Majlisi: “Bahwa mereka (Abu Bakar, Umar dan Utsman) adalah perampok-perampok yang curang dan murtad, keluar dari agama, semoga Allah melaknat mereka dan semua orang yang mengikuti mereka dalam bertindak jahat terhadap keluarga Nabi, baik orang-orang dahulu maupun orang-orang belakangan”.[1]
- Abu Bashir berkata: ”Sesungguhnya penduduk Makkah telah kufur kepada Allah secara terang-terangan dan bahwa penduduk Madinah lebih jelas daripada penduduk Makkah, bahkan lebih jelek 70 kali daripada penduduk Makkah”.[2]
- Abu Jakfar berkata: “Semua manusia (kaum muslimin) menjadi ahlu jahiliyah (murtad) kecuali 4 orang saja: Ali, Miqdad, Salman dan Abu Dzar. Aku Rawi berkata: “Ammar termasuk? Abu Jakfar berkata: “Kalau kamu bermaksud yang murni/bersih sama sekali, maka mereka bertiga itu saja”.[3]
Syiah dan Al-Quran
- Menurut Syiah, al-Quran yang ada sekarang ini suadh dirubah, ditambah dan dikurangi oleh para Sahabat Nabi saw, sedang al-Quran yang asli (yang lengkap) ada di tangan Ali yang kemudian diwariskan kepada putra-putranya, dan sekarang ada di tangan Imam Mahdi al-Muntdhar.[4]
- Abu Abdillah berkata: “Bahwa surah al-Ahzab membuka keburukan-keburukan wanita Quraisy. Surah itu lebih panjang daripada surah al-Baqarah, tetapi oleh para Sahabat dikurangi dan dirubah”.[5]
- Abu Abdillah berkata: “Al-Quran yang dibawa oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw, ada 17.000 ayat”.[6]
Syiah dan Hadits
- Syiah hanya menerima hadits-hadis Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan melalui jalur Ahlu Bait. Adapun hadits-hadits Nabi yang diriwayatkan oleh pada sahabat yang bukan ahlu bait ditolak oleh mereka. Ini berarti Syiah telah membuang ribuan hadits Nabi saw karena seperti kita ketahui dari fakta sejarah bahwa Ali tidak selamanya mendampingi Nabi saw. Beliau pernah ditugaskan untuk tetap di Madinah ketika Rasulullah melaksanakan suatu peperangan dengan para sahabat lain. Ali pun pernah ditugaskan ke Yaman berarti dia tidak dapat mendengarkan hadits Nabi kecuali melalui sahabat yang lain.
- Yang namanya hadits menurut Syiah bukan hanya yang datang dari Nabi Muhammad saw, tetapi justru lebih banyak dari imam-imam mereka. Karena perkataan imam yang juga ma’shum itu sama dengan perktaan Nabi, maka perkataan imam-imam iotu menurut Syiah sama dengan firman Allah. Perhatikan sebuah riwayat dalam kitab al-Kaafi berikut ini:
- Syiah menolak hadits yang diriwayatkan oleh para Sahabat bukan Ahlu Bait, karena mereka telah menganggap para Sahabat itu murtad/kafir, seperti yang telah diterangkan di muka.
Maka sumber hukum Syiah jauh berbeda dengan sumber aqidah dan hukum Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
- Karena Syiah berkewajiban bahwa imam itu ma’shum, perkataannya sama dengan perkataan Allah, maka tidak perlu menyendarkan/mengisnadkan ucapan imam kepada Nabi saw.
“Keyakinan bahwa imam itu ma’shum menjadikan semua hadits yang keluar dari mereka adalah shahih, maka tidak diperlukan menyandarkan sanadnya kepada Rasulullah saw, sebagaimana halnya di kalangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah”.[8]
- Masalah rawi, bagi Syiah tidak diperlukan criteria-kriteria seperti di kalangan Ahlu Sunnah. Yang penting rawi itu berpihak kepada Syiah.
Sumber: Resume dari Makalah Drs. K.H. Moh. Dawam Anwar yang berjudul “Inilah Hakikat Syiah” yang disampaikan dalam Seminar Nasional Tentang Syiah di Aula Masjid Istiqlal Jakarta tanggal 21 September 1997.
[1] Bihar Anwar, 4/385
[2] Ushul al-Kaafi, 2/410
[3] Tafsir al-Iyasyi, 1/199
[4] Ushul Mazahib Syiah, 1/202
[5] Bihar Anwar, 89/50
[6] Ushul al-Kaafi, 2/134
[7] Al-Kulaini/ al-Kaafi, 2/271-272
[8] Abdullah Faiyaidh, Tarikh Al-Imamiyah, 40
FITNAH SYIAH Terhadad Ummul Mu'miniin
Orang-orang Syiah menganggap bahwa firman Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi dalam surat At-Tahrim: 10,
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shaleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); "Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)." )Qs. At-Tahrim: 10).
Adalah menyinggung tentang Aisyah dan Hafshah Radhiyallahu 'anhuma.
Sebagian ulama Syiah menafsiri kalimat, Fakhaanataahumaa ‘lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya masing-masing’ dalam firman Allah tadi, dengan melakukan perzinaan. Semoga Allah melindungi kita dari padanya.
Seorang tokoh ulama dan ahli tafsir Syiah, Al-Qummi dalam kitabnya Tafsir Al-Qummi ketika menafsiri ayat tadi mengatakan, “Demi Allah, yang dimaksud dengan kalimat, Fakhaanataahumaa ‘lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya masing-masing’, tidak lain ialah berselingkuh atau tegasnya berbuat zina. Oleh karena itu, hukuman had harus dijatuhkan kepada si Fulanah atas kejahatan yang telah dilakukannya di jalan ( ). Dan si Fulan mencintainya, sehingga ketika si Fulanah hendak pergi ke …. Si Fulan berkata kepadanya, “Kamu tidak boleh pergi tanpa ditemani mahram. Akhirnya si Fulanah menyerahkan dirinya untuk dinikahi si Fulan.”
Saudara kami sesama Muslim, orang-orang Syiah mengamalkan taqiyah ketika mereka menggunakan kalimat fulanah, bukan menyebut langsung nama Aisyah. Atau mereka memakai kode tanda kurung kosong atau titik-titik. Semua itu termasuk cara taqiyah mereka.
Salah satu bukti yang menguatkan kalau yang dimaksud dengan kalimat fulanah adalah Aisyah, ialah riwayat-riwayat dusta yang dikemukakan oleh Syiah. Di sana disebutkan, “Sesungguhnya ketika turun firman Allah surat Al-Ahzab ayat 6,
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka…” (Qs. Al-Ahzab: 6).
dan Allah mengharamkan kaum muslimin atas istri-istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sepeninggal beliau, Thalhah marah-marah. Ia mengatakan, “Kami diharamkan atas istri-istri Muhammad. Sementara ia bisa menikahi wanita-wanita kami. Seandainya nanti Muhammad telah dimatikan oleh Allah, kami akan benar-benar bergoyang di antara gelang-gelang istrinya, sebagaimana ia bergoyang di antara gelang-gelang wanita kami.”
Riwayat tadi juga dikemukakan oleh Al-Bahrani dalam Al-Burhan, jilid. III, hal. 333-334, oleh Sulthan Al-Janabidzi dalam Bayan As-Sa’adah, jilid III, hal. 253, Zainuddin An-Nabathi dalam As-Shirath Al-Mustaqim, jilid. III, hal. 23 dan 25.
Aisyah Radhiyallahu 'anha dituduh berbuat zina oleh seorang ulama Syiah yang bergelar Al-Hafidz Rajab Al-Barsi dalam kitabnya Masyariq Anwar Al-Yaqin, hal. 86, cet. Al-A’lami – Bairut, ia mengatakan, “Sesungguhnya Aisyah berhasil mengumpulkan uang sebanyak empat puluh dinar dari hasil perselingkuhan, lalu ia membagi-bagikannya kepada orang-orang yang membenci Ali.”
Aisyah Radhiyallahu 'anha dituduh berzina oleh seorang ulama Syiah, Al-Majlisi ketika ia mengemukakan suatu riwayat yang menyebutkan, bahwa Aisyah Radhiyallahu 'anha dan Ali Radhiyallahu 'anhu pernah tidur satu ranjang dan dalam satu selimut, dalam kitabnya Bihar Al-Anwar, jilid XI, Daar Ihya’ At-Turats Al-Arabi – Bairut. Riwayat selengkapnya ialah, Ali bercerita, “Aku bepergian bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau tidak membawa seorang pelayan pun selain aku. Dan beliau hanya membawa selembar selimut satu-satunya. Aisyah ikut bersama beliau. Beliau tidur dengan posisi diapit oleh Aisyah dan aku. Kami bertiga dalam satu selimut. Ketika bangun untuk melakukan shalat malam, beliau menurunkan selimut dengan tangannya dari bagian tengah antara aku dan Aisyah, sehingga selimut menyentuh alas yang ada di bawah kami.”.
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shaleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); "Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)." )Qs. At-Tahrim: 10).
Adalah menyinggung tentang Aisyah dan Hafshah Radhiyallahu 'anhuma.
Sebagian ulama Syiah menafsiri kalimat, Fakhaanataahumaa ‘lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya masing-masing’ dalam firman Allah tadi, dengan melakukan perzinaan. Semoga Allah melindungi kita dari padanya.
Seorang tokoh ulama dan ahli tafsir Syiah, Al-Qummi dalam kitabnya Tafsir Al-Qummi ketika menafsiri ayat tadi mengatakan, “Demi Allah, yang dimaksud dengan kalimat, Fakhaanataahumaa ‘lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya masing-masing’, tidak lain ialah berselingkuh atau tegasnya berbuat zina. Oleh karena itu, hukuman had harus dijatuhkan kepada si Fulanah atas kejahatan yang telah dilakukannya di jalan ( ). Dan si Fulan mencintainya, sehingga ketika si Fulanah hendak pergi ke …. Si Fulan berkata kepadanya, “Kamu tidak boleh pergi tanpa ditemani mahram. Akhirnya si Fulanah menyerahkan dirinya untuk dinikahi si Fulan.”
Saudara kami sesama Muslim, orang-orang Syiah mengamalkan taqiyah ketika mereka menggunakan kalimat fulanah, bukan menyebut langsung nama Aisyah. Atau mereka memakai kode tanda kurung kosong atau titik-titik. Semua itu termasuk cara taqiyah mereka.
Salah satu bukti yang menguatkan kalau yang dimaksud dengan kalimat fulanah adalah Aisyah, ialah riwayat-riwayat dusta yang dikemukakan oleh Syiah. Di sana disebutkan, “Sesungguhnya ketika turun firman Allah surat Al-Ahzab ayat 6,
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka…” (Qs. Al-Ahzab: 6).
dan Allah mengharamkan kaum muslimin atas istri-istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sepeninggal beliau, Thalhah marah-marah. Ia mengatakan, “Kami diharamkan atas istri-istri Muhammad. Sementara ia bisa menikahi wanita-wanita kami. Seandainya nanti Muhammad telah dimatikan oleh Allah, kami akan benar-benar bergoyang di antara gelang-gelang istrinya, sebagaimana ia bergoyang di antara gelang-gelang wanita kami.”
Riwayat tadi juga dikemukakan oleh Al-Bahrani dalam Al-Burhan, jilid. III, hal. 333-334, oleh Sulthan Al-Janabidzi dalam Bayan As-Sa’adah, jilid III, hal. 253, Zainuddin An-Nabathi dalam As-Shirath Al-Mustaqim, jilid. III, hal. 23 dan 25.
Aisyah Radhiyallahu 'anha dituduh berbuat zina oleh seorang ulama Syiah yang bergelar Al-Hafidz Rajab Al-Barsi dalam kitabnya Masyariq Anwar Al-Yaqin, hal. 86, cet. Al-A’lami – Bairut, ia mengatakan, “Sesungguhnya Aisyah berhasil mengumpulkan uang sebanyak empat puluh dinar dari hasil perselingkuhan, lalu ia membagi-bagikannya kepada orang-orang yang membenci Ali.”
Aisyah Radhiyallahu 'anha dituduh berzina oleh seorang ulama Syiah, Al-Majlisi ketika ia mengemukakan suatu riwayat yang menyebutkan, bahwa Aisyah Radhiyallahu 'anha dan Ali Radhiyallahu 'anhu pernah tidur satu ranjang dan dalam satu selimut, dalam kitabnya Bihar Al-Anwar, jilid XI, Daar Ihya’ At-Turats Al-Arabi – Bairut. Riwayat selengkapnya ialah, Ali bercerita, “Aku bepergian bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau tidak membawa seorang pelayan pun selain aku. Dan beliau hanya membawa selembar selimut satu-satunya. Aisyah ikut bersama beliau. Beliau tidur dengan posisi diapit oleh Aisyah dan aku. Kami bertiga dalam satu selimut. Ketika bangun untuk melakukan shalat malam, beliau menurunkan selimut dengan tangannya dari bagian tengah antara aku dan Aisyah, sehingga selimut menyentuh alas yang ada di bawah kami.”.
Kemiripan dua saudara kembar,Syi’ah dan Yahudi
Persinggungan antara aqidah Syi’ah dan aqidah Yahudi yang kotor itu bisa dilihat dari poin-poin berikut :
1. Yahudi telah mengubah-ubah Taurat, begitu pula Syi’ah mereka punya Al-Qur’an hasil kerajinan tangan mereka yakni “Mushaf Fathimah” yang tebalnya 3 kali Al-Qur’an kaum Muslimin.Mereka menganggap ayat Al-Qur’an yang diturunkan berjumlah 17.000 ayat, dan menuduh Sahabat menghapus sepuluh ribu lebih ayat
2. Yahudi menuduh Maryam yang suci berzina [QS. Maryam : 28], Syi’ah melakukan hal yang sama terhadap istri Rasulullah ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha sebagaimana yang diungkapkan Al-Qummi (pembesar Syi’ah) dalam “Tafsir Al-Qummi (II 34)”
3. Yahudi mengatakan, “kami tidak akan disentuh oleh api neraka melainkan hanya beberapa hari saja”. [QS. Al-Baqarah : 80] Syi’ah lebih dahsyat lagi dengan mengatakan, “Api neraka telah diharamkan membakar setiap orang Syi’ah” sebagaimana tercantum dalam kitab mereka yang dianggap suci “Fashl Kitab (hal.157)”
4. Yahudi meyakini bahwa, Allah mengetahui sesuatu setelah tadinya tidak tahu, begitu juga dengan Syi’ah
5. Yahudi beranggapan bahwa ucapan “amin” dalam shalat adalah membatalkan shalat. Syi’ah juga beranggapan yang sama.
6. Yahudi berkata, “Allah mewajibkan kita lima puluh shalat” Begitu pula dengan Syi’ah.
7. Yahudi keluar dari shalat tanpa salam,cukup dengan mengangkat tangan dan memukulkan pada lutut. Syi’ah juga mengamalkan hal yang sama.
8. Yahudi miring sedikit dari kiblat, begitu pula dengan Syi’ah.
9. Yahudi berkata “Tidak layak (tidak sah) kerajaan itu melainkan di tangan keluarga Daud”. Syi’ah berkata,” tidak layak Imamah iut melainkan pada ‘Ali dan keturunanannya”
10. Yahudi mengakhirkan Shalat hingga bertaburnya bintang-bintang di langit. Syi’ah juga mengakhirkan Shalat sebagaimana Yahudi
11. Yahudi mengkultuskan Ahbar (‘ulama) dan Ruhban (para pendeta) mereka sampai tingkat ibadah dan menuhankan.Syi’ah begitu pula, bersifat Ghuluw (melampaui batas) dalam mencintai para Imam mereka dan mengkultuskannya hingga di atas kelas manusia.
12. Yahudi mengatakan Ilyas dan Finhas bin ‘Azar bin Harun akan kembali (reinkarnasi) setelah mereka bedua meninggal dunia. Syi’ah lebih seru, mereka menyuarakan kembalinya (reinkarnasinya) ‘Ali, Al-Hasan, Al-Husain, dan Musa bin Ja’far yang dikhayalkan itu.
13. Yahudi tidak Shalat melainkan sendiri-sendiri, Syi’ah juga beranggapan yang sama, ini dikarenakan mereka meyakini bahwa tidak ada Shalat berjama’ah sebelum datangnya “Pemimpin ke-dua belas” yaitu Imam Mahdi.
14. Yahudi tidak melakukan sujud sebelum menundukkan kepalanya berkali-kali, mirip ruku. Syi’ah Rafidhah juga demikian.
15. Yahudi menghalalkan darah setiap muslim. Demikian pula Syi’ah, mereka menghalalkan darah Ahlussunnah.
16. Yahudi mengharamkan makan kelinci dan limpa dan jenis ikan yang disebut jariu dan marmahi. Begitu pula orang-orang Syi’ah.
17. Yahudi tidak menghitung Talak sedikitpun melainkan pada setiap Haid. Begitu pula Syi’ah.
18. Yahudi dalam syari’at Ya’qub membolehkan nikah dengan dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Syi’ahjuga membolehkan penggabungan (dalam akad nikah) antara seorang wanita dengan bibinya.
19. Yahudi tidak menggali liang lahad untuk jenazah mereka. Syi’ah Rafidhah juga demikia.
20. Yahudi memasukkan tanah basah bersama-sama jenazah mereka dalam kain kafannya demikian juga Syi’ah Rafidhah.
21. Yahudi tidak menetapkan adanya jihad hingga Allah mengutus Dajjal. Syi’ah Rafidhah mengatakan,”tidak ada jihad hingga Allah mengutus Imam Mahdi datang.
[kitab Badzl Al-majhud fi Itsbat musyabahah Ar-Rafidhah li Al-Yahud , oleh Abdullah Al-jamili]
1. Yahudi telah mengubah-ubah Taurat, begitu pula Syi’ah mereka punya Al-Qur’an hasil kerajinan tangan mereka yakni “Mushaf Fathimah” yang tebalnya 3 kali Al-Qur’an kaum Muslimin.Mereka menganggap ayat Al-Qur’an yang diturunkan berjumlah 17.000 ayat, dan menuduh Sahabat menghapus sepuluh ribu lebih ayat
2. Yahudi menuduh Maryam yang suci berzina [QS. Maryam : 28], Syi’ah melakukan hal yang sama terhadap istri Rasulullah ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha sebagaimana yang diungkapkan Al-Qummi (pembesar Syi’ah) dalam “Tafsir Al-Qummi (II 34)”
3. Yahudi mengatakan, “kami tidak akan disentuh oleh api neraka melainkan hanya beberapa hari saja”. [QS. Al-Baqarah : 80] Syi’ah lebih dahsyat lagi dengan mengatakan, “Api neraka telah diharamkan membakar setiap orang Syi’ah” sebagaimana tercantum dalam kitab mereka yang dianggap suci “Fashl Kitab (hal.157)”
4. Yahudi meyakini bahwa, Allah mengetahui sesuatu setelah tadinya tidak tahu, begitu juga dengan Syi’ah
5. Yahudi beranggapan bahwa ucapan “amin” dalam shalat adalah membatalkan shalat. Syi’ah juga beranggapan yang sama.
6. Yahudi berkata, “Allah mewajibkan kita lima puluh shalat” Begitu pula dengan Syi’ah.
7. Yahudi keluar dari shalat tanpa salam,cukup dengan mengangkat tangan dan memukulkan pada lutut. Syi’ah juga mengamalkan hal yang sama.
8. Yahudi miring sedikit dari kiblat, begitu pula dengan Syi’ah.
9. Yahudi berkata “Tidak layak (tidak sah) kerajaan itu melainkan di tangan keluarga Daud”. Syi’ah berkata,” tidak layak Imamah iut melainkan pada ‘Ali dan keturunanannya”
10. Yahudi mengakhirkan Shalat hingga bertaburnya bintang-bintang di langit. Syi’ah juga mengakhirkan Shalat sebagaimana Yahudi
11. Yahudi mengkultuskan Ahbar (‘ulama) dan Ruhban (para pendeta) mereka sampai tingkat ibadah dan menuhankan.Syi’ah begitu pula, bersifat Ghuluw (melampaui batas) dalam mencintai para Imam mereka dan mengkultuskannya hingga di atas kelas manusia.
12. Yahudi mengatakan Ilyas dan Finhas bin ‘Azar bin Harun akan kembali (reinkarnasi) setelah mereka bedua meninggal dunia. Syi’ah lebih seru, mereka menyuarakan kembalinya (reinkarnasinya) ‘Ali, Al-Hasan, Al-Husain, dan Musa bin Ja’far yang dikhayalkan itu.
13. Yahudi tidak Shalat melainkan sendiri-sendiri, Syi’ah juga beranggapan yang sama, ini dikarenakan mereka meyakini bahwa tidak ada Shalat berjama’ah sebelum datangnya “Pemimpin ke-dua belas” yaitu Imam Mahdi.
14. Yahudi tidak melakukan sujud sebelum menundukkan kepalanya berkali-kali, mirip ruku. Syi’ah Rafidhah juga demikian.
15. Yahudi menghalalkan darah setiap muslim. Demikian pula Syi’ah, mereka menghalalkan darah Ahlussunnah.
16. Yahudi mengharamkan makan kelinci dan limpa dan jenis ikan yang disebut jariu dan marmahi. Begitu pula orang-orang Syi’ah.
17. Yahudi tidak menghitung Talak sedikitpun melainkan pada setiap Haid. Begitu pula Syi’ah.
18. Yahudi dalam syari’at Ya’qub membolehkan nikah dengan dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Syi’ahjuga membolehkan penggabungan (dalam akad nikah) antara seorang wanita dengan bibinya.
19. Yahudi tidak menggali liang lahad untuk jenazah mereka. Syi’ah Rafidhah juga demikia.
20. Yahudi memasukkan tanah basah bersama-sama jenazah mereka dalam kain kafannya demikian juga Syi’ah Rafidhah.
21. Yahudi tidak menetapkan adanya jihad hingga Allah mengutus Dajjal. Syi’ah Rafidhah mengatakan,”tidak ada jihad hingga Allah mengutus Imam Mahdi datang.
[kitab Badzl Al-majhud fi Itsbat musyabahah Ar-Rafidhah li Al-Yahud , oleh Abdullah Al-jamili]
Ahlak khomaini
Khomeini, sebuah nama yang dikenal di
seluruh penjuru dunia, sebuah nama yang dikagumi jutaan orang di dunia.
Sosok yang menjadi idola dan panutan jutaan orang. Tidak banyak orang
seperti dia.
Pada beberapa makalah yang lalu, pembaca telah menyimak beberapa pembahasan dan riwayat peristiwa “kamis kelabu” –seperti disebut oleh kawan kita yang satu itu-. Riwayat-riwayat itu berasal dari shahih Bukhari dan muslim.
Dibanding Kitab Al Kafi, Al Irsyad, atau Jawahirul Kalam, kitab Shahih Bukhari dan Muslim jauh lebih mudah dicari. Artinya, kalau orang ingin melihat langsung ke Shahih Bukhari, dia akan dengan mudah menemukan kitabnya, dan melihat langsung riwayat haditsnya. Orang yang berbohong dengan mengatasnamakan riwayat Bukhari, begitu mudah kebohongannya akan terbongkar, dia akan ketahuan berbohong. Ini karena kitab shahih Bukhari dan Muslim, begitu mudah dicari.
Logikanya, orang yang akan berbohong atas nama Bukhari Muslim, akan berpikir beberapa kali. Pembaca barangkali tidak percaya jika ada orang yang nekad berbohong, dan mengklaim hadits tertentu ada di Bukhari Muslim, namun nyatanya tidak. Tapi ada saja orang yang nekad berbohong meski mudah ketahuan.
Dia berbohong atas nama Bukhari dan Muslim tentang kisah hari kamis. Siapa dia? Dia adalah Khomeini, sosok yang dianggap oleh syiah sebagai wakil imam Mahdi, imam yang bersembunyi dan tidak memunculkan diri. Kapan Imam Mahdi melantik Khomeini menjadi wakilnya? Tidak jelas kapan waktunya. Yang jelas syiah meyakini hal itu. Asal pembaca tahu saja, imam Mahdi yang diyakini syiah hari ini, tidak jelas keberadaannya. Tidak ada yang bisa membuktikan keberadaannya.
Dalam kitab Kasyful Asrar hal 137 –edisi arab-, Khomeini mengatakan:
عندما كان رسول الله في فراش المرض,و يحف به عدد كثير,قال مخاطبا الحاضرين: تعالوا أكتب لكم شيئا يحميكم من الوقوع في الضلالة , فقال عمر بن الخطاب : لقد هجر رسول الله. وقد نقل نص هذه الرواية المؤرخون وأصحاب الحديث من البخاري ومسلم وأحمد مع اختلاف في اللفظ ، وهذا يؤكد أن هذه الفرية صدرت من ابن الخطاب المفتري
Terjemahannya kurang lebih demikian:
Saat Rasulullah terbaring sakit, dan dikelilingi oleh banyak orang, Beliau bersabda pada orang-orang yang hadir di situ: kemarilah, aku akan menuliskan pada kalian tulisan yang akan menjaga kalian dari kesesatan. Lalu Umar bin Khattab mengatakan : Rasulullah telah meracau.
Text riwayat ini telah dinukil oleh para ahli sejarah dan ahli hadits seperti Bukhari, Muslim, Ahmad, dengan sedikit perbedaan pada redaksi. Ini menegaskan lagi bahwa kebohongan ini berasal dari Ibnul Khattab si pembohong.
Mari Kita lihat langsung ke sumber aslinya, ke Shahih Bukhari dan Muslim :
عن سعيد ابن جبير عن ابن عباس رضي الله عنهما أنه قال يوم الخميس وما يوم الخميس ثم بكى حتى خضب دمعه الحصباء فقال : اشتد برسول الله صلى الله عليه و سلم وجعه يوم الخميس فقال ( ائتوني بكتاب أكتب لكم كتابا لن تضلوا بعده أبدا ) . فتنازعوا ولا ينبغي عند نبي تنازع فقالوا هجر رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ قال ( دعوني فالذي أنا فيه خير مما تدعونني إليه ) .
Bab Jawa’izul Wafd
Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas mengatakan: hari kamis, apa yang terjadi di hari kamis, lalu menangis, sampai air matanya membasahi kerikil, lalu melanjutkan: Sakit Rasulullah semakin berat pada hari kamis, lalu bersabda: bawakan pena dan kertas kemari, aku akan menulis sebuah wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, lalu mereka berselisih paham, padahal tidak selayaknya terjadi perselisihan di depan Nabi, lalu mereka mengatakan : Rasulullah telah meracau? Lalu Rasulullah bersabda: tinggalkan aku, keadaanku saat ini lebih baik dari apa yang kalian ajak.
Riwayat lain dari Bukhari:
سمع ابن عباس رضي الله عنهما يقول
: يوم الخميس وما يوم الخميس ثم بكى حتى بل دمعه الحصى قلت يا أبا عباس ما يوم الخميس ؟ قال اشتد برسول الله صلى الله عليه و سلم وجعه فقال ( ائتوني بكتف أكتب لكم كتابا لا تضلوا بعده أبدا ) . فتنازعوا ولا ينبغي عند نبي تنازع فقالوا ما له أهجر استفهموه ؟ فقال ( ذروني فالذي أنا فيه خير مما تدعونني إليه )
Dari Ibnu Abbas mengatakan: hari kamis, apa yang terjadi di hari kamis, lalu menangis, sampai air matanya membasahi kerikil, lalu aku bertanya, wahai Abul Abbas, apa yang terjadi pada hari kamis? Ibnu Abbas melanjutkan: Sakit Rasulullah semakin berat pada hari kamis, lalu bersabda: bawakan pena dan kertas kemari, aku akan menulis sebuah wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, lalu mereka berselisih paham, padahal tidak selayaknya terjadi perselisihan di depan Nabi, lalu mereka mengatakan : apa yang dikatakan Rasulullah, apakah Rasulullah telah meracau? Mintalah penjelasan lagi. Lalu Rasulullah bersabda: tinggalkan aku, keadaanku saat ini lebih baik dari ajakan kalian.
Bab Ikhrajul Yahud Min Jaziratil Arab
Riwayat lain dari Bukhari:
عن سعيد بن جبير قال قال ابن عباس : يوم الخميس وما يوم الخميس ؟ اشتد برسول الله صلى الله عليه و سلم وجعه فقال ( ائتوني أكتب لكم كتابا لن تضلوا بعده أبدا ) . فتنازعوا ولا ينبغي عند نبي تنازع فقالوا ما شأنه أهجر استفهموه ؟ فذهبوا يردون عليه فقال ( دعوني فالذي أنا فيه خير مما تدعونني إليه ) .
Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas mengatakan: hari kamis, apa yang terjadi di hari kamis, lalu menangis, , lalu melanjutkan: Sakit Rasulullah semakin berat pada hari kamis, lalu bersabda: bawakan pena dan kertas kemari, aku akan menulis sebuah wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, lalu mereka berselisih paham, padahal tidak selayaknya terjadi perselisihan di depan Nabi, lalu mereka mengatakan : Rasulullah telah meracau? Lalu Rasulullah bersabda: tinggalkan aku, keadaanku saat ini lebih baik dari ajakan kalian.
Bab Maradhin Nabiy Shallalahu Alaihi Wasallam
Riwayat dari Shahih Muslim:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَوْمُ الْخَمِيسِ وَمَا يَوْمُ الْخَمِيسِ ثُمَّ بَكَى حَتَّى بَلَّ دَمْعُهُ الْحَصَى. فَقُلْتُ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ وَمَا يَوْمُ الْخَمِيسِ قَالَ اشْتَدَّ بِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَجَعُهُ. فَقَالَ « ائْتُونِى أَكْتُبْ لَكُمْ كِتَابًا لاَ تَضِلُّوا بَعْدِى ». فَتَنَازَعُوا وَمَا يَنْبَغِى عِنْدَ نَبِىٍّ تَنَازُعٌ. وَقَالُوا مَا شَأْنُهُ أَهَجَرَ اسْتَفْهِمُوهُ.
Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas mengatakan: hari kamis, apa yang terjadi di hari kamis, lalu menangis, sampai air matanya membasahi kerikil, lalu aku bertanya, wahai Ibnu Abbas, apa yang terjadi pada hari kamis? Ibnu Abbas melanjutkan: Sakit Rasulullah semakin berat pada hari kamis, lalu bersabda: bawakan pena dan kertas kemari, aku akan menulis sebuah wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, lalu mereka berselisih paham, padahal tidak selayaknya terjadi perselisihan di depan Nabi, lalu mereka mengatakan : apa yang dikatakan Rasulullah, apakah Rasulullah telah meracau? Mintalah penjelasan lagi.
Bab Tarkil Washiyyah Liman Laisa Lahu Syai’un Yushii fiihi
Riwayat lainnya dari Shahih Muslim:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ يَوْمُ الْخَمِيسِ وَمَا يَوْمُ الْخَمِيسِ. ثُمَّ جَعَلَ تَسِيلُ دُمُوعُهُ حَتَّى رَأَيْتُ عَلَى خَدَّيْهِ كَأَنَّهَا نِظَامُ اللُّؤْلُؤِ. قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ائْتُونِى بِالْكَتِفِ وَالدَّوَاةِ - أَوِ اللَّوْحِ وَالدَّوَاةِ - أَكْتُبْ لَكُمْ كِتَابًا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ أَبَدًا ». فَقَالُوا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَهْجُرُ.
Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas mengatakan: hari kamis, apa yang terjadi di hari kamis, lalu menangis, lalu air matanya mengalir di pipinya, sampai aku melihat di pipinya seakan untaian mutiara, Ibnu Abbas melanjutkan: Sakit Rasulullah semakin berat pada hari kamis, lalu bersabda: bawakan pena dan kertas kemari, aku akan menulis sebuah wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, lalu mereka mengatakan : Rasulullah telah meracau? Mintalah penjelasan lagi.
Bab Tarkil Washiyyah Liman Laisa Lahu Syai’un Yushii fiihi
Kita lihat sendiri di shahih Muslim dan Bukhari, ternyata apa yang diucapkan oleh Khomeini tidak ada. Dalam seluruh riwayat di atas, tidak ada kata Umar. Sementara yang menuduh Nabi meracau adalah mereka. Artinya, jumlahnya lebih dari tiga.
Siapa mereka yang berani menuduh Nabi meracau? Riwayat-riwayat lainnya –juga di Bukhari Muslim- menyebutkan siapa mereka. Mereka juga ribut di depan Nabi saat Nabi sakit keras. Siapakah mereka? Silahkan menyimak kembali makalah : siapa yang ribut saat Nabi sakit?
Dengan mudah kita mendapati bahwa yang berbohong adalah Khomeini sendiri, bukan Umar bin Khattab. Khomeni lah yang pembohong, bukan Umar bin Khattab.
Ini sebuah pertanda, berbohong adalah kebiasaan ustadz dan ulama syiah yang susah ditinggalkan. Kita tidak perlu heran, karena mereka bermakmum pada Khomeini, sedangkan makmum harus mengikuti imamnya.
Apa maksud dan tujuan ini semua? Semua ini untuk mengungkapkan kebencian Khomeini kepada Umar bin Khattab, orang yang membawa obor cahaya Islam pada negeri Persia.
Pada beberapa makalah yang lalu, pembaca telah menyimak beberapa pembahasan dan riwayat peristiwa “kamis kelabu” –seperti disebut oleh kawan kita yang satu itu-. Riwayat-riwayat itu berasal dari shahih Bukhari dan muslim.
Dibanding Kitab Al Kafi, Al Irsyad, atau Jawahirul Kalam, kitab Shahih Bukhari dan Muslim jauh lebih mudah dicari. Artinya, kalau orang ingin melihat langsung ke Shahih Bukhari, dia akan dengan mudah menemukan kitabnya, dan melihat langsung riwayat haditsnya. Orang yang berbohong dengan mengatasnamakan riwayat Bukhari, begitu mudah kebohongannya akan terbongkar, dia akan ketahuan berbohong. Ini karena kitab shahih Bukhari dan Muslim, begitu mudah dicari.
Logikanya, orang yang akan berbohong atas nama Bukhari Muslim, akan berpikir beberapa kali. Pembaca barangkali tidak percaya jika ada orang yang nekad berbohong, dan mengklaim hadits tertentu ada di Bukhari Muslim, namun nyatanya tidak. Tapi ada saja orang yang nekad berbohong meski mudah ketahuan.
Dia berbohong atas nama Bukhari dan Muslim tentang kisah hari kamis. Siapa dia? Dia adalah Khomeini, sosok yang dianggap oleh syiah sebagai wakil imam Mahdi, imam yang bersembunyi dan tidak memunculkan diri. Kapan Imam Mahdi melantik Khomeini menjadi wakilnya? Tidak jelas kapan waktunya. Yang jelas syiah meyakini hal itu. Asal pembaca tahu saja, imam Mahdi yang diyakini syiah hari ini, tidak jelas keberadaannya. Tidak ada yang bisa membuktikan keberadaannya.
Dalam kitab Kasyful Asrar hal 137 –edisi arab-, Khomeini mengatakan:
عندما كان رسول الله في فراش المرض,و يحف به عدد كثير,قال مخاطبا الحاضرين: تعالوا أكتب لكم شيئا يحميكم من الوقوع في الضلالة , فقال عمر بن الخطاب : لقد هجر رسول الله. وقد نقل نص هذه الرواية المؤرخون وأصحاب الحديث من البخاري ومسلم وأحمد مع اختلاف في اللفظ ، وهذا يؤكد أن هذه الفرية صدرت من ابن الخطاب المفتري
Terjemahannya kurang lebih demikian:
Saat Rasulullah terbaring sakit, dan dikelilingi oleh banyak orang, Beliau bersabda pada orang-orang yang hadir di situ: kemarilah, aku akan menuliskan pada kalian tulisan yang akan menjaga kalian dari kesesatan. Lalu Umar bin Khattab mengatakan : Rasulullah telah meracau.
Text riwayat ini telah dinukil oleh para ahli sejarah dan ahli hadits seperti Bukhari, Muslim, Ahmad, dengan sedikit perbedaan pada redaksi. Ini menegaskan lagi bahwa kebohongan ini berasal dari Ibnul Khattab si pembohong.
Mari Kita lihat langsung ke sumber aslinya, ke Shahih Bukhari dan Muslim :
عن سعيد ابن جبير عن ابن عباس رضي الله عنهما أنه قال يوم الخميس وما يوم الخميس ثم بكى حتى خضب دمعه الحصباء فقال : اشتد برسول الله صلى الله عليه و سلم وجعه يوم الخميس فقال ( ائتوني بكتاب أكتب لكم كتابا لن تضلوا بعده أبدا ) . فتنازعوا ولا ينبغي عند نبي تنازع فقالوا هجر رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ قال ( دعوني فالذي أنا فيه خير مما تدعونني إليه ) .
Bab Jawa’izul Wafd
Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas mengatakan: hari kamis, apa yang terjadi di hari kamis, lalu menangis, sampai air matanya membasahi kerikil, lalu melanjutkan: Sakit Rasulullah semakin berat pada hari kamis, lalu bersabda: bawakan pena dan kertas kemari, aku akan menulis sebuah wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, lalu mereka berselisih paham, padahal tidak selayaknya terjadi perselisihan di depan Nabi, lalu mereka mengatakan : Rasulullah telah meracau? Lalu Rasulullah bersabda: tinggalkan aku, keadaanku saat ini lebih baik dari apa yang kalian ajak.
Riwayat lain dari Bukhari:
سمع ابن عباس رضي الله عنهما يقول
: يوم الخميس وما يوم الخميس ثم بكى حتى بل دمعه الحصى قلت يا أبا عباس ما يوم الخميس ؟ قال اشتد برسول الله صلى الله عليه و سلم وجعه فقال ( ائتوني بكتف أكتب لكم كتابا لا تضلوا بعده أبدا ) . فتنازعوا ولا ينبغي عند نبي تنازع فقالوا ما له أهجر استفهموه ؟ فقال ( ذروني فالذي أنا فيه خير مما تدعونني إليه )
Dari Ibnu Abbas mengatakan: hari kamis, apa yang terjadi di hari kamis, lalu menangis, sampai air matanya membasahi kerikil, lalu aku bertanya, wahai Abul Abbas, apa yang terjadi pada hari kamis? Ibnu Abbas melanjutkan: Sakit Rasulullah semakin berat pada hari kamis, lalu bersabda: bawakan pena dan kertas kemari, aku akan menulis sebuah wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, lalu mereka berselisih paham, padahal tidak selayaknya terjadi perselisihan di depan Nabi, lalu mereka mengatakan : apa yang dikatakan Rasulullah, apakah Rasulullah telah meracau? Mintalah penjelasan lagi. Lalu Rasulullah bersabda: tinggalkan aku, keadaanku saat ini lebih baik dari ajakan kalian.
Bab Ikhrajul Yahud Min Jaziratil Arab
Riwayat lain dari Bukhari:
عن سعيد بن جبير قال قال ابن عباس : يوم الخميس وما يوم الخميس ؟ اشتد برسول الله صلى الله عليه و سلم وجعه فقال ( ائتوني أكتب لكم كتابا لن تضلوا بعده أبدا ) . فتنازعوا ولا ينبغي عند نبي تنازع فقالوا ما شأنه أهجر استفهموه ؟ فذهبوا يردون عليه فقال ( دعوني فالذي أنا فيه خير مما تدعونني إليه ) .
Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas mengatakan: hari kamis, apa yang terjadi di hari kamis, lalu menangis, , lalu melanjutkan: Sakit Rasulullah semakin berat pada hari kamis, lalu bersabda: bawakan pena dan kertas kemari, aku akan menulis sebuah wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, lalu mereka berselisih paham, padahal tidak selayaknya terjadi perselisihan di depan Nabi, lalu mereka mengatakan : Rasulullah telah meracau? Lalu Rasulullah bersabda: tinggalkan aku, keadaanku saat ini lebih baik dari ajakan kalian.
Bab Maradhin Nabiy Shallalahu Alaihi Wasallam
Riwayat dari Shahih Muslim:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَوْمُ الْخَمِيسِ وَمَا يَوْمُ الْخَمِيسِ ثُمَّ بَكَى حَتَّى بَلَّ دَمْعُهُ الْحَصَى. فَقُلْتُ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ وَمَا يَوْمُ الْخَمِيسِ قَالَ اشْتَدَّ بِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَجَعُهُ. فَقَالَ « ائْتُونِى أَكْتُبْ لَكُمْ كِتَابًا لاَ تَضِلُّوا بَعْدِى ». فَتَنَازَعُوا وَمَا يَنْبَغِى عِنْدَ نَبِىٍّ تَنَازُعٌ. وَقَالُوا مَا شَأْنُهُ أَهَجَرَ اسْتَفْهِمُوهُ.
Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas mengatakan: hari kamis, apa yang terjadi di hari kamis, lalu menangis, sampai air matanya membasahi kerikil, lalu aku bertanya, wahai Ibnu Abbas, apa yang terjadi pada hari kamis? Ibnu Abbas melanjutkan: Sakit Rasulullah semakin berat pada hari kamis, lalu bersabda: bawakan pena dan kertas kemari, aku akan menulis sebuah wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, lalu mereka berselisih paham, padahal tidak selayaknya terjadi perselisihan di depan Nabi, lalu mereka mengatakan : apa yang dikatakan Rasulullah, apakah Rasulullah telah meracau? Mintalah penjelasan lagi.
Bab Tarkil Washiyyah Liman Laisa Lahu Syai’un Yushii fiihi
Riwayat lainnya dari Shahih Muslim:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ يَوْمُ الْخَمِيسِ وَمَا يَوْمُ الْخَمِيسِ. ثُمَّ جَعَلَ تَسِيلُ دُمُوعُهُ حَتَّى رَأَيْتُ عَلَى خَدَّيْهِ كَأَنَّهَا نِظَامُ اللُّؤْلُؤِ. قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ائْتُونِى بِالْكَتِفِ وَالدَّوَاةِ - أَوِ اللَّوْحِ وَالدَّوَاةِ - أَكْتُبْ لَكُمْ كِتَابًا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ أَبَدًا ». فَقَالُوا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَهْجُرُ.
Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas mengatakan: hari kamis, apa yang terjadi di hari kamis, lalu menangis, lalu air matanya mengalir di pipinya, sampai aku melihat di pipinya seakan untaian mutiara, Ibnu Abbas melanjutkan: Sakit Rasulullah semakin berat pada hari kamis, lalu bersabda: bawakan pena dan kertas kemari, aku akan menulis sebuah wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya, lalu mereka mengatakan : Rasulullah telah meracau? Mintalah penjelasan lagi.
Bab Tarkil Washiyyah Liman Laisa Lahu Syai’un Yushii fiihi
Kita lihat sendiri di shahih Muslim dan Bukhari, ternyata apa yang diucapkan oleh Khomeini tidak ada. Dalam seluruh riwayat di atas, tidak ada kata Umar. Sementara yang menuduh Nabi meracau adalah mereka. Artinya, jumlahnya lebih dari tiga.
Siapa mereka yang berani menuduh Nabi meracau? Riwayat-riwayat lainnya –juga di Bukhari Muslim- menyebutkan siapa mereka. Mereka juga ribut di depan Nabi saat Nabi sakit keras. Siapakah mereka? Silahkan menyimak kembali makalah : siapa yang ribut saat Nabi sakit?
Dengan mudah kita mendapati bahwa yang berbohong adalah Khomeini sendiri, bukan Umar bin Khattab. Khomeni lah yang pembohong, bukan Umar bin Khattab.
Ini sebuah pertanda, berbohong adalah kebiasaan ustadz dan ulama syiah yang susah ditinggalkan. Kita tidak perlu heran, karena mereka bermakmum pada Khomeini, sedangkan makmum harus mengikuti imamnya.
Apa maksud dan tujuan ini semua? Semua ini untuk mengungkapkan kebencian Khomeini kepada Umar bin Khattab, orang yang membawa obor cahaya Islam pada negeri Persia.
Menyibak Kekafiran Khomeini (Penistaan Kemurnian dalam Revolusi Iran)
Dalam harian Jawa Pos edisi 26
Mei 1987, seorang tokoh politik senior yang diidentikan sebagai
cendekiawan Muslim bahkan sering dijuluki sebagai “lokomotif reformasi
politik” di Indonesia menulis,“Revolusi Iran itu sesungguhnya suatu revolusi yang berskala magnetif dan keleluasaannya melebihi
revolusi modern manapun. Kalau dibandingkan dengan Revolusi Prancis
yang bersemboyan liberty, egalite, faternity, maka revolusi Prancis ini
masih kalah dan belum bisa dibandingkan dengan Revolusi Islam Iran.”. Kemudian tanpa berpikir jernih dan tidak berdasar analisa akurat – dan memang ia sendiri sudahmenjustifikasi dirinya bahwa ia sering salah dalam berijtihad – ia melanjutkan, “Melihat
semua kenyataan ini, maka pemimpin Revolusi Islam Iran Ayatulloh
Ruhullah Khomeini menyatakan, harus ada suatu revolusi. Dan, ia
menawarkan Islam yang murni yang tidak dicampur dengan Marxisme,
Sosialisme dan lain-lain. Dan, memang kenyataan revolusi ini akan
berhasil.”.
Selubung Revolusi Iran
Revolusi Iran tahun 1979 adalah canangan perubahan secara radikal yang diusung oleh Khomeini untuk menggulingkan kekuasaan Shah Reza Pahlevi yang loyal kepada Barat dan berlaku tiran terhadap rakyatnya, bukan hanya kepada golongan Syi’ah, juga kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang ketika itu berjumlah 10 juta-an orang (25 % dari penduduk Iran).
Karena tirani Shah dan “kata manis namun beracun” Khomeini yang ber kamuflase(taqiyah) dengan mengatakan “Di dalam sebuah negara Islam akan datang ini, tidak akan ada diskriminasi!”, yang menyebabkan Ahlus Sunnah ikut serta mengangkat senjata untuk menggulingkan Shah. Setelah itu, bukan tanda jasa yang diterima Ahlus Sunnah, pembantaian etnis (genocide) dan tindakan diskriminatif yang justru “dihadiahkan”, juga klaim dusta bahwa populasi mereka (Ahlus Sunnah) hanya 2 juta orang dan untuk mendapatkan masjid saja sulitnya minta ampun. Inilah tipuan revolusi ala Khomeini!
Tertipu Revolusi ala Khomeini
Walau goresan pena tokoh yang bertitel Prof.Dr. tersebut telah cukup lama dirilis dan ditulis, namun hingga kini “kekagumannya” belumlah pudar, bahkan “diwariskan dan diestafetakan” kepada anaknya yang telah resmi menjadi anggota legislatif pada pemilu 2009 yang lalu.
Meskipun dugaan kuat sementara menyatakanbahwa tokoh “sepuh” tersebut bukanlah seorang Syi’ah, namun dipastikan bahwa ia:
Nyatanya hingga kematian Khomeini, tidak banyak keberhasilan revolusi yang diraih, kecuali tersebarnya ajaran sesat Syi’ah dan banyaknya konflik antar faksi Syi’ah, khususnya yang terjadi akhir-akhir ini antara kubu konservatif yang diwakili Ali Khomane’i dan Presiden Ahmadinejad dengan kubu reformis yang diwakili mantan Pre-siden Khatami dan tokoh oposisi Mousavi serta beberapa cucu Khomeini sendiri;
3. Tertipu dengan isapan jempol, slogan kosongdan seruan palsu Khomeini yang dulu lantang mengumandangkan “Bukan timur…bukan Barat,hanya Islam…Islam….”;
4. Bodoh terhadap ajaran Islam, hingga lancangmempropagandakan revolusi Khomeini se-bagai Islam yang murni (apanya yang murni?).
Sebuah Komparasi
Salah satu klaim fatal tokoh di atas adalah kebodohan dan ketidakmengertiannya terhadap hakekat Islam yang murni (baca Ahlus Sunnah wal Jama’ah) yang “diserupakan” dengan revolusi sesat ala Khomeini. Padahal antara keduanya ter-dapat jurang perbedaan yang sangat jauh sekali!
Berikut perbandingan singkat antara Islam yangmurni dan Islam palsu ala Khomeini:
di atas syirik ala Persia dan paganisme ala Majusiyang membanggakan penyembahan kepada api.
2. slam yang murni hidup di atas Ittiba’, yaitumeneladani Rosululloh saw dengan jujur.
Sedangkan Islam palsu ala Khomeini berge-limang dengan bid’ah yang sesat-menyesatkan, yaitu perpaduan “campur sari” ajaran sesat ‘Abdulloh bin Saba’ dengan filsafat batil Majusi dan “ramuan” kesesatan lainnya.
3. Islam yang murni eksis di atas sumber yang benar;al-Qur’an, as-Sunnah dan al-Ijma’.
Sedangkan Islam palsu ala Khomeini eksis de-ngan mengacak-acak al-Qur’an, membuat Qur’antandingan, menghancurkan as-Sunnah dan tidak percaya kepada ijma’, spesifiknya ijma’ para sahabat Rosululloh saw.
4. Islam yang murni bersinergi dengan pemaha-man yang benar, yaitu pemahaman para sahabat rdm.
Sedangkan Islam palsu ala Khomeini bersinergidengan sumber kesesatan dan pemahaman sesat yang dengan lancang bahkan mengkafirkan para sahabat rdm, kecuali hanya beberapa orang saja.
Ke-sok-Islami-an Khomeini
Sutradara Revolusi Iran
Berikut testimoni Dr. Musa al-Musawi yang pernah menjadi “orang dekat” Khomeini terhadap ke-sok-Islami-an Khomeini yang berlaku tiran dan bertindak diktator yang oleh tokoh politik Indo-nesia di atas dianggap sebagai “penggiat” Islam yang murni:
Sejak awal berdirinya hingga kini, Republik Iran melakukan kebijaksanaan pemimpin besar-nya dengan paket membunuh rakyat yang tak berdosa, meneror dan memerangi negara-negara tetangganya, membantai golongan minoritas yang menuntut haknya dan membantai politisi yang menentang kebijakan rezimnya.
2. Khomeini mengidentikkan Islam sebagai aga-ma tiran yang memberangus hak asasi dan kebebasan.
Hal ini terlihat dari pernyataannya, “Akan ku-potong lidah siapa pun yang bernada anti republik.”.
3. Khomeini mengidentikkan Islam sebagai aga-ma yang tidak mengenal keadilan dan kasih sayang.
4. Khomeini mengidentikkan bahwa Islam ada-lah perampok harta benda milik umat.
Hal ini telah dipraktekkan pada rezimnya, dimana ia berkata, “Harta benda para hartawan itu berasal dari uang haram, wajib dirampas untuk mashlahat kaum lemah.”.
Kenyataannya, harta hasil rampasan tersebut“hanya” digunakan sebagai dana segar untuk me-numpas lawan-lawan politiknya.
5. Pada rezimnya, Khomeini mengidentikkan Islam sebagai agama dustadan tipu daya.
Pemimpin revolusi Iran ini telah melakukankebohongan kepada dunia, khususnya kaum Mus-limin. Mereka mengklaim anti Israel dan Amerika. Namun, di balik klaim tersebut, mereka menjalin kerja sama “mesra” dengan Zionisme Israel Inter-nasional dan Amerika secara rahasia. Kini, “propa-ganda usang” ini masih getol digalakkan namun masih banyak juga tokoh yang tertipu.
6. Pada masa rezimnya, Khomeini telah meng-identikkan bahwa Islam sebagai agama mata-mata dan fitnah.
Khomeini memerintahkan agar para bapak memata-matai anaknya, begitu juga para ibu, antara tetangga terhadap tetangga lainnya, dan seorang anak terhadap saudara-saudaranya.
7. Khomeini telah mengidentikkan Islam sebagaiagama caci maki dan melempar tuduhan de-ngan kata-kata kotor.
Khomeini sangat mendukung Departemen Penerangan Republik Iran yang selalu mencerca tokoh-tokoh Islam negara Arab serta tokoh-tokoh Iran yang menentang rezimnya, dan yang lebih keji tentu saja terhadap para sahabat Rosululloh saw.
8. Khomeini telah mengidentikkan Islam sebagaiagama firqoh penuh ikhtilaf.
Khomeini bahkan sangat merestui tindakan mengintimidasi tokoh-tokoh Islam dengan ekspor revolusi ke negara mereka masing-masing.
Demikianlah historisitas, akar kronologis danhakekat dari Revolusi Iran ala Khomeini yang “berhasil” “meruntuhkan kemurnian Islam”, “mengganyang kebenaran”, “memberangus kemu-liaan” dan “menipu” banyak tokoh.
Waspada, deteksi dan berhati-hatilah wahai kaum Muslimin..!! Serta jangan lupa untuk meng-gali, mengkaji dan dan pelajari Islam yang murni, Ahlus Sunnah wal Jama’ah..!!
Selubung Revolusi Iran
Revolusi Iran tahun 1979 adalah canangan perubahan secara radikal yang diusung oleh Khomeini untuk menggulingkan kekuasaan Shah Reza Pahlevi yang loyal kepada Barat dan berlaku tiran terhadap rakyatnya, bukan hanya kepada golongan Syi’ah, juga kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang ketika itu berjumlah 10 juta-an orang (25 % dari penduduk Iran).
Karena tirani Shah dan “kata manis namun beracun” Khomeini yang ber kamuflase(taqiyah) dengan mengatakan “Di dalam sebuah negara Islam akan datang ini, tidak akan ada diskriminasi!”, yang menyebabkan Ahlus Sunnah ikut serta mengangkat senjata untuk menggulingkan Shah. Setelah itu, bukan tanda jasa yang diterima Ahlus Sunnah, pembantaian etnis (genocide) dan tindakan diskriminatif yang justru “dihadiahkan”, juga klaim dusta bahwa populasi mereka (Ahlus Sunnah) hanya 2 juta orang dan untuk mendapatkan masjid saja sulitnya minta ampun. Inilah tipuan revolusi ala Khomeini!
Tertipu Revolusi ala Khomeini
Walau goresan pena tokoh yang bertitel Prof.Dr. tersebut telah cukup lama dirilis dan ditulis, namun hingga kini “kekagumannya” belumlah pudar, bahkan “diwariskan dan diestafetakan” kepada anaknya yang telah resmi menjadi anggota legislatif pada pemilu 2009 yang lalu.
Meskipun dugaan kuat sementara menyatakanbahwa tokoh “sepuh” tersebut bukanlah seorang Syi’ah, namun dipastikan bahwa ia:
- Cenderung sepihak, karena pendapatnya hanya bersumber dari berita yang dirilis pemerintah Iran atau buku-buku Syi’ah saja;.
Nyatanya hingga kematian Khomeini, tidak banyak keberhasilan revolusi yang diraih, kecuali tersebarnya ajaran sesat Syi’ah dan banyaknya konflik antar faksi Syi’ah, khususnya yang terjadi akhir-akhir ini antara kubu konservatif yang diwakili Ali Khomane’i dan Presiden Ahmadinejad dengan kubu reformis yang diwakili mantan Pre-siden Khatami dan tokoh oposisi Mousavi serta beberapa cucu Khomeini sendiri;
3. Tertipu dengan isapan jempol, slogan kosongdan seruan palsu Khomeini yang dulu lantang mengumandangkan “Bukan timur…bukan Barat,hanya Islam…Islam….”;
4. Bodoh terhadap ajaran Islam, hingga lancangmempropagandakan revolusi Khomeini se-bagai Islam yang murni (apanya yang murni?).
Sebuah Komparasi
Salah satu klaim fatal tokoh di atas adalah kebodohan dan ketidakmengertiannya terhadap hakekat Islam yang murni (baca Ahlus Sunnah wal Jama’ah) yang “diserupakan” dengan revolusi sesat ala Khomeini. Padahal antara keduanya ter-dapat jurang perbedaan yang sangat jauh sekali!
Berikut perbandingan singkat antara Islam yangmurni dan Islam palsu ala Khomeini:
- Islam yang murni tegak di atas Tauhid, yaitumengesakan Alloh swt dengan semurni-mur-ninya.
di atas syirik ala Persia dan paganisme ala Majusiyang membanggakan penyembahan kepada api.
2. slam yang murni hidup di atas Ittiba’, yaitumeneladani Rosululloh saw dengan jujur.
Sedangkan Islam palsu ala Khomeini berge-limang dengan bid’ah yang sesat-menyesatkan, yaitu perpaduan “campur sari” ajaran sesat ‘Abdulloh bin Saba’ dengan filsafat batil Majusi dan “ramuan” kesesatan lainnya.
3. Islam yang murni eksis di atas sumber yang benar;al-Qur’an, as-Sunnah dan al-Ijma’.
Sedangkan Islam palsu ala Khomeini eksis de-ngan mengacak-acak al-Qur’an, membuat Qur’antandingan, menghancurkan as-Sunnah dan tidak percaya kepada ijma’, spesifiknya ijma’ para sahabat Rosululloh saw.
4. Islam yang murni bersinergi dengan pemaha-man yang benar, yaitu pemahaman para sahabat rdm.
Sedangkan Islam palsu ala Khomeini bersinergidengan sumber kesesatan dan pemahaman sesat yang dengan lancang bahkan mengkafirkan para sahabat rdm, kecuali hanya beberapa orang saja.
Ke-sok-Islami-an Khomeini
Sutradara Revolusi Iran
Berikut testimoni Dr. Musa al-Musawi yang pernah menjadi “orang dekat” Khomeini terhadap ke-sok-Islami-an Khomeini yang berlaku tiran dan bertindak diktator yang oleh tokoh politik Indo-nesia di atas dianggap sebagai “penggiat” Islam yang murni:
- Khomeini mengidentikkan Islam sebagai aga-ma pendengki, suka berperang dan hausme-numpahkan darah.
Sejak awal berdirinya hingga kini, Republik Iran melakukan kebijaksanaan pemimpin besar-nya dengan paket membunuh rakyat yang tak berdosa, meneror dan memerangi negara-negara tetangganya, membantai golongan minoritas yang menuntut haknya dan membantai politisi yang menentang kebijakan rezimnya.
2. Khomeini mengidentikkan Islam sebagai aga-ma tiran yang memberangus hak asasi dan kebebasan.
Hal ini terlihat dari pernyataannya, “Akan ku-potong lidah siapa pun yang bernada anti republik.”.
3. Khomeini mengidentikkan Islam sebagai aga-ma yang tidak mengenal keadilan dan kasih sayang.
4. Khomeini mengidentikkan bahwa Islam ada-lah perampok harta benda milik umat.
Hal ini telah dipraktekkan pada rezimnya, dimana ia berkata, “Harta benda para hartawan itu berasal dari uang haram, wajib dirampas untuk mashlahat kaum lemah.”.
Kenyataannya, harta hasil rampasan tersebut“hanya” digunakan sebagai dana segar untuk me-numpas lawan-lawan politiknya.
5. Pada rezimnya, Khomeini mengidentikkan Islam sebagai agama dustadan tipu daya.
Pemimpin revolusi Iran ini telah melakukankebohongan kepada dunia, khususnya kaum Mus-limin. Mereka mengklaim anti Israel dan Amerika. Namun, di balik klaim tersebut, mereka menjalin kerja sama “mesra” dengan Zionisme Israel Inter-nasional dan Amerika secara rahasia. Kini, “propa-ganda usang” ini masih getol digalakkan namun masih banyak juga tokoh yang tertipu.
6. Pada masa rezimnya, Khomeini telah meng-identikkan bahwa Islam sebagai agama mata-mata dan fitnah.
Khomeini memerintahkan agar para bapak memata-matai anaknya, begitu juga para ibu, antara tetangga terhadap tetangga lainnya, dan seorang anak terhadap saudara-saudaranya.
7. Khomeini telah mengidentikkan Islam sebagaiagama caci maki dan melempar tuduhan de-ngan kata-kata kotor.
Khomeini sangat mendukung Departemen Penerangan Republik Iran yang selalu mencerca tokoh-tokoh Islam negara Arab serta tokoh-tokoh Iran yang menentang rezimnya, dan yang lebih keji tentu saja terhadap para sahabat Rosululloh saw.
8. Khomeini telah mengidentikkan Islam sebagaiagama firqoh penuh ikhtilaf.
Khomeini bahkan sangat merestui tindakan mengintimidasi tokoh-tokoh Islam dengan ekspor revolusi ke negara mereka masing-masing.
Demikianlah historisitas, akar kronologis danhakekat dari Revolusi Iran ala Khomeini yang “berhasil” “meruntuhkan kemurnian Islam”, “mengganyang kebenaran”, “memberangus kemu-liaan” dan “menipu” banyak tokoh.
Waspada, deteksi dan berhati-hatilah wahai kaum Muslimin..!! Serta jangan lupa untuk meng-gali, mengkaji dan dan pelajari Islam yang murni, Ahlus Sunnah wal Jama’ah..!!
DIALOG IMAM JA'FAR ASH-SHADIQ -RAHIMAHULLOHU TA'ALA- DENGAN SEORANG SYI'AH
Apabila kita membaca atau berdialog
dengan pangikut Mazhab Syi‘ah, mereka seringkali mengidentitikan diri
mereka sebagai pengikut Mazhab Ahl al-Bait. Dakwaan ini akan kita kaji
seterus ini.
Yang dimaksudkan dengan Ahl al-Bait Rasulullah.
Perkataan Ahl digunakan bagi seorang lelaki untuk merujuk kepada kabilahnya (عشيرته), orang-orangnya (ذو) dan kaum kerabatnya . Contoh penggunaannya boleh dirujuk di dalam al-Qur’an:
Setelah Musa menyempurnakan tempoh kerjanya itu dan berjalan dengan isterinya (Ahl), ia melihat (dalam perjalanannya itu) api dari sebelah Gunung Tursina. (Ketika itu) berkatalah ia kepada isterinya (Ahl): “Berhentilah; sesungguhnya aku ada melihat api, semoga aku dapat membawa kepada kamu sesuatu berita dari situ, atau sepuntung dari api itu, supaya kamu dapat memanaskan diri.” [al-Qasas 28:29]
Perkataan Ahl al-Bait merujuk kepada keluarga bagi seseorang lelaki. Contohnya ialah ayat berikut berkenaan isteri Nabi Ibrahim ‘alaihi salam:
Isteri (Nabi Ibrahim) berkata: Sungguh ajaib keadaanku! Adakah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua dan suamiku ini juga sudah tua? Sesungguhnya kejadian ini suatu perkara yang mengherankan.
Malaikat-malaikat itu berkata: Patutkah engkau merasa hairan tentang perkara yang telah ditetapkan oleh Allah? Memanglah rahmat Allah dan berkat-Nya melimpah-limpah kepada kamu, wahai Ahl al-Bait. Sesungguhnya Allah Maha terpuji, lagi Maha Melimpah kebaikan dan kemurahan-Nya. [Hud 11:73]
Di sisi Ahl al-Sunnah, istilah Ahl al-Bait merujuk kepada keluarga Rasulullah yang terjalin berdasarkan ikatan penikahan (para isterinya) dan ikatan nasab (anak-anaknya termasuk ‘Ali).
Di sisi Syi‘ah, Ahl al-Bait hanyalah merujuk kepada keluarga ikatan nasab Rasulullah yang terdiri daripada ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain diikuti dengan keturunan mereka. Ini berdasarkan tafsiran mereka terhadap ayat 33 surah al-Ahzab yang akan kita bahas nanti, insya-Allah.
Oleh sebab itu, Syi‘ah sering kali mengistilahkan diri mereka sebagai Mazhab Ahl al-Bait. Ahl al-Sunnah tidak menerima pengistilahan ini karena para pengikut Ahl al-Bait yang sebenarnya terdiri dari mereka yang mengakui kekhalifahan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman serta mengutamakan mereka melebihi orang-orang lain, termasuk ‘Ali sendiri.
Ini merupakan keyakinan para Ahl al-Bait Rasulullah: ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain diikuti dengan para imam keturunan mereka. Antara bukti terkuat bagi perbedaan ini ialah dialog berikut antara Ja’far al-Shiddiq radhiallahu ‘anh dengan salah seorang Syi‘ah.
Dialog Ja’far al-Shiddiq dengan seorang Syi‘ah.
Seorang rawi menuturkan bahwa ada seorang Syi‘ah mendatangi Ja’far bin Muhammad al-Shiddiq -karramallah wajhah- lalu segera mengucap salam: “Assalamu‘alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuhu.” Ja’far terus menjawab salam tersebut.
(Dialog pertama):
Syi‘ah tadi bertanya: Wahai putra Rasulullah, siapakah manusia terbaik setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
Ja’far al-Shiddiq menjawab: Abu Bakar (radhiallahu ‘anh).
Syi‘ah bertanya: Mana hujahnya dalam hal itu?
Ja’far menjawab: Firman Allah -ta‘ala-: 'Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Qur'an menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana .
[al-Taubah 9:40]
Ja’far melanjutkan: Coba fikirkan, apakah ada orang yang lebih baik dari dua orang yang nomer ketiganya adalah Allah? Tidak ada seorang pun yang lebih afdhal daripada Abu Bakar selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maka Syi‘ah berkata: "Sesungguhnya ‘Ali bin Abu Thalib ‘alaihi salam telah tidur di tikar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (demi menggantikannya dalam peristiwa hijrah) tanpa mengeluh (jaza’, artinya tabah) dan tidak takut (faza’, artinya ia tegar).
Maka Ja’far menjawab: "Dan begitu pula Abu Bakar, dia bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa jaza’ dan faza’.
Syi‘ah menyanggah: "Sesungguhnya Allah -ta‘ala- telah menyatakan berbeda dengan apa yang anda katakan!
Ja’far bertanya: "Apa yang difirmankan oleh Allah?"
Syi‘ah menjawab: "…di waktu dia berkata kepada temannya: 'Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.' Bukankah ketakutan tadi adalah jaza’ ?
Ja’far menjelaskan: "Tidak, karena huzn (sedih) itu bukan jaza’ dan faza’. Sedihnya Abu Bakar adalah khawatir jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibunuh dan agama Allah tidak lagi ditaati. Jadi kesedihannya adalah terhadap agama Allah dan terhadap Rasul Allah, bukan sedih terhadap dirinya. Bagaimana (dapat dikatakan dia sedih untuk dirinya sendiri padahal) dia disengat lebih dari seratus sengatan dan tidak pernah mengatakan “His” juga (tidak pernah) mengatakan “Uh” (tidak mengerang kesakitan) ???
(Dialog kedua):
Syi‘ah berkata: Sesungguhnya Allah Ta‘ala berfirman: "Sesungguhnya Penolong kamu hanyalah Allah, dan Rasul-Nya, serta orang-orang yang beriman, yang mendirikan sembahyang, dan menunaikan zakat sedang mereka rukuk. [al-Maidah 5:55]
Ayat ini turun berkenaan ‘Ali bin Abu Thalib ketika mensedekahkan cincinnya ketika dia sedang rukuk, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikannya (ayat di atas) di dalam diriku dan Ahl al-Baitku.”
Ja’far menjelaskan: Ayat yang sebelumnya lebih agung daripadanya. Allah berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa diantara kamu berpaling dari agamanya (jadi murtad), maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mengasihi mereka dan mereka juga mengakasihi-Nya. [al-Maidah : 54]
Ternyata perbuatan riddah (murtad, keluar dari Islam) terjadi besar-besaran sepeninggalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang kafir itu tertumpu di Nahawand, mereka berkata: “Orang yang selama ini mereka bela (Rasulullah) kini telah wafat (maka tidak perlu lagi membayar zakat).” Hingga ‘Umar radhiallahu ‘anh berkata (kepada Abu Bakar yang bertekad memerangi mereka): “Terimalah sholat dari mereka dan biarkan (maafkan) zakat bagi mereka.”
Maka dia (Abu Bakar) berkata: “Demi Allah seandainya mereka menghalangiku (tidak mau menyerahkan sekalipun) seutas tali (pengikat hewan, yakni untuk zakat hewan ternak) yang dulu mereka membayarkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, pasti aku memerangi mereka biarpun seorang diri.” Maka ayat ini (al-Maidah : 54) lebih utama untuk Abu Bakar radhiallahu ‘anhu.
(Dialog ketiga):
Syi‘ah tersebut melanjutkan hujahnya: "Sesungguhnya Allah -ta‘ala- telah berfirman: 'Orang-orang yang menginfakkan hartanya pada waktu malam dan siang, dengan cara sulit atau terbuka.' [al-Baqarah 2:274] Ayat ini turun berkenaan ‘Ali - ‘alaihi salam-. Dia memiliki empat dinar, satu dinar dia nafkahkan pada malam hari, satu dinar dia nafkahkan pada siang hari, satu dinar secara sembunyi-sembunyi dan satu dinar secara terang-terangan. Maka turunlah ayat ini.
Maka Ja’far -‘alaihi salam- menjelaskan: Abu Bakar memiliki yang lebih utama lagi di dalam Al-Quran. Allah berfirman: "Demi malam apabila ia menyelubungi segala-galanya." [al-Lail : 1] Ini adalah sumpah Allah.
"Dan siang apabila ia lahir terang-benderang; Demi Yang menciptakan (makhluk-makhluk-Nya) lelaki dan perempuan; Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,
dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga). [al-Lail : 2-6] Ini ialah Abu Bakar.
"maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah." [al-Lail : 7 ] Ini adalah (bagi) Abu Bakar.
"Dan akan dijauhkan (adzab neraka) itu daripada orang yang sungguh bertaqwa. [al-Lail :17]. Ini ialah Abu Bakar.
Yang mendermakan hartanya dengan tujuan membersihkan dirinya dan harta bendanya. [al-Lail :18]. Ini ialah Abu Bakar.
Sedang ia tidak menanggung budi sesiapapun, yang patut di balas. [al-Lail :19] Ini ialah Abu Bakar.
Dia telah menafkahkan untuk (dakwah Rasulullah) sebanyak 40 ribu dinar sehingga baginda bersuka-cita. Kemudian turunlah Jibril -‘alaihi salam- memberi kabar bahwa: “Allah yang Maha Tinggi dan luhur memberikan salam untukmu (wahai Rasulullah) dan Dia berkata ucapkan juga kepada Abu Bakar salam dari-Ku dan katakan kepadanya: 'Apakah engkau ridha kepada Allah dalam kefakiranmu ini ataukah engkau tidak suka ?'
Maka Abu Bakar menjawab, “Apa mungkin aku marah (tidak suka) kepada Rabb-ku ‘Azza wa Jalla ? Aku ridha kepada Rabb-ku, aku ridha kepada Rabb-ku, aku ridha kepada Rabb-ku.”
Dan Allah berjanji untuk meridhainya.
(Dialog keempat):
Syi‘ah berhujah lagi: Sesungguhnya Allah berfirman: Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang dhalim."[al-Taubah :19] Ayat ini turun berkenaan ‘Ali -‘alaihi salam-.
Ja’far -‘alaihi salam- menjawab: "Abu Bakar memiliki sesuatu yang lebih afdal di dalam Al-Qur’an." Allah berfirman: "Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." [al-Hadid :10]
Abu Bakar adalah orang yang pertama kali menafkahkan hartanya untuk Rasulullah, orang yang pertama berperang dan yang pertama berjihad (yakni ketika) orang-orang musyrik datang memukul Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- sampai berdarah. Setelah Abu Bakar mendengar berita itu dia terus berlari mendatangi mereka lalu berkata: “Celaka kalian! Apakah kalian akan membunuh orang yang mengatakan Rabb-ku adalah Allah padahal dia telah membawa bukti-bukti yang jelas dari Tuhan kalian ?”
Maka mereka meninggalkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berbalik memukul Abu Bakar, sehingga tidak jelas antara hidung dan wajahnya.
Dia (Abu Bakar) adalah orang yang pertama berjihad di jalan Allah dan orang pertama yang berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta orang pertama yang menafkahkan hartanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Tidak ada harta yang bermanfaat untukku seperti manfaatnya harta Abu Bakar.”
(Dialog kelima):
Syi‘ah terus berhujah: "Sesungguhnya ‘Ali tidak pernah menyekutukan Allah walau sekelip mata."
Maka Ja’far berhujah kembali: "Sesungguhnya Allah telah memuji Abu Bakar dengan pujian yang mencukupi dari segala sudut. Allah berfirman: "DDan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa." [al-Zumar:33]
Dan yang membawa kebenaran…ialah Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, serta yang mengakui kebenarannya…ialah Abu Bakar ash-shiddiq -radhiyallaahu ta'ala 'anhu-. Semua orang berkata kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- (setelah peristiwa Isra’ dan Mi'raj): “Engkau dusta” sedangkan Abu Bakar, hanya dia yang berkata: “Engkau benar.” Maka turunlah ayat ini berkenaan dengannya: Ayat tashdiq (pembenaran) secara khusus.
Maka Abu Bakar adalah orang yang taqwa (taqiy), bersih (naqiy), yang diridhai (mardhi), yang ridha (radhiy), yang adil (‘adl), penegak keadilan (mu‘addil) dan yang menepati perjanjian (wafiy).
(Dialog keenam):
Syi‘ah kemudian berkata: Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan." Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri." [asy-Syuura : 23]
Ja’far menjawab: "Bahwa Abu Bakar juga memiliki yang seumpama. Allah berfirman: "Dan orang-orang yang datang kemudian daripada mereka (berdo'a dengan) berkata: “Wahai Tuhan Kami ! Ampunkanlah dosa kami dan dosa saudara-saudara kami yang mendahului kami dalam iman, dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami perasaan hasad dengki dan dendam terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Tuhan kami ! Sesungguhnya Engkau Amat Melimpah Belas kasihan dan Rahmat-Mu.” [al-Hasyr :10]
Abu Bakar terlebih dahulu membawa iman, maka meminta ampun untuknya adalah wajib dan mencintainya adalah fardhu serta membencinya adalah kufur.
(Dialog ketujuh):
Syi‘ah berkata: "Sesungguhnya Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Hasan dan Husain keduanya adalah sayyid (pemuka) pemuda ahli syurga dan ayah mereka berdua lebih baik daripada keduanya.”
Ja’far berkata kepadanya: "Bagi Abu Bakar di sisi Allah ada keutamaan yang melebihi itu. Aku diberitahu oleh ayahku, dari kakekku, dari ‘Ali bin Abu Thalib -‘alaihi salam-, dia berkata: "Saya ada di samping Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, tidak ada orang lain selain aku. Tiba-tiba muncullah Abu Bakar dan ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma-, maka Nabi bersabda: “Hai ‘Ali! Kedua orang ini adalah sayyid (pemuka) penduduk ahli syurga, yang tua maupun yang muda, yang telah lewat dan yang terdahulu dari generasi awal maupun yang tersisa dan yang tinggal dari generasi yang belakangan kecuali para Nabi. Jangan engkau beritahukan kepada keduanya wahai ‘Ali.”
Maka aku (‘Ali) tidak memberitahukannya kepada siapa pun hingga keduanya tiada.
(Dialog kedelapan):
Syi‘ah bertanya: Manakah yang lebih utama, Fathimah putri Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam atau ‘A’isyah binti Abu Bakar?
Ja’far menjawab: (dengan membaca ayat): "Dengan nama Allah yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Yaasiin; Demi Al Quraan yang penuh hikmah, [Yasin : 1-2]
"Haa-Miim; Demi Kitab Al-Quran yang menyatakan kebenaran. [al-Zukhruf : 1-2]
Syi‘ah kemudian berkata: "Aku bertanya kepadamu manakah yang lebih baik, Fathimah putri Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ataukah ‘Aisyah putri Abu Bakar, kenapakah kamu membaca Al-Qur'an?"
Ja’far menjawab: ‘Aisyah putri Abu Bakar adalah isteri Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dia akan bersamanya di Surga. Sedangkan Fathimah putri Rasulullah adalah sayyidah (pemuka) wanita ahli syurga. Yang mencela isteri Rasulullah mudah-mudahan dilaknat oleh Allah -ta‘ala- dan yang membenci putri Rasulullah mudah-mudahan dihina oleh Allah Ta‘ala.
Syi‘ah (tidak berpuas hati lalu) berkata: ‘A’isyah telah memerangi ‘Ali dan dia adalah isteri Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- !
Ja’far menjawab tegas: "(Itu adalah) benar, (tetapi) celakalah kamu! (Bukankah) Allah -ta’ala- telah berfirman: "Dan kamu tidak boleh sama sekali menyakiti (hati) Rasul Allah. [al-Ahzab : 53]
(Dialog ke sembilan):
Kemudian Syi‘ah bertanya: "Apakah kekhalifahan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman ada di dalam Al-Qur’an ?”
Ja’far menjawab: Ada, bahkan juga di dalam Taurat dan Injil. Allah berfirman: "Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. [al-An‘am :165]
"Atau siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?" [al-Naml : 62]
Allah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal soleh dari kalangan kamu (wahai umat Muhammad) bahwa Dia akan menjadikan mereka khalifah-khalifah yang memegang kuasa pemerintahan di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka: khalifah-khalifah yang berkuasa; dan Dia akan menguatkan dan mengembangkan agama mereka (Islam) yang telah diridhai-Nya untuk mereka. [al-Nur : 55]
Syi‘ah meminta penjelasan: "Wahai putra Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, lalu di manakah kekhalifahan mereka di (sebut) dalam Taurat dan Injil?
Ja’far menjawab (dengan membaca firman Allah): "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud . Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil." [al-Fath :29]
Dan orang-orang yang bersama dengannya… adalah Abu Bakar.
Bersikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir… ialah ‘Umar bin al-Khaththab.
Dan (sebaliknya) bersikap kasih sayang serta belas kasihan kasihan sesama sendiri (umat Islam)… ialah ‘Utsman bin ‘Affan.
Engkau melihat mereka tetap beribadah rukuk dan sujud dengan mengharapkan limpah kurnia dari Tuhan mereka serta mengharapkan keridha'an-Nya… ialah ‘Ali bin Abi Thalib.
Tanda yang menunjukkan mereka terdapat muka mereka - dari kesan sujud… adalah para sahabat Rasulullah.
Demikianlah sifat mereka yang tersebut di dalam Kitab Taurat; dan sifat mereka di dalam Kitab Injil.
Syi‘ah bertanya lagi: "Apakah yang dimaksud dalam Taurat dan lnjil tersebut?"
Ja’far menjawab: "Muhammad Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para khulafa' sesudahnya: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali."
Kemudian Ja’far menepuk dada Syi‘ah itu dan berkata: Allah Ta‘ala berfirman:(dengan membaca sambungan ayat 29 surah al-Fath):
"yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya."
(Allah menjadikan sahabat-sahabat Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan pengikut-pengikutnya kembang biak serta kuat gagah sedemikian itu) karena Dia hendak menjadikan orang-orang kafir merana dengan perasaan marah dan hasad dengki - dengan berkembangbiaknya umat Islam itu. (Dan selain itu) Allah telah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal shalih dari mereka, keampunan dan pahala yang besar. [al-Fath 48:29]
Seperti pokok tanaman yang mengeluarkan anak dan tunasnya, lalu anak dan tunasnya itu menyuburkannya… ialah Abu Bakar.
Sehingga ia menjadi kuat… ialah ‘Umar.
Lalu ia tegap berdiri di atas (pangkal) batangnya… ialah ‘Utsman bin ‘Affan.
Dengan keadaan yang mengagumkan orang-orang yang menanamnya kerana Ia hendak menjadikan orang-orang kafir merana dengan perasaan marah dan hasad dengki - dengan kembang biaknya umat Islam itu… ialah ‘Ali bin Abi Thalib.
Allah telah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal salih dari mereka, keampunan dan pahala yang besar… ialah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah meredhai mereka, sungguh celakalah kamu !
Aku diberitahu oleh ayahku, dari kakekku, dari ‘Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Aku adalah orang yang pertama bangkit dari bumi dan tidak ada kesombongan. Allah memberi kemudahan kepadaku dari hal-hal yang belum pernah diberikan kepada seorang Nabi pun sebelumku. Kemudian Dia memanggil: “Dekatkan para khulafa' sesudahmu.”
Maka aku berkata, “Ya Rabb ! Siapakah khulafa’ itu ?” Maka Dia berkata: “ 'Abdullah bin ‘Utsman Abu Bakar al-Shiddiq.” Maka orang yang pertama keluar dari tanah setelahku ialah Abu Bakar. Dia kemudian didirikan di hadapan Allah -ta‘ala- untuk dihisab dengan hisab yang ringan sekali (hisaban yasiran) kemudian dia diberi pakaian sutera berwama hijau, lalu didirikan di depan al-‘Arasy.
Kemudian ada panggilan: “Mana ‘Umar bin al-Khaththab ?” Datanglah ‘Umar dengan urat-urat leher yang masih mengalirkan darah. Dia bertanya: “Siapa yang telah berbuat seperti ini kepadamu?” ‘Umar menjawab: “Budak Mughirah bin Syu’bah.” Dia kemudian didirikan di hadapan Allah lalu dihisab dengan hisab yang sangat ringan dan diberi pakaian sutera berwarna hijau lalu didirikan di depan al-‘Arasy.
Kemudian didatangkan ‘Utsman bin 'Affan dengan urat-urat leher yang mengalirkan darah. Dia ditanya: “Siapa yang telah berbuat ini kepadamu ?” Maka dia menjawab: “Fulan dan fulan.” Dia didirikan di hadapan Allah lalu dihisab dengan hisab yang ringan kemudian diberi pakaian sutera berwarna hijau lalu didirikan di depan al-‘Arasy.
Kemudian dipanggil ‘Ali bin Abu Thalib. Dia datang dengan urat-urat leher yang mengalirkan darah. Dia ditanya: “Siapa yang berbuat ini kepadamu ?” Maka ‘Ali menjawab: ‘Abdurrahman bin Muljam.” Dia didirikan di hadapan Allah -ta‘ala- dan dihisab dengan hisab yang ringan kemudian diberi pakaian sutera berwarna hijau dan didirikan di depan al-‘Arasy.
Syi‘ah tadi bertanya sekali lagi: "Apakah semua ini ada di dalam al-Qur'an wahai putra Rasulullah?" Ja’far menjawab: "Ya ! Allah berfirman: ' dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan. [al-Zumar : 69]
Dan akan dibawa Nabi-nabi serta para saksi… ialah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali (di mana) … akan dihakimi di antara mereka dengan adil sedang mereka tidak dikurangkan balasannya sedikitpun.
(Dialog terakhir):
Akhirnya Syi‘ah tadi bertanya: "Wahai putra Rasulullah, apakah Allah masih mau menerima taubat saya dari dosa-dosa saya yang telah memisahkan antara Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali ?”
Ja’far menjawab: "Tentu, pintu taubat selalu terbuka, maka perbanyaklah istighfar untuk mereka. Adapun jika sekiranya kamu mati dalam keadaan menyalahi mereka, maka kamu pasti mati di atas dasar selain fitrah Islam dan amal-amal kamu seperti amalan-amalan orang kafir – akan sirna tak tersisa.
(Rawi menerangkan): Akhirnya orang tadi bertaubat meninggalkan ucapan buruknya dengan taubat nashuha.
Sekian dialog antara Ja’far al-Shaddiq -radhiyallaahu ‘anhu dengan seorang Syi‘ah. Jelas terdapat perbedaan keyakinan antara dirinya dengan Imam Ja’far al-Shiddiq yang merupakan salah seorang imam Ahl al-Bait Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Semoga dialog ini dapat memberi keinsafan kepada para pengikut Syi‘ah masa kini. Barangsiapa yang membacanya dengan fikiran yang terbuka akan dengan mudah mengetahui ketepatan Ja’far al-Shiddiq radhiallahu ‘anh dalam mengemukakan ayat dan hadits sebagai dalil dan kecerdasan beliau dalam menghujahkannya sebagaimana di atas sehingga tidak mungkin dapat diragui atau ditolak lagi.
Semoga bermanfaat.
Yang dimaksudkan dengan Ahl al-Bait Rasulullah.
Perkataan Ahl digunakan bagi seorang lelaki untuk merujuk kepada kabilahnya (عشيرته), orang-orangnya (ذو) dan kaum kerabatnya . Contoh penggunaannya boleh dirujuk di dalam al-Qur’an:
Setelah Musa menyempurnakan tempoh kerjanya itu dan berjalan dengan isterinya (Ahl), ia melihat (dalam perjalanannya itu) api dari sebelah Gunung Tursina. (Ketika itu) berkatalah ia kepada isterinya (Ahl): “Berhentilah; sesungguhnya aku ada melihat api, semoga aku dapat membawa kepada kamu sesuatu berita dari situ, atau sepuntung dari api itu, supaya kamu dapat memanaskan diri.” [al-Qasas 28:29]
Perkataan Ahl al-Bait merujuk kepada keluarga bagi seseorang lelaki. Contohnya ialah ayat berikut berkenaan isteri Nabi Ibrahim ‘alaihi salam:
Isteri (Nabi Ibrahim) berkata: Sungguh ajaib keadaanku! Adakah aku akan melahirkan anak padahal aku sudah tua dan suamiku ini juga sudah tua? Sesungguhnya kejadian ini suatu perkara yang mengherankan.
Malaikat-malaikat itu berkata: Patutkah engkau merasa hairan tentang perkara yang telah ditetapkan oleh Allah? Memanglah rahmat Allah dan berkat-Nya melimpah-limpah kepada kamu, wahai Ahl al-Bait. Sesungguhnya Allah Maha terpuji, lagi Maha Melimpah kebaikan dan kemurahan-Nya. [Hud 11:73]
Di sisi Ahl al-Sunnah, istilah Ahl al-Bait merujuk kepada keluarga Rasulullah yang terjalin berdasarkan ikatan penikahan (para isterinya) dan ikatan nasab (anak-anaknya termasuk ‘Ali).
Di sisi Syi‘ah, Ahl al-Bait hanyalah merujuk kepada keluarga ikatan nasab Rasulullah yang terdiri daripada ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain diikuti dengan keturunan mereka. Ini berdasarkan tafsiran mereka terhadap ayat 33 surah al-Ahzab yang akan kita bahas nanti, insya-Allah.
Oleh sebab itu, Syi‘ah sering kali mengistilahkan diri mereka sebagai Mazhab Ahl al-Bait. Ahl al-Sunnah tidak menerima pengistilahan ini karena para pengikut Ahl al-Bait yang sebenarnya terdiri dari mereka yang mengakui kekhalifahan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman serta mengutamakan mereka melebihi orang-orang lain, termasuk ‘Ali sendiri.
Ini merupakan keyakinan para Ahl al-Bait Rasulullah: ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain diikuti dengan para imam keturunan mereka. Antara bukti terkuat bagi perbedaan ini ialah dialog berikut antara Ja’far al-Shiddiq radhiallahu ‘anh dengan salah seorang Syi‘ah.
Dialog Ja’far al-Shiddiq dengan seorang Syi‘ah.
Seorang rawi menuturkan bahwa ada seorang Syi‘ah mendatangi Ja’far bin Muhammad al-Shiddiq -karramallah wajhah- lalu segera mengucap salam: “Assalamu‘alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuhu.” Ja’far terus menjawab salam tersebut.
(Dialog pertama):
Syi‘ah tadi bertanya: Wahai putra Rasulullah, siapakah manusia terbaik setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
Ja’far al-Shiddiq menjawab: Abu Bakar (radhiallahu ‘anh).
Syi‘ah bertanya: Mana hujahnya dalam hal itu?
Ja’far menjawab: Firman Allah -ta‘ala-: 'Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Qur'an menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana .
[al-Taubah 9:40]
Ja’far melanjutkan: Coba fikirkan, apakah ada orang yang lebih baik dari dua orang yang nomer ketiganya adalah Allah? Tidak ada seorang pun yang lebih afdhal daripada Abu Bakar selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maka Syi‘ah berkata: "Sesungguhnya ‘Ali bin Abu Thalib ‘alaihi salam telah tidur di tikar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (demi menggantikannya dalam peristiwa hijrah) tanpa mengeluh (jaza’, artinya tabah) dan tidak takut (faza’, artinya ia tegar).
Maka Ja’far menjawab: "Dan begitu pula Abu Bakar, dia bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa jaza’ dan faza’.
Syi‘ah menyanggah: "Sesungguhnya Allah -ta‘ala- telah menyatakan berbeda dengan apa yang anda katakan!
Ja’far bertanya: "Apa yang difirmankan oleh Allah?"
Syi‘ah menjawab: "…di waktu dia berkata kepada temannya: 'Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.' Bukankah ketakutan tadi adalah jaza’ ?
Ja’far menjelaskan: "Tidak, karena huzn (sedih) itu bukan jaza’ dan faza’. Sedihnya Abu Bakar adalah khawatir jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibunuh dan agama Allah tidak lagi ditaati. Jadi kesedihannya adalah terhadap agama Allah dan terhadap Rasul Allah, bukan sedih terhadap dirinya. Bagaimana (dapat dikatakan dia sedih untuk dirinya sendiri padahal) dia disengat lebih dari seratus sengatan dan tidak pernah mengatakan “His” juga (tidak pernah) mengatakan “Uh” (tidak mengerang kesakitan) ???
(Dialog kedua):
Syi‘ah berkata: Sesungguhnya Allah Ta‘ala berfirman: "Sesungguhnya Penolong kamu hanyalah Allah, dan Rasul-Nya, serta orang-orang yang beriman, yang mendirikan sembahyang, dan menunaikan zakat sedang mereka rukuk. [al-Maidah 5:55]
Ayat ini turun berkenaan ‘Ali bin Abu Thalib ketika mensedekahkan cincinnya ketika dia sedang rukuk, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikannya (ayat di atas) di dalam diriku dan Ahl al-Baitku.”
Ja’far menjelaskan: Ayat yang sebelumnya lebih agung daripadanya. Allah berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa diantara kamu berpaling dari agamanya (jadi murtad), maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mengasihi mereka dan mereka juga mengakasihi-Nya. [al-Maidah : 54]
Ternyata perbuatan riddah (murtad, keluar dari Islam) terjadi besar-besaran sepeninggalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang kafir itu tertumpu di Nahawand, mereka berkata: “Orang yang selama ini mereka bela (Rasulullah) kini telah wafat (maka tidak perlu lagi membayar zakat).” Hingga ‘Umar radhiallahu ‘anh berkata (kepada Abu Bakar yang bertekad memerangi mereka): “Terimalah sholat dari mereka dan biarkan (maafkan) zakat bagi mereka.”
Maka dia (Abu Bakar) berkata: “Demi Allah seandainya mereka menghalangiku (tidak mau menyerahkan sekalipun) seutas tali (pengikat hewan, yakni untuk zakat hewan ternak) yang dulu mereka membayarkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, pasti aku memerangi mereka biarpun seorang diri.” Maka ayat ini (al-Maidah : 54) lebih utama untuk Abu Bakar radhiallahu ‘anhu.
(Dialog ketiga):
Syi‘ah tersebut melanjutkan hujahnya: "Sesungguhnya Allah -ta‘ala- telah berfirman: 'Orang-orang yang menginfakkan hartanya pada waktu malam dan siang, dengan cara sulit atau terbuka.' [al-Baqarah 2:274] Ayat ini turun berkenaan ‘Ali - ‘alaihi salam-. Dia memiliki empat dinar, satu dinar dia nafkahkan pada malam hari, satu dinar dia nafkahkan pada siang hari, satu dinar secara sembunyi-sembunyi dan satu dinar secara terang-terangan. Maka turunlah ayat ini.
Maka Ja’far -‘alaihi salam- menjelaskan: Abu Bakar memiliki yang lebih utama lagi di dalam Al-Quran. Allah berfirman: "Demi malam apabila ia menyelubungi segala-galanya." [al-Lail : 1] Ini adalah sumpah Allah.
"Dan siang apabila ia lahir terang-benderang; Demi Yang menciptakan (makhluk-makhluk-Nya) lelaki dan perempuan; Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,
dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga). [al-Lail : 2-6] Ini ialah Abu Bakar.
"maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah." [al-Lail : 7 ] Ini adalah (bagi) Abu Bakar.
"Dan akan dijauhkan (adzab neraka) itu daripada orang yang sungguh bertaqwa. [al-Lail :17]. Ini ialah Abu Bakar.
Yang mendermakan hartanya dengan tujuan membersihkan dirinya dan harta bendanya. [al-Lail :18]. Ini ialah Abu Bakar.
Sedang ia tidak menanggung budi sesiapapun, yang patut di balas. [al-Lail :19] Ini ialah Abu Bakar.
Dia telah menafkahkan untuk (dakwah Rasulullah) sebanyak 40 ribu dinar sehingga baginda bersuka-cita. Kemudian turunlah Jibril -‘alaihi salam- memberi kabar bahwa: “Allah yang Maha Tinggi dan luhur memberikan salam untukmu (wahai Rasulullah) dan Dia berkata ucapkan juga kepada Abu Bakar salam dari-Ku dan katakan kepadanya: 'Apakah engkau ridha kepada Allah dalam kefakiranmu ini ataukah engkau tidak suka ?'
Maka Abu Bakar menjawab, “Apa mungkin aku marah (tidak suka) kepada Rabb-ku ‘Azza wa Jalla ? Aku ridha kepada Rabb-ku, aku ridha kepada Rabb-ku, aku ridha kepada Rabb-ku.”
Dan Allah berjanji untuk meridhainya.
(Dialog keempat):
Syi‘ah berhujah lagi: Sesungguhnya Allah berfirman: Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang dhalim."[al-Taubah :19] Ayat ini turun berkenaan ‘Ali -‘alaihi salam-.
Ja’far -‘alaihi salam- menjawab: "Abu Bakar memiliki sesuatu yang lebih afdal di dalam Al-Qur’an." Allah berfirman: "Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." [al-Hadid :10]
Abu Bakar adalah orang yang pertama kali menafkahkan hartanya untuk Rasulullah, orang yang pertama berperang dan yang pertama berjihad (yakni ketika) orang-orang musyrik datang memukul Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- sampai berdarah. Setelah Abu Bakar mendengar berita itu dia terus berlari mendatangi mereka lalu berkata: “Celaka kalian! Apakah kalian akan membunuh orang yang mengatakan Rabb-ku adalah Allah padahal dia telah membawa bukti-bukti yang jelas dari Tuhan kalian ?”
Maka mereka meninggalkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berbalik memukul Abu Bakar, sehingga tidak jelas antara hidung dan wajahnya.
Dia (Abu Bakar) adalah orang yang pertama berjihad di jalan Allah dan orang pertama yang berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta orang pertama yang menafkahkan hartanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Tidak ada harta yang bermanfaat untukku seperti manfaatnya harta Abu Bakar.”
(Dialog kelima):
Syi‘ah terus berhujah: "Sesungguhnya ‘Ali tidak pernah menyekutukan Allah walau sekelip mata."
Maka Ja’far berhujah kembali: "Sesungguhnya Allah telah memuji Abu Bakar dengan pujian yang mencukupi dari segala sudut. Allah berfirman: "DDan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa." [al-Zumar:33]
Dan yang membawa kebenaran…ialah Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, serta yang mengakui kebenarannya…ialah Abu Bakar ash-shiddiq -radhiyallaahu ta'ala 'anhu-. Semua orang berkata kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- (setelah peristiwa Isra’ dan Mi'raj): “Engkau dusta” sedangkan Abu Bakar, hanya dia yang berkata: “Engkau benar.” Maka turunlah ayat ini berkenaan dengannya: Ayat tashdiq (pembenaran) secara khusus.
Maka Abu Bakar adalah orang yang taqwa (taqiy), bersih (naqiy), yang diridhai (mardhi), yang ridha (radhiy), yang adil (‘adl), penegak keadilan (mu‘addil) dan yang menepati perjanjian (wafiy).
(Dialog keenam):
Syi‘ah kemudian berkata: Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan." Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri." [asy-Syuura : 23]
Ja’far menjawab: "Bahwa Abu Bakar juga memiliki yang seumpama. Allah berfirman: "Dan orang-orang yang datang kemudian daripada mereka (berdo'a dengan) berkata: “Wahai Tuhan Kami ! Ampunkanlah dosa kami dan dosa saudara-saudara kami yang mendahului kami dalam iman, dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami perasaan hasad dengki dan dendam terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Tuhan kami ! Sesungguhnya Engkau Amat Melimpah Belas kasihan dan Rahmat-Mu.” [al-Hasyr :10]
Abu Bakar terlebih dahulu membawa iman, maka meminta ampun untuknya adalah wajib dan mencintainya adalah fardhu serta membencinya adalah kufur.
(Dialog ketujuh):
Syi‘ah berkata: "Sesungguhnya Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Hasan dan Husain keduanya adalah sayyid (pemuka) pemuda ahli syurga dan ayah mereka berdua lebih baik daripada keduanya.”
Ja’far berkata kepadanya: "Bagi Abu Bakar di sisi Allah ada keutamaan yang melebihi itu. Aku diberitahu oleh ayahku, dari kakekku, dari ‘Ali bin Abu Thalib -‘alaihi salam-, dia berkata: "Saya ada di samping Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, tidak ada orang lain selain aku. Tiba-tiba muncullah Abu Bakar dan ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma-, maka Nabi bersabda: “Hai ‘Ali! Kedua orang ini adalah sayyid (pemuka) penduduk ahli syurga, yang tua maupun yang muda, yang telah lewat dan yang terdahulu dari generasi awal maupun yang tersisa dan yang tinggal dari generasi yang belakangan kecuali para Nabi. Jangan engkau beritahukan kepada keduanya wahai ‘Ali.”
Maka aku (‘Ali) tidak memberitahukannya kepada siapa pun hingga keduanya tiada.
(Dialog kedelapan):
Syi‘ah bertanya: Manakah yang lebih utama, Fathimah putri Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam atau ‘A’isyah binti Abu Bakar?
Ja’far menjawab: (dengan membaca ayat): "Dengan nama Allah yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Yaasiin; Demi Al Quraan yang penuh hikmah, [Yasin : 1-2]
"Haa-Miim; Demi Kitab Al-Quran yang menyatakan kebenaran. [al-Zukhruf : 1-2]
Syi‘ah kemudian berkata: "Aku bertanya kepadamu manakah yang lebih baik, Fathimah putri Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ataukah ‘Aisyah putri Abu Bakar, kenapakah kamu membaca Al-Qur'an?"
Ja’far menjawab: ‘Aisyah putri Abu Bakar adalah isteri Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dia akan bersamanya di Surga. Sedangkan Fathimah putri Rasulullah adalah sayyidah (pemuka) wanita ahli syurga. Yang mencela isteri Rasulullah mudah-mudahan dilaknat oleh Allah -ta‘ala- dan yang membenci putri Rasulullah mudah-mudahan dihina oleh Allah Ta‘ala.
Syi‘ah (tidak berpuas hati lalu) berkata: ‘A’isyah telah memerangi ‘Ali dan dia adalah isteri Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- !
Ja’far menjawab tegas: "(Itu adalah) benar, (tetapi) celakalah kamu! (Bukankah) Allah -ta’ala- telah berfirman: "Dan kamu tidak boleh sama sekali menyakiti (hati) Rasul Allah. [al-Ahzab : 53]
(Dialog ke sembilan):
Kemudian Syi‘ah bertanya: "Apakah kekhalifahan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman ada di dalam Al-Qur’an ?”
Ja’far menjawab: Ada, bahkan juga di dalam Taurat dan Injil. Allah berfirman: "Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. [al-An‘am :165]
"Atau siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?" [al-Naml : 62]
Allah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal soleh dari kalangan kamu (wahai umat Muhammad) bahwa Dia akan menjadikan mereka khalifah-khalifah yang memegang kuasa pemerintahan di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka: khalifah-khalifah yang berkuasa; dan Dia akan menguatkan dan mengembangkan agama mereka (Islam) yang telah diridhai-Nya untuk mereka. [al-Nur : 55]
Syi‘ah meminta penjelasan: "Wahai putra Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, lalu di manakah kekhalifahan mereka di (sebut) dalam Taurat dan Injil?
Ja’far menjawab (dengan membaca firman Allah): "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud . Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil." [al-Fath :29]
Dan orang-orang yang bersama dengannya… adalah Abu Bakar.
Bersikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir… ialah ‘Umar bin al-Khaththab.
Dan (sebaliknya) bersikap kasih sayang serta belas kasihan kasihan sesama sendiri (umat Islam)… ialah ‘Utsman bin ‘Affan.
Engkau melihat mereka tetap beribadah rukuk dan sujud dengan mengharapkan limpah kurnia dari Tuhan mereka serta mengharapkan keridha'an-Nya… ialah ‘Ali bin Abi Thalib.
Tanda yang menunjukkan mereka terdapat muka mereka - dari kesan sujud… adalah para sahabat Rasulullah.
Demikianlah sifat mereka yang tersebut di dalam Kitab Taurat; dan sifat mereka di dalam Kitab Injil.
Syi‘ah bertanya lagi: "Apakah yang dimaksud dalam Taurat dan lnjil tersebut?"
Ja’far menjawab: "Muhammad Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para khulafa' sesudahnya: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali."
Kemudian Ja’far menepuk dada Syi‘ah itu dan berkata: Allah Ta‘ala berfirman:(dengan membaca sambungan ayat 29 surah al-Fath):
"yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya."
(Allah menjadikan sahabat-sahabat Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan pengikut-pengikutnya kembang biak serta kuat gagah sedemikian itu) karena Dia hendak menjadikan orang-orang kafir merana dengan perasaan marah dan hasad dengki - dengan berkembangbiaknya umat Islam itu. (Dan selain itu) Allah telah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal shalih dari mereka, keampunan dan pahala yang besar. [al-Fath 48:29]
Seperti pokok tanaman yang mengeluarkan anak dan tunasnya, lalu anak dan tunasnya itu menyuburkannya… ialah Abu Bakar.
Sehingga ia menjadi kuat… ialah ‘Umar.
Lalu ia tegap berdiri di atas (pangkal) batangnya… ialah ‘Utsman bin ‘Affan.
Dengan keadaan yang mengagumkan orang-orang yang menanamnya kerana Ia hendak menjadikan orang-orang kafir merana dengan perasaan marah dan hasad dengki - dengan kembang biaknya umat Islam itu… ialah ‘Ali bin Abi Thalib.
Allah telah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal salih dari mereka, keampunan dan pahala yang besar… ialah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah meredhai mereka, sungguh celakalah kamu !
Aku diberitahu oleh ayahku, dari kakekku, dari ‘Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Aku adalah orang yang pertama bangkit dari bumi dan tidak ada kesombongan. Allah memberi kemudahan kepadaku dari hal-hal yang belum pernah diberikan kepada seorang Nabi pun sebelumku. Kemudian Dia memanggil: “Dekatkan para khulafa' sesudahmu.”
Maka aku berkata, “Ya Rabb ! Siapakah khulafa’ itu ?” Maka Dia berkata: “ 'Abdullah bin ‘Utsman Abu Bakar al-Shiddiq.” Maka orang yang pertama keluar dari tanah setelahku ialah Abu Bakar. Dia kemudian didirikan di hadapan Allah -ta‘ala- untuk dihisab dengan hisab yang ringan sekali (hisaban yasiran) kemudian dia diberi pakaian sutera berwama hijau, lalu didirikan di depan al-‘Arasy.
Kemudian ada panggilan: “Mana ‘Umar bin al-Khaththab ?” Datanglah ‘Umar dengan urat-urat leher yang masih mengalirkan darah. Dia bertanya: “Siapa yang telah berbuat seperti ini kepadamu?” ‘Umar menjawab: “Budak Mughirah bin Syu’bah.” Dia kemudian didirikan di hadapan Allah lalu dihisab dengan hisab yang sangat ringan dan diberi pakaian sutera berwarna hijau lalu didirikan di depan al-‘Arasy.
Kemudian didatangkan ‘Utsman bin 'Affan dengan urat-urat leher yang mengalirkan darah. Dia ditanya: “Siapa yang telah berbuat ini kepadamu ?” Maka dia menjawab: “Fulan dan fulan.” Dia didirikan di hadapan Allah lalu dihisab dengan hisab yang ringan kemudian diberi pakaian sutera berwarna hijau lalu didirikan di depan al-‘Arasy.
Kemudian dipanggil ‘Ali bin Abu Thalib. Dia datang dengan urat-urat leher yang mengalirkan darah. Dia ditanya: “Siapa yang berbuat ini kepadamu ?” Maka ‘Ali menjawab: ‘Abdurrahman bin Muljam.” Dia didirikan di hadapan Allah -ta‘ala- dan dihisab dengan hisab yang ringan kemudian diberi pakaian sutera berwarna hijau dan didirikan di depan al-‘Arasy.
Syi‘ah tadi bertanya sekali lagi: "Apakah semua ini ada di dalam al-Qur'an wahai putra Rasulullah?" Ja’far menjawab: "Ya ! Allah berfirman: ' dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan. [al-Zumar : 69]
Dan akan dibawa Nabi-nabi serta para saksi… ialah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali (di mana) … akan dihakimi di antara mereka dengan adil sedang mereka tidak dikurangkan balasannya sedikitpun.
(Dialog terakhir):
Akhirnya Syi‘ah tadi bertanya: "Wahai putra Rasulullah, apakah Allah masih mau menerima taubat saya dari dosa-dosa saya yang telah memisahkan antara Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali ?”
Ja’far menjawab: "Tentu, pintu taubat selalu terbuka, maka perbanyaklah istighfar untuk mereka. Adapun jika sekiranya kamu mati dalam keadaan menyalahi mereka, maka kamu pasti mati di atas dasar selain fitrah Islam dan amal-amal kamu seperti amalan-amalan orang kafir – akan sirna tak tersisa.
(Rawi menerangkan): Akhirnya orang tadi bertaubat meninggalkan ucapan buruknya dengan taubat nashuha.
Sekian dialog antara Ja’far al-Shaddiq -radhiyallaahu ‘anhu dengan seorang Syi‘ah. Jelas terdapat perbedaan keyakinan antara dirinya dengan Imam Ja’far al-Shiddiq yang merupakan salah seorang imam Ahl al-Bait Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Semoga dialog ini dapat memberi keinsafan kepada para pengikut Syi‘ah masa kini. Barangsiapa yang membacanya dengan fikiran yang terbuka akan dengan mudah mengetahui ketepatan Ja’far al-Shiddiq radhiallahu ‘anh dalam mengemukakan ayat dan hadits sebagai dalil dan kecerdasan beliau dalam menghujahkannya sebagaimana di atas sehingga tidak mungkin dapat diragui atau ditolak lagi.
Semoga bermanfaat.
Re:Hadis masalah Najd (tanduk setan) sebuah jawaban untuk munzdir al musawa
Re:Hadis masalah Najd (tanduk setan) - 2007/07/23 02:53 Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Najd adalah iraq sekarang dimana terjadi pembunuhan terhadap cucu kesayangan Rasulullah saw di Karbala. Inilah fitnah yang dimaksud dan orang iraq ketika masa sahabat radhiyallahu 'anhum masih hidup pernah mempertanyakan tentang hukum terbunuhnya seekor lalat yang sepele namun tidak mempertanyakan hukum atas kebiadaban terhadap cucu Rasulullah saw tersebut. Sampai saat ini pun fitnah itu masih terus ada dengan kondisi iraq yang memprihatinkan, pertumpahan darah dan perebutan kekuasaan. Jauh sekali dengan pendapat sebagian orang yang mengatakan najed adalah saudi arabia. Bahkan sebaliknya di negeri ini kehidupan islam sangat terjamin, sumber daya alam melimpah ruah, penduduk negeri jauh dari rasa takut. Kebrkahan turun dari langit sesuai firman Allah dalam surat Al-A'raaf 96.
Maksud “Najd” Di Sisi Al-Bukhari.
Al-Bukhari rahimahullah meletakkan hadith ini dalam bab berjudul: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Fitnah itu (datang) dari sebelah timur”. Kemudian, beliau meriwayatkan beberapa hadith, termasuklah doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan matan (lafaz):
اللهم بارك لنا في شامنا اللهم بارك لنا في يمننا، قالوا: يا رسول الله! وفي نجدنا، قال: اللهم بارك لنا في شامنا اللهم بارك لنا في يمننا، قالوا: يا رسول الله! وفي نجدنا، فأظنه قال في الثالثة: هناك الزلازل والفتن وبها يطلع قرن الشيطان.
Maksudnya: “Ya Allah Ya Tuhanku! Berkatilah negeri Syam kami, Ya Allah Ya Tuhanku! berkatilah negeri Yaman kami”. Mereka (para Sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah! (Doakanlah) juga untuk negeri Najd kami”. Baginda (terus) berdoa: “Ya Allah Ya Tuhanku! Berkatilah negeri Syam kami, Ya Allah Ya Tuhanku! Berkatilah negeri Yaman kami”. Mereka (para Sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah! (Doakanlah) juga untuk negeri Najd kami”.
Aku (perawi hadith) agak pada (permintaan) yang ketiga Baginda bersabda: “Padanya (Najd) (berlaku) gempa bumi, fitnah dan tempat terbit tanduk syaitan”[1] [1]
Berdasarkan judul bab ini, ternyata Al-Bukhari tidak menentukan secara pasti apa yang dimaksudkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan negeri Najd kerana ungkapan beliau ‘dari sebelah timur’ adalah terlalu umum. Kemungkinan ia bermula dari kawasan luar Madinah sampailah ke Iraq, Iran dan seterusnya. Ini bermakna, Al-Bukhari tidak memahami maksud perkataan Najd itu sebagai satu kawasan yang khusus di Semenanjung Tanah Arab.
Maksud “Najd” Berdasarkan Bandingan Dengan Riwayat-Riwayat Lain.
Selain daripada riwayat Al-Bukhari di atas, hadith ini juga telah diriwayatkan dalam beberapa kitab sumber hadith yang lain dengan matan seperti berikut:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: اللهم بارك لنا في مدينتنا وبارك لنا في مكتنا وبارك لنا في شامنا وبارك لنا في يمننا وبارك لنا في صاعنا ومدنا، فقال رجل: يا رسول الله! وفي عراقنا، فأعرض عنه فقال: فيها الزلازل والفتن وبها يطلع قرن الشيطان.
Maksudnya: Bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa: “Ya Allah Ya Tuhanku! Berkatilah negeri Madinah kami, berkatilah negeri Makkah kami, berkatilah negeri Syam kami, berkatilah negeri Yaman kami dan berkatilah (sukatan) gantang dan cupak kami”.
Tiba-tiba seorang lelaki mencelah: “Wahai Rasulullah! (Doakanlah) juga untuk negeri Iraq kami. Lalu Baginda berpaling darinya seraya bersabda: “Padanya (berlaku) gempa bumi, fitnah dan tempat terbit tanduk syaitan”[2] [2].
Matan (lafaz) riwayat ini dilihat berbeza dengan matan riwayat Al-Bukhari kerana di dalamnya ada penambahan doa untuk keberkatan negeri Madinah dan Makkah, manakala perkataan Najd yang ada dalam matan riwayat Al-Bukhari pula diganti dengan perkataan Iraq.
Meskipun ada perbezaan matan antara kedua riwayat tersebut, tetapi pada hakikatnya ia adalah riwayat yang sama, kerana sanad (rantaian perawi) kedua-dua riwayat itu bertemu pada seorang Sahabat yang sama iaitu ‘Abd Allah Ibn ‘Umar radhiallahu ‘anhuma. Matan riwayat Al-Bukhari diriwayatkan melalui jalan sanad Nafi’ daripada Ibn ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, manakala matan riwayat Abu Nu’aim dan Ibn ‘Asakir itu pula diriwayatkan melalui jalan sanad Salim daripada Ibn ‘Umar radhiallahu ‘anhuma.
Mengikut kaedah ilmu hadith, kedua-dua riwayat Nafi’ dan Salim itu saling menyokong antara satu sama lain secara mutabaah (sokongan dalam konteks riwayat yang datang daripada Sahabat yang sama). Justeru oleh kerana kedua-dua riwayat itu pada hakikatnya adalah riwayat yang sama, maka kedua-dua matannya perlu dilihat sebagai penjelas maksud antara satu sama lain.
Dengan perkataan lain, matan riwayat Al-Bukhari menjadi penjelas kepada maksud matan riwayat Abu Nu’aim dan Ibn ‘Asakir, sebagaimana matan riwayat Abu Nu’aim dan Ibn ‘Asakir juga menjadi penjelas maksud matan riwayat Al-Bukhari.
Ini bermakna, perkataan Najd yang ada dalam matan riwayat Al-Bukhari menjadi tafsiran bagi maksud perkataan Iraq yang ada dalam matan riwayat Abu Nu’aim dan Ibn ‘Asakir, sebagaimana perkataan Iraq juga menjadi tafsiran bagi maksud perkataan Najd. Berdasarkan hakikat ini, maka jelaslah bahawa perkataan Najd yang dimaksudkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam doanya itu ialah negeri Iraq dan bukan daerah khusus yang terdapat di negara Arab Saudi yang dikenali sebagai Najd.
Maksud ini diperkuatkan lagi dengan matan riwayat Muslim, dimana Salim Ibn ‘Abd Allah Ibn ‘Umar radhiallahu 'anhuma pernah berkata:
يا أهل العراق! ما أسألكم عن الصغيرة وأركبكم للكبيرة! سمعت أبي، عبدالله بن عمر يقول:
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: إن الفتنة تجئ من ههنا وأومأ بيده نحو المشرق من حيث يطلع قرنا الشيطان...
Maksudnya: “Wahai penduduk Iraq! Alangkah banyaknya persoalan kamu tentang perkara kecil dan alangkah banyaknya pula dosa besar yang telah kamu lakukan, aku mendengar ayahku (yakni) ‘Abd Allah Ibn ‘Umar berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya fitnah itu datang dari sebelah sini, lalu Baginda mengisyaratkan tangannya ke sebelah Timur, (arah) di mana terbitnya dua tanduk Syaitan…”[3] [3].
Riwayat muslim ini jelas menunjukkan bahawa kata-kata Nabi SAW itu ditujukan kepada penduduk Iraq dan isyarat tangan Baginda itu juga ditujukan kepada negeri Iraq. Maka, berdasarkan keseluruhan riwayat-riwayat ini, dapatlah disimpulkan bahawa perkataan Najd yang terdapat dalam riwayat Al-Bukhari itu merangkumi seluruh negeri cIraq secara umum dan bukan menjurus kepada suatu tempat yang khusus di Negara Arab Saudi.
Maksud “Najd” Berdasarkan Huraian Para Ulama.
Selain pendekatan memahami hadith melalui perbandingan dengan riwayat-riwayat lain, maksud perkataan Najd juga dapat diperolehi daripada huraian para ulama terhadapnya. Dalam konteks ini, Al-Hafiz Ibn Hajar Al-’Asqalani rahimahullah memetik kata-kata Al-Khattabi rahimahullah (388H):
نجد من جهة المشرق، ومن كان بالمدينة كان نجده بادية العراق ونواحيها وهي مشرق أهل المدينة، وأصل نجد ما ارتفع من الأرض وهو خلاف الغور فإنه ما انخفض منها، وتهامة كلها من الغور ومكة من تهامة.
Maksudnya: “Najd itu di sebelah timur, sesiapa yang berada di Madinah maka najdnya ialah pendalaman negeri Iraq dan persekitarannya yang menjadi arah timur (bagi) penduduk Madinah. Ini kerana asal (perkataan) najd (dari segi bahasa) ialah kawasan tanah tinggi yang menjadi lawan kepada ghaur yang bermaksud kawasan tanah rendah (lembah), sedangkan Tihamah keseluruhannya adalah lembah dan Makkah pula termasuk sebahagian dari Tihamah”[4] [4].
Kemudian, Al-Hafiz Ibn Hajar mengomentari kata-kata Al-Khattabi dengan katanya:
وعرف بهذا وهاء ما قاله الداودي إن نجدا من ناحية العراق فإنه توهم أن نجدا موضع مخصوص وليس كذلك بل كل شيء ارتفع بالنسبة إلى ما يليه يسمى المرتفع نجدا والمنخفض غورا.
Maksudnya: “Dan dengan ini dapat diketahui kelemahan pendapat Ad-Dawudi yang waham (menyangka) bahawa najd itu suatu tempat khusus di sebelah Iraq, sedangkan ia bukan sedemikian, bahkan setiap (tempat) yang tinggi berbanding sekelilingnya, (maka) dinamakan yang tinggi itu najd manakala yang rendah pula ghaur”[5] [5].
Maksud “Najd” Dari Sudut Bahasa.
Sumber rujukan bahasa yang utama seperti Lisan Al-’Arab[6] [6], Mu’jam Maqayis Al-Lughah[7] [7] dan Al-Qamus Al-Muhit[8] [8] telah mengesahkan bahawa makna asal perkataan najd ialah kawasan tanah tinggi, sama seperti yang telah dinyatakan oleh Al-Khattabi dan Al-Hafiz Ibn Hajar. Justeru gelaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada negeri Iraq dengan nama najd mesti dilihat sebagai penjelasan bagi bentuk muka bumi negeri berkenaan yang berada di kawasan tanah tinggi dan bukannya panggilan bagi suatu tempat yang khusus.
Maksud “Najd” Berdasarkan Fakta Sejarah.
Dalam hadith berkenaan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menggambarkan negeri Najd sebagai tempat yang banyak berlaku gempa bumi dan fitnah. Realiti sejarah telah membuktikan bahawa tempat yang banyak berlaku gempa bumi ialah kawasan sekitar negeri Iraq dan Iran.
Begitu juga dengan fitnah yang berlaku di kalangan umat Islam, bermula dari zaman Sahabat sehinga ke hari ini, kebanyakannya berpunca di Iraq. Gerakan bughah (penentang khalifah), Khawarij dan Syiah pada zaman Khalifah ‘Uthman dan ‘Ali radhiallahu ‘anhuma yang menjadi punca tercetusnya fitnah perselisihaan di kalangan umat Islam bermula di Kufah. Begitu juga Perang Jamal, Siffin, Nahrawan, fitnah pembunuhan Husain cucunda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, fitnah Mukhtar Ath-Thaqafi yang mendakwa kenabian dan serangan tentera Tartar pada zaman kerajaan Bani Abbasiyyah, semuanya berlaku di Iraq.
Dalam konteks sejarah perkembangan hadith, Kufah terkenal sebagai pusat penyebaran hadith palsu sehingga para perawi yang pergi dan datang dari sana di ‘kuarantinkan’ riwayat mereka oleh para ulama sebagai langkah berwaspada.
Manakala dalam konteks sejarah moden pula, dapat disaksikan bagaimana dahsyatnya peperangan antara Iraq dan Iran, diikuti oleh krisis perang Teluk pada tahun 1992 dan seterusnya penaklukan oleh Amerika yang berterusan hingga ke hari ini. Ini berlanjutan dengan peristiwa pembunuhan dan pengeboman di Iraq yang berlaku saban hari dan ketika, manakala kesan dari segala fitnah itu pula dirasai dan diratapi oleh umat Islam di seluruh dunia.
Semua fenomena yang berlaku di Iraq sejak dari dahulu sampai sekarang adalah suatu fitnah yang benar-benar menepati apa yang digambarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya itu. Bahkan banyak riwayat hadith sahih yang menunjukkan bahawa kemunculan Dajjal di akhir zaman juga berlaku di sebelah Iraq, iaitu di kawasan Asbahan dan Khurasan yang sekarang ini termasuk dalam sempadan negara Iran.
Maksud “Najd” Dari Sudut Geografi.
Dari sudut geografi pula, kawasan Najd yang meliputi daerah Hijaz dan Al-Yamamah (tempat lahir Muhammad Ibn ‘Abd Al-Wahhab) secara tepatnya terletak di sebelah Timur Makkah, dan bukannya di sebelah Timur Madinah. Justeru oleh kerana Baginda Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengisyaratkan bahawa fitnah itu datang dari sebelah Timur Madinah, maka ia sudah tentu bermaksud negeri Iraq kerana ia sememangnya terletak pada arah yang berkenaan. Dengan mengambil kira tafsiran daripada keseluruhan riwayat hadith, penjelasan para ulama, asal usul bahasa, geografi dan realiti sejarah, maka sahlah bahawa perkataan Najd yang dimaksudkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadith itu ialah negeri Iraq dan kawasan persekitarannya yang turut merangkumi negeri Iran pada masa kini.
Maksud “Najd” Dari Sudut Umum Atau Khusus.
Meskipun hadith itu menunjukkan kedudukan negara Iraq (dan sekarang termasuk Iran) sebagai tempat yang banyak menimbulkan fitnah bagi umat Islam, namun yang demikian itu langsung tidak menggambarkan kejahatan tempat tersebut secara umum. Ini kerana penentuan sesuatu tempat sebagai punca fitnah bukan bererti kecaman pada tempat tersebut secara mutlak, tetapi ia bermaksud kecaman pada suasana yang berlaku di tempat itu pada suatu masa yang tertentu[9] [9].
Sesuatu tempat yang dianggap sebagai tidak baik tidak semestinya menggambarkan kejahatan seluruh penduduknya sepanjang masa, sebagaimana sesuatu tempat yang dianggap sebagai baik juga tidak semestinya menggambarkan kebaikan seluruh penduduknya sepanjang masa.
Justeru di samping fitnah yang banyak berlaku, negeri Iraq juga melahirkan ramai tokoh ulama Islam yang terbilang, bahkan Kota Baghdad pernah menjadi pusat pemerintahan dan perkembangan ilmu yang terbesar dalam sejarah tamadun manusia.
Demikian juga di samping kebaikan yang ada pada negeri Yaman, Syam, Makkah dan Madinah, fitnah masih tetap berlaku di negeri-negeri berkenaan pada masa-masa yang tertentu. Sebagai contoh, dari negeri Yaman puak Yahudi datang ke Madinah, dari negeri Yaman juga tentera bergajah Abrahah datang menyerang Makkah dan di negeri Yaman juga muncul Al-Aswad Al-’Anasi sebagai nabi palsu. Di negeri Syam pula muncul Luqait Al-Azdi sebagai nabi palsu dan di situlah tempatnya medan pertumpahan darah antara umat Islam, Yahudi dan Kristian kerana perebutan tempat suci. Negeri Makkah dan Madinah juga menyaksikan pertumpahan darah kerana menegakkan kalimah tauhid pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meninjau-ninjau di atas sebuah tembok Kota Madinah Baginda bersabda:
إني لأرى الفتن تقع من خلال بيوتكم كوقع المطر.
Maksudnya: “Sesungguhnya aku melihat fitnah menimpa rumah-rumah kamu seperti titisan air hujan”[10] [10].
Semua ini menggambarkan betapa kesucian sesuatu tempat bukan jaminan bagi terhindarnya fitnah. Demikian juga dengan kawasan-kawasan yang tidak disebut oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai lokasi fitnah, seperti Amerika, Eropah, Afrika dan Asia Tenggara, bukanlah bermakna ia bebas daripada fitnah. Bahkan fitnah yang berlaku di India misalnya mungkin lebih banyak daripada yang berlaku di Iraq itu sendiri.
Kesimpulan lain yang dapat juga diambil daripada perbincangan ini adalah, jika diandaikan perkataan Najd yang dimaksudkan oleh Nabi merujuk kepada negara Arab Saudi yang meliputi daerah Hijaz dan Al-Yamamah (yakni tempat lahir Muhammad Ibn ‘Abd Al-Wahhab), maka yang demikian itu langsung tidak menggambarkan kecaman terhadap individu tertentu yang tinggal di sana.
Kedua: Maksud “Tanduk Syaitan”.
Al-Hafiz Ibn Hajar rahimahullah mengemukakan empat pendapat yang berbeza bagi menjelaskan maksud ungkapan ‘tempat muncul tanduk syaitan’, iaitu[11] [11]:
I. Sebagai kiasan bagi menggambarkan kekuatan Syaitan dan apa saja yang memohon pertolongan kepadanya (Syaitan) dalam penyesatan (manusia).
II. Bahawa Syaitan menyelaraskan tanduknya dengan (arah) Matahari ketika terbitnya, supaya penyembahan golongan penyembah Matahari akan terarah kepadanya.
III. Bahawa bagi Matahari itu ada Syaitan yang mana ia terbit antara dua tanduknya.
IV. Bahawa pada hari itu penduduk sebelah timur Madinah terdiri daripada golongan kafir, manakala fitnah yang pertama (fitnah pembunuhan ‘Uthman radhiallahu ‘anhum) datangnya dari sebelah Timur, dan ia menjadi sebab berlakunya perpecahan di kalangan umat Islam, sedangkan perpecahan itu disukai dan digembirai oleh Syaitan.
Semua tafsiran di atas langsung tidak menunjukkan sasaran kepada mana-mana individu secara khusus.
Notakaki
[1] [12] Al-Bukhari, Muhammad Ibn Isma’il, Sahih Al-Bukhari, Dar Ibn Kathir, Al-Yamamah, Beirut, 1987, 6: 2598, No: 6681. Tetapi dalam bab yang bermaksud: “Apa yang dikatakan dalam hal gempa bumi dan tanda-tanda Kiamat” beliau meriwayatkannya secara mauquf (terhenti setakat Ibn Umar radhiallahu ‘anhum) sahaja. Lihat rujukan yang sama, 1: 351, No: 990.
[2] [13] Abu Nu’aim Al-Asbahani, Ahmad Ibn Abd Allah, Hilyah Al-Auliya’, Dar Al-Kitab Al-Arabi, Beirut, Lubnan, 1405H, 6: 133 dan Ibn ‘Asakir, ‘Ali Ibn Al-Hasan Ash-Shafi’ie, Tarikh Madinah Dimashq, Dar Al-Fikr, Beirut, Lubnan, 1995, 1: 130. Matan (lafaz) ini juga diriwayatkan oleh Ya’kub Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah, Al-Mukhallis dalam Al-Fawaid Al-Muntaqah dan Al-Jurjani dalam Al-Fawaid, Lihat: Al-Albani, Muhammad Nasir Ad-Din, Silsilah Al-Ahadith As-Sahihah, Maktabah Al-Maarif, Riyadh, Arab Saudi, 1996, 5: 271-302.
[3] [14] Muslim Ibn Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Tahqiq: Muhammad Fuad ‘Abd Al-Baqi, Dar Ihya’ At-Turath Al-’Arabi, Beirut, Lubnan, 1991, 4: 2229, No: 2905. Selain daripada riwayat Muslim ini, riwayat At-Tabrani juga jelas menyebut negeri ‘Iraq sebagai punca datangnya fitnah. Lihat: At-Tabrani, Sulaiman Ibn Ahmad, Al-Mu’jam Al-Kabir, Tahqiq: Hamdi ‘Abd Al-Majid As-Salafi, Maktabah Al-’Ulum Wa Al-Hikam, Mausil, ‘Iraq, 1984, 2: 54-55, No: 1270 dan 6: 91, No: 5608.
[4] [15] Al-’Asqalani, Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar, Fath Al-Bari Bi Sharh Sahih Al-Bukhari, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, 1379H, 13: 47.
[5] [16] Al-’Asqalani, Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar, Fath Al-Bari Bi Sharh Sahih Al-Bukhari, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, 1379H, 13: 47.
[6] [17] Ibn Manzur, Muhammad Ibn Mukrim, Lisan Al-’Arab, Dar Sadir, Beirut, Lubnan, t.th, 3: 413-419.
[7] [18] Ibn Faris, Ahmad Ibn Faris, Mu’jam Maqayis Al-Lughah, Dar Al-Jil, Beirut, Lubnan, 1991, 5: 392.
[8] [19] Al-Fairuzabadi, Muhammad Ibn Ya’kub, Al-Qamus Al-Muhit, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, Lubnan, 1987, Hal: 410.
[9] [20] ‘Abd Ar-Rahman Ibn Hasan, Majmu’ah Ar-Rasail Wa Al-Masail, Dalam: Nasir Ibn ‘Abd Al-Karim Al-’Aql, Islamiyyah La Wahhabiyyah, Dar Kunuz Isybiliya, Riyadh, Arab Saudi, 2003, Hal: 282-283
[10] [21] Al-Bukhari, Muhammad Ibn Isma’il, Sahih Al-Bukhari, Dar Ibn Kathir, Al-Yamamah, Beirut, 1987, 6: 2589, No: 6651.
[11] [22] Al-’Asqalani, Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar, Fath Al-Bari Bi Sharh Sahih Al-Bukhari, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, 1379H, 13: 46-47.
Najd adalah iraq sekarang dimana terjadi pembunuhan terhadap cucu kesayangan Rasulullah saw di Karbala. Inilah fitnah yang dimaksud dan orang iraq ketika masa sahabat radhiyallahu 'anhum masih hidup pernah mempertanyakan tentang hukum terbunuhnya seekor lalat yang sepele namun tidak mempertanyakan hukum atas kebiadaban terhadap cucu Rasulullah saw tersebut. Sampai saat ini pun fitnah itu masih terus ada dengan kondisi iraq yang memprihatinkan, pertumpahan darah dan perebutan kekuasaan. Jauh sekali dengan pendapat sebagian orang yang mengatakan najed adalah saudi arabia. Bahkan sebaliknya di negeri ini kehidupan islam sangat terjamin, sumber daya alam melimpah ruah, penduduk negeri jauh dari rasa takut. Kebrkahan turun dari langit sesuai firman Allah dalam surat Al-A'raaf 96.
Maksud “Najd” Di Sisi Al-Bukhari.
Al-Bukhari rahimahullah meletakkan hadith ini dalam bab berjudul: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Fitnah itu (datang) dari sebelah timur”. Kemudian, beliau meriwayatkan beberapa hadith, termasuklah doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan matan (lafaz):
اللهم بارك لنا في شامنا اللهم بارك لنا في يمننا، قالوا: يا رسول الله! وفي نجدنا، قال: اللهم بارك لنا في شامنا اللهم بارك لنا في يمننا، قالوا: يا رسول الله! وفي نجدنا، فأظنه قال في الثالثة: هناك الزلازل والفتن وبها يطلع قرن الشيطان.
Maksudnya: “Ya Allah Ya Tuhanku! Berkatilah negeri Syam kami, Ya Allah Ya Tuhanku! berkatilah negeri Yaman kami”. Mereka (para Sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah! (Doakanlah) juga untuk negeri Najd kami”. Baginda (terus) berdoa: “Ya Allah Ya Tuhanku! Berkatilah negeri Syam kami, Ya Allah Ya Tuhanku! Berkatilah negeri Yaman kami”. Mereka (para Sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah! (Doakanlah) juga untuk negeri Najd kami”.
Aku (perawi hadith) agak pada (permintaan) yang ketiga Baginda bersabda: “Padanya (Najd) (berlaku) gempa bumi, fitnah dan tempat terbit tanduk syaitan”[1] [1]
Berdasarkan judul bab ini, ternyata Al-Bukhari tidak menentukan secara pasti apa yang dimaksudkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan negeri Najd kerana ungkapan beliau ‘dari sebelah timur’ adalah terlalu umum. Kemungkinan ia bermula dari kawasan luar Madinah sampailah ke Iraq, Iran dan seterusnya. Ini bermakna, Al-Bukhari tidak memahami maksud perkataan Najd itu sebagai satu kawasan yang khusus di Semenanjung Tanah Arab.
Maksud “Najd” Berdasarkan Bandingan Dengan Riwayat-Riwayat Lain.
Selain daripada riwayat Al-Bukhari di atas, hadith ini juga telah diriwayatkan dalam beberapa kitab sumber hadith yang lain dengan matan seperti berikut:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: اللهم بارك لنا في مدينتنا وبارك لنا في مكتنا وبارك لنا في شامنا وبارك لنا في يمننا وبارك لنا في صاعنا ومدنا، فقال رجل: يا رسول الله! وفي عراقنا، فأعرض عنه فقال: فيها الزلازل والفتن وبها يطلع قرن الشيطان.
Maksudnya: Bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa: “Ya Allah Ya Tuhanku! Berkatilah negeri Madinah kami, berkatilah negeri Makkah kami, berkatilah negeri Syam kami, berkatilah negeri Yaman kami dan berkatilah (sukatan) gantang dan cupak kami”.
Tiba-tiba seorang lelaki mencelah: “Wahai Rasulullah! (Doakanlah) juga untuk negeri Iraq kami. Lalu Baginda berpaling darinya seraya bersabda: “Padanya (berlaku) gempa bumi, fitnah dan tempat terbit tanduk syaitan”[2] [2].
Matan (lafaz) riwayat ini dilihat berbeza dengan matan riwayat Al-Bukhari kerana di dalamnya ada penambahan doa untuk keberkatan negeri Madinah dan Makkah, manakala perkataan Najd yang ada dalam matan riwayat Al-Bukhari pula diganti dengan perkataan Iraq.
Meskipun ada perbezaan matan antara kedua riwayat tersebut, tetapi pada hakikatnya ia adalah riwayat yang sama, kerana sanad (rantaian perawi) kedua-dua riwayat itu bertemu pada seorang Sahabat yang sama iaitu ‘Abd Allah Ibn ‘Umar radhiallahu ‘anhuma. Matan riwayat Al-Bukhari diriwayatkan melalui jalan sanad Nafi’ daripada Ibn ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, manakala matan riwayat Abu Nu’aim dan Ibn ‘Asakir itu pula diriwayatkan melalui jalan sanad Salim daripada Ibn ‘Umar radhiallahu ‘anhuma.
Mengikut kaedah ilmu hadith, kedua-dua riwayat Nafi’ dan Salim itu saling menyokong antara satu sama lain secara mutabaah (sokongan dalam konteks riwayat yang datang daripada Sahabat yang sama). Justeru oleh kerana kedua-dua riwayat itu pada hakikatnya adalah riwayat yang sama, maka kedua-dua matannya perlu dilihat sebagai penjelas maksud antara satu sama lain.
Dengan perkataan lain, matan riwayat Al-Bukhari menjadi penjelas kepada maksud matan riwayat Abu Nu’aim dan Ibn ‘Asakir, sebagaimana matan riwayat Abu Nu’aim dan Ibn ‘Asakir juga menjadi penjelas maksud matan riwayat Al-Bukhari.
Ini bermakna, perkataan Najd yang ada dalam matan riwayat Al-Bukhari menjadi tafsiran bagi maksud perkataan Iraq yang ada dalam matan riwayat Abu Nu’aim dan Ibn ‘Asakir, sebagaimana perkataan Iraq juga menjadi tafsiran bagi maksud perkataan Najd. Berdasarkan hakikat ini, maka jelaslah bahawa perkataan Najd yang dimaksudkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam doanya itu ialah negeri Iraq dan bukan daerah khusus yang terdapat di negara Arab Saudi yang dikenali sebagai Najd.
Maksud ini diperkuatkan lagi dengan matan riwayat Muslim, dimana Salim Ibn ‘Abd Allah Ibn ‘Umar radhiallahu 'anhuma pernah berkata:
يا أهل العراق! ما أسألكم عن الصغيرة وأركبكم للكبيرة! سمعت أبي، عبدالله بن عمر يقول:
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: إن الفتنة تجئ من ههنا وأومأ بيده نحو المشرق من حيث يطلع قرنا الشيطان...
Maksudnya: “Wahai penduduk Iraq! Alangkah banyaknya persoalan kamu tentang perkara kecil dan alangkah banyaknya pula dosa besar yang telah kamu lakukan, aku mendengar ayahku (yakni) ‘Abd Allah Ibn ‘Umar berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya fitnah itu datang dari sebelah sini, lalu Baginda mengisyaratkan tangannya ke sebelah Timur, (arah) di mana terbitnya dua tanduk Syaitan…”[3] [3].
Riwayat muslim ini jelas menunjukkan bahawa kata-kata Nabi SAW itu ditujukan kepada penduduk Iraq dan isyarat tangan Baginda itu juga ditujukan kepada negeri Iraq. Maka, berdasarkan keseluruhan riwayat-riwayat ini, dapatlah disimpulkan bahawa perkataan Najd yang terdapat dalam riwayat Al-Bukhari itu merangkumi seluruh negeri cIraq secara umum dan bukan menjurus kepada suatu tempat yang khusus di Negara Arab Saudi.
Maksud “Najd” Berdasarkan Huraian Para Ulama.
Selain pendekatan memahami hadith melalui perbandingan dengan riwayat-riwayat lain, maksud perkataan Najd juga dapat diperolehi daripada huraian para ulama terhadapnya. Dalam konteks ini, Al-Hafiz Ibn Hajar Al-’Asqalani rahimahullah memetik kata-kata Al-Khattabi rahimahullah (388H):
نجد من جهة المشرق، ومن كان بالمدينة كان نجده بادية العراق ونواحيها وهي مشرق أهل المدينة، وأصل نجد ما ارتفع من الأرض وهو خلاف الغور فإنه ما انخفض منها، وتهامة كلها من الغور ومكة من تهامة.
Maksudnya: “Najd itu di sebelah timur, sesiapa yang berada di Madinah maka najdnya ialah pendalaman negeri Iraq dan persekitarannya yang menjadi arah timur (bagi) penduduk Madinah. Ini kerana asal (perkataan) najd (dari segi bahasa) ialah kawasan tanah tinggi yang menjadi lawan kepada ghaur yang bermaksud kawasan tanah rendah (lembah), sedangkan Tihamah keseluruhannya adalah lembah dan Makkah pula termasuk sebahagian dari Tihamah”[4] [4].
Kemudian, Al-Hafiz Ibn Hajar mengomentari kata-kata Al-Khattabi dengan katanya:
وعرف بهذا وهاء ما قاله الداودي إن نجدا من ناحية العراق فإنه توهم أن نجدا موضع مخصوص وليس كذلك بل كل شيء ارتفع بالنسبة إلى ما يليه يسمى المرتفع نجدا والمنخفض غورا.
Maksudnya: “Dan dengan ini dapat diketahui kelemahan pendapat Ad-Dawudi yang waham (menyangka) bahawa najd itu suatu tempat khusus di sebelah Iraq, sedangkan ia bukan sedemikian, bahkan setiap (tempat) yang tinggi berbanding sekelilingnya, (maka) dinamakan yang tinggi itu najd manakala yang rendah pula ghaur”[5] [5].
Maksud “Najd” Dari Sudut Bahasa.
Sumber rujukan bahasa yang utama seperti Lisan Al-’Arab[6] [6], Mu’jam Maqayis Al-Lughah[7] [7] dan Al-Qamus Al-Muhit[8] [8] telah mengesahkan bahawa makna asal perkataan najd ialah kawasan tanah tinggi, sama seperti yang telah dinyatakan oleh Al-Khattabi dan Al-Hafiz Ibn Hajar. Justeru gelaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada negeri Iraq dengan nama najd mesti dilihat sebagai penjelasan bagi bentuk muka bumi negeri berkenaan yang berada di kawasan tanah tinggi dan bukannya panggilan bagi suatu tempat yang khusus.
Maksud “Najd” Berdasarkan Fakta Sejarah.
Dalam hadith berkenaan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menggambarkan negeri Najd sebagai tempat yang banyak berlaku gempa bumi dan fitnah. Realiti sejarah telah membuktikan bahawa tempat yang banyak berlaku gempa bumi ialah kawasan sekitar negeri Iraq dan Iran.
Begitu juga dengan fitnah yang berlaku di kalangan umat Islam, bermula dari zaman Sahabat sehinga ke hari ini, kebanyakannya berpunca di Iraq. Gerakan bughah (penentang khalifah), Khawarij dan Syiah pada zaman Khalifah ‘Uthman dan ‘Ali radhiallahu ‘anhuma yang menjadi punca tercetusnya fitnah perselisihaan di kalangan umat Islam bermula di Kufah. Begitu juga Perang Jamal, Siffin, Nahrawan, fitnah pembunuhan Husain cucunda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, fitnah Mukhtar Ath-Thaqafi yang mendakwa kenabian dan serangan tentera Tartar pada zaman kerajaan Bani Abbasiyyah, semuanya berlaku di Iraq.
Dalam konteks sejarah perkembangan hadith, Kufah terkenal sebagai pusat penyebaran hadith palsu sehingga para perawi yang pergi dan datang dari sana di ‘kuarantinkan’ riwayat mereka oleh para ulama sebagai langkah berwaspada.
Manakala dalam konteks sejarah moden pula, dapat disaksikan bagaimana dahsyatnya peperangan antara Iraq dan Iran, diikuti oleh krisis perang Teluk pada tahun 1992 dan seterusnya penaklukan oleh Amerika yang berterusan hingga ke hari ini. Ini berlanjutan dengan peristiwa pembunuhan dan pengeboman di Iraq yang berlaku saban hari dan ketika, manakala kesan dari segala fitnah itu pula dirasai dan diratapi oleh umat Islam di seluruh dunia.
Semua fenomena yang berlaku di Iraq sejak dari dahulu sampai sekarang adalah suatu fitnah yang benar-benar menepati apa yang digambarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya itu. Bahkan banyak riwayat hadith sahih yang menunjukkan bahawa kemunculan Dajjal di akhir zaman juga berlaku di sebelah Iraq, iaitu di kawasan Asbahan dan Khurasan yang sekarang ini termasuk dalam sempadan negara Iran.
Maksud “Najd” Dari Sudut Geografi.
Dari sudut geografi pula, kawasan Najd yang meliputi daerah Hijaz dan Al-Yamamah (tempat lahir Muhammad Ibn ‘Abd Al-Wahhab) secara tepatnya terletak di sebelah Timur Makkah, dan bukannya di sebelah Timur Madinah. Justeru oleh kerana Baginda Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengisyaratkan bahawa fitnah itu datang dari sebelah Timur Madinah, maka ia sudah tentu bermaksud negeri Iraq kerana ia sememangnya terletak pada arah yang berkenaan. Dengan mengambil kira tafsiran daripada keseluruhan riwayat hadith, penjelasan para ulama, asal usul bahasa, geografi dan realiti sejarah, maka sahlah bahawa perkataan Najd yang dimaksudkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadith itu ialah negeri Iraq dan kawasan persekitarannya yang turut merangkumi negeri Iran pada masa kini.
Maksud “Najd” Dari Sudut Umum Atau Khusus.
Meskipun hadith itu menunjukkan kedudukan negara Iraq (dan sekarang termasuk Iran) sebagai tempat yang banyak menimbulkan fitnah bagi umat Islam, namun yang demikian itu langsung tidak menggambarkan kejahatan tempat tersebut secara umum. Ini kerana penentuan sesuatu tempat sebagai punca fitnah bukan bererti kecaman pada tempat tersebut secara mutlak, tetapi ia bermaksud kecaman pada suasana yang berlaku di tempat itu pada suatu masa yang tertentu[9] [9].
Sesuatu tempat yang dianggap sebagai tidak baik tidak semestinya menggambarkan kejahatan seluruh penduduknya sepanjang masa, sebagaimana sesuatu tempat yang dianggap sebagai baik juga tidak semestinya menggambarkan kebaikan seluruh penduduknya sepanjang masa.
Justeru di samping fitnah yang banyak berlaku, negeri Iraq juga melahirkan ramai tokoh ulama Islam yang terbilang, bahkan Kota Baghdad pernah menjadi pusat pemerintahan dan perkembangan ilmu yang terbesar dalam sejarah tamadun manusia.
Demikian juga di samping kebaikan yang ada pada negeri Yaman, Syam, Makkah dan Madinah, fitnah masih tetap berlaku di negeri-negeri berkenaan pada masa-masa yang tertentu. Sebagai contoh, dari negeri Yaman puak Yahudi datang ke Madinah, dari negeri Yaman juga tentera bergajah Abrahah datang menyerang Makkah dan di negeri Yaman juga muncul Al-Aswad Al-’Anasi sebagai nabi palsu. Di negeri Syam pula muncul Luqait Al-Azdi sebagai nabi palsu dan di situlah tempatnya medan pertumpahan darah antara umat Islam, Yahudi dan Kristian kerana perebutan tempat suci. Negeri Makkah dan Madinah juga menyaksikan pertumpahan darah kerana menegakkan kalimah tauhid pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meninjau-ninjau di atas sebuah tembok Kota Madinah Baginda bersabda:
إني لأرى الفتن تقع من خلال بيوتكم كوقع المطر.
Maksudnya: “Sesungguhnya aku melihat fitnah menimpa rumah-rumah kamu seperti titisan air hujan”[10] [10].
Semua ini menggambarkan betapa kesucian sesuatu tempat bukan jaminan bagi terhindarnya fitnah. Demikian juga dengan kawasan-kawasan yang tidak disebut oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai lokasi fitnah, seperti Amerika, Eropah, Afrika dan Asia Tenggara, bukanlah bermakna ia bebas daripada fitnah. Bahkan fitnah yang berlaku di India misalnya mungkin lebih banyak daripada yang berlaku di Iraq itu sendiri.
Kesimpulan lain yang dapat juga diambil daripada perbincangan ini adalah, jika diandaikan perkataan Najd yang dimaksudkan oleh Nabi merujuk kepada negara Arab Saudi yang meliputi daerah Hijaz dan Al-Yamamah (yakni tempat lahir Muhammad Ibn ‘Abd Al-Wahhab), maka yang demikian itu langsung tidak menggambarkan kecaman terhadap individu tertentu yang tinggal di sana.
Kedua: Maksud “Tanduk Syaitan”.
Al-Hafiz Ibn Hajar rahimahullah mengemukakan empat pendapat yang berbeza bagi menjelaskan maksud ungkapan ‘tempat muncul tanduk syaitan’, iaitu[11] [11]:
I. Sebagai kiasan bagi menggambarkan kekuatan Syaitan dan apa saja yang memohon pertolongan kepadanya (Syaitan) dalam penyesatan (manusia).
II. Bahawa Syaitan menyelaraskan tanduknya dengan (arah) Matahari ketika terbitnya, supaya penyembahan golongan penyembah Matahari akan terarah kepadanya.
III. Bahawa bagi Matahari itu ada Syaitan yang mana ia terbit antara dua tanduknya.
IV. Bahawa pada hari itu penduduk sebelah timur Madinah terdiri daripada golongan kafir, manakala fitnah yang pertama (fitnah pembunuhan ‘Uthman radhiallahu ‘anhum) datangnya dari sebelah Timur, dan ia menjadi sebab berlakunya perpecahan di kalangan umat Islam, sedangkan perpecahan itu disukai dan digembirai oleh Syaitan.
Semua tafsiran di atas langsung tidak menunjukkan sasaran kepada mana-mana individu secara khusus.
Notakaki
[1] [12] Al-Bukhari, Muhammad Ibn Isma’il, Sahih Al-Bukhari, Dar Ibn Kathir, Al-Yamamah, Beirut, 1987, 6: 2598, No: 6681. Tetapi dalam bab yang bermaksud: “Apa yang dikatakan dalam hal gempa bumi dan tanda-tanda Kiamat” beliau meriwayatkannya secara mauquf (terhenti setakat Ibn Umar radhiallahu ‘anhum) sahaja. Lihat rujukan yang sama, 1: 351, No: 990.
[2] [13] Abu Nu’aim Al-Asbahani, Ahmad Ibn Abd Allah, Hilyah Al-Auliya’, Dar Al-Kitab Al-Arabi, Beirut, Lubnan, 1405H, 6: 133 dan Ibn ‘Asakir, ‘Ali Ibn Al-Hasan Ash-Shafi’ie, Tarikh Madinah Dimashq, Dar Al-Fikr, Beirut, Lubnan, 1995, 1: 130. Matan (lafaz) ini juga diriwayatkan oleh Ya’kub Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah, Al-Mukhallis dalam Al-Fawaid Al-Muntaqah dan Al-Jurjani dalam Al-Fawaid, Lihat: Al-Albani, Muhammad Nasir Ad-Din, Silsilah Al-Ahadith As-Sahihah, Maktabah Al-Maarif, Riyadh, Arab Saudi, 1996, 5: 271-302.
[3] [14] Muslim Ibn Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Tahqiq: Muhammad Fuad ‘Abd Al-Baqi, Dar Ihya’ At-Turath Al-’Arabi, Beirut, Lubnan, 1991, 4: 2229, No: 2905. Selain daripada riwayat Muslim ini, riwayat At-Tabrani juga jelas menyebut negeri ‘Iraq sebagai punca datangnya fitnah. Lihat: At-Tabrani, Sulaiman Ibn Ahmad, Al-Mu’jam Al-Kabir, Tahqiq: Hamdi ‘Abd Al-Majid As-Salafi, Maktabah Al-’Ulum Wa Al-Hikam, Mausil, ‘Iraq, 1984, 2: 54-55, No: 1270 dan 6: 91, No: 5608.
[4] [15] Al-’Asqalani, Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar, Fath Al-Bari Bi Sharh Sahih Al-Bukhari, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, 1379H, 13: 47.
[5] [16] Al-’Asqalani, Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar, Fath Al-Bari Bi Sharh Sahih Al-Bukhari, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, 1379H, 13: 47.
[6] [17] Ibn Manzur, Muhammad Ibn Mukrim, Lisan Al-’Arab, Dar Sadir, Beirut, Lubnan, t.th, 3: 413-419.
[7] [18] Ibn Faris, Ahmad Ibn Faris, Mu’jam Maqayis Al-Lughah, Dar Al-Jil, Beirut, Lubnan, 1991, 5: 392.
[8] [19] Al-Fairuzabadi, Muhammad Ibn Ya’kub, Al-Qamus Al-Muhit, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, Lubnan, 1987, Hal: 410.
[9] [20] ‘Abd Ar-Rahman Ibn Hasan, Majmu’ah Ar-Rasail Wa Al-Masail, Dalam: Nasir Ibn ‘Abd Al-Karim Al-’Aql, Islamiyyah La Wahhabiyyah, Dar Kunuz Isybiliya, Riyadh, Arab Saudi, 2003, Hal: 282-283
[10] [21] Al-Bukhari, Muhammad Ibn Isma’il, Sahih Al-Bukhari, Dar Ibn Kathir, Al-Yamamah, Beirut, 1987, 6: 2589, No: 6651.
[11] [22] Al-’Asqalani, Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar, Fath Al-Bari Bi Sharh Sahih Al-Bukhari, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, 1379H, 13: 46-47.
MADZHAB
Madzhab-madzhab fiqih di dalam Islam banyak sekali. Ada madzhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i Hanbali, Abu Tsaur, Laits, Auza’i, Thabari,
Zhahiri dan sebagainya. Namun, yang masyhur di dunia dan memiliki
banyak pengikut hingga sekarang adalah empat madzhab, yakni Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Umat Islam Indonesia dan Asia Tenggara
secara umum mengikuti madzhab Syafi’i. Lalu apa sebenarnya y...ang
dimaksud dengan madzhab dan apa makna mengikuti madzhab?
Madzhab menurut bahasa artinya jalan. Adapun menurut istilah,
madzhab artinya metode tertentu dalam istinbat (penggalian)
hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan amal dari dalil-dalilnya yang
terperinci (khusus).[1] Jika dikatakan madzhab Syafi’i artinya metode
Imam Syafi’i dalam istinbat hukum. Artinya siapa saja (tentunya yang
telah memenuhi syarat) yang menggunakan metode imam Syafi’i dalam
penggalian hukum ia dianggap sebagai pengikut madzhab Syafi’i,
walaupun hasil yang ditemukannya berbeda dengan hasil yang ditemukan
Imam Syafi’i. Ada juga yang mendefinisikan bahwa madzhab adalah hukum
masalah-masalah yang telah dipilih seorang imam.[2] Akan tetapi,
definisi yang pertama lebih komprehensif.
Lalu apa metode atau manhaj Imam Syafi’i dalam istinbat hukum itu?
Madzhab Imam Syafi’i telah tertuang dalam kitab-kitab beliau, utamanya
kitab ar-Risalah. Di dalam kitab ini beliau membicarakan panjang lebar
mengenai dalil-dalil, cara penggunaannya, dan bagaimana ketika
dalil-dalil itu saling bertentangan (ta’arudh)?
Mengikuti madzhab artinya memilih madzhab tersebut setelah
merajihkan prinsip-prinsip madzhab daripada madzhab-madzhab yang lain.
Tentunya hal ini tidak mampu dilakukan oleh orang awam, karena yang
mampu meneliti dalil-dalil hanyalah ulama tertentu. Oleh karena itu,
menurut para ahli tahkik, orang awam tidak bermadzhab (al-‘ami la
madzhaba lah). Orang awam hanyalah mengikuti apa yang dikatakan oleh
ulama atau kiayi yang memfatwakannya. Tidak tepat, jika dikatakan ia
bermadzhab karena alasan di atas.
Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya tidak memerintahkan manusia untuk
bermadzhab. Allah dan Rasul-Nya memerintahkan manusia untuk mengikuti
dalil yang tersimpulkan di dalam Al-Qur`an dan hadits. Ayat-ayat
Al-Qur`an sering mengecam orang-orang yang berpaling dari dalil-dalil
syara’ dan menjadikan tradisi sebagai dalil. Misalnya, Allah SWT
berfirman,
“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah mengikuti apa yang
diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.’ Mereka menjawab, ‘Cukuplah untuk
kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.’ Dan
apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat
petunjuk?” (al-Ma`idah: 104)
Allah juga mencela orang-orang yang taklid kepada pemimpin dan ulama
walaupun mereka salah. Allah mengisahkan orang-orang yang masuk ke
dalam neraka. Allah berfirman,
“Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati
pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan
kami dari jalan (yang benar).’” (al-Ahzab: 67)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
pembesar-pembesar kami (kubara`ana) adalah para ulama. Artinya,
orang-orang tersebut tersesat karena menjadikan ulama sebagai ‘dalil’.
Bahkan, ketika menafsiri ayat ini Imam Qurthubi mengatakan bahwa ayat
ini menjadi dalil larangan taklid.
Imam Syafi’i juga sejalan dengan firman Allah tadi. Beliau
memerintahkan untuk mengikuti dalil dan melarang taklid. Imam
al-Haramain dalam kitab Nihayah menukil dari Imam Syafi’i bahwa beliau
berkata, “Jika ada hadits shahih berlainan dengan madzhabku, ikutilah
hadits itu dan ketahuilah bahwa apa yang sesuai dengan hadits shahih
itulah madzhabku.” Beliau juga mengatakan, “Para ulama telah bersepakat
bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya Sunnah Rasul SAW, ia tidak
boleh meninggalkannya demi mengikut pendapat seseorang.”[3]
Jelas, bahwa madzhab Imam Syafi’i adalah mengikuti dalil yang
shahih. Hal ini karena tidak ada yang terpelihara dari kesalahan
(maksum) kecuali Nabi SAW, sebagaimana yang telah dikatakan Imam
Malik. Kita juga melihat banyak para ulama yang mengikuti madzhab
Syafi’i berbeda dengan Imam Syafi’i dan mereka tetap dianggap pengikut
madzhab Syafi’i. Misalnya, masalah memakan daging unta membatalkan
wudhu atau tidak. Menurut madzhab Syafi’i tidak membatalkan. Adapun
menurut madzhab Ahmad dan madzhab qadim Syafi’i membatalkan wudhu.
Pendapat bahwa memakan unta membatalkan wudhu ini dianggap aneh (syadz)
dalam madzhab Syafi’i. Tetapi, Imam Nawawi mengatakan, “Madzhab qadim
ini walaupun dianggap aneh dalam madzhab, tetapi ia memiliki dalil
yang kuat. Ada dua hadits shahih tetang masalah itu yang tidak
ditemukan jawaban memuaskan (untuk membantahnya). Sekelompok ahli
tahkik dari teman-teman kami yang ahli hadits telah memilih pendapat
ini (makan dading unta membatalkan). Saya telah menjelaskan hal ini
secara panjang lebar dalam kitab syarah al-Muhadzdzab. Madzhab qadim
inilah yang saya yakini keunggulannya.”[4]
Itulah salah satu contoh bagaimana ulama Syafi’iyah menyikapi
pendapat Imam Syafi’i yang bertentangan dengan dalil shahih. Mereka
memilih dalil yang shahih itu dan meninggalkan pendapat imamnya. Hal
ini bukan mengurangi rasa hormat kepada guru atau sang imam. Suatu
saat Imam Dzahabi ditanya, “Kenapa kamu berbeda pendapat gurumu (Ibnu
Taimiyah)?” Ia menjawab, “Guruku orang yang aku cintai. Tetapi,
kebenaran lebih berhak aku cintai.” Dan memang beginilah yang
seharusnya dilakukan orang muslim. Sebagaimana yang dikatakan Syaikh
Yusuf Qardhawi, “Seorang muslim sejati itu ‘tawanan dalil’. Kemanapun
dalil, ia mengikutinya.”
Mengikuti dalil yang shahih adalah madzhab Syafi’i. Maka sebenarnya
ulama dari madzhab manapun jika ia menggunakan dalil yang shahih
dengan memahaminya secara shahih pula, maka ia dianggap pengikut Imam
Syafi’i. Dengan demikian, ta’ashub madzhab bisa terkikis. Apa makna
mengaku bermadzhab Syafi’i, tetapi ia tidak mengikuti manhaj Imam
Syafi’i ini. Syaikh Ibnu Hajar menjelaskan bahwa di antara penyebab
yang menjatuhkan seseorang ke dalam kebinasaan adalah ta’ashub
madzhab. Ia mengatakan, “Setiap orang yang ta’ashub kepada imam, tetapi
ia tidak mengikuti jejak sang imam (misalnya tidak mengikuti dalil
shahih), maka sang imam adalah musuhnya dan termasuk orang-orang yang
mencelanya!”[5]
Begitu juga Imam Izzuddin bin Abdisalam mengatakan, “Di antara hal
yang paling aneh adalah apa yang dilakukan para ahli fiqih yang ahli
taklid ketika salah seorang di antara mereka melihat kedhaifan dalil
imamnya dan tidak ada sesuatu yang menepis kedhaifannya ia tetap
taklid kepada imamnya dalam masalah tersebut dan meninggalkan
Al-Qur`an, Sunnah, dan qiyas yang shahih demi membela imamnya dan
jumud atas madzhab imamnya!”
Sesungguhnya apa yang dikeluhkan oleh Ibnu Hajar dan Ibnu Abdissalam
tadi masih menjadi problem besar umat Islam zaman sekarang. Fanatik
membuta masih kita saksikan di mana-mana. La haula wala quwwata illa
billah!
Faroja itu apa ya?
Doa Faroja yg dimaksud diatas adalah doa yang sering
dibaca oleh Mahluk2 Syiah untuk mendoakan agar kemunculan Imam Mahdi
atau kebangkitan Imam2 Ahlul Bait itu segera dipercepat oleh Allah SWT,
sebagaimana Aqidah mereka yg disebut dengan Ar Roj’ah, yaitu sebelum
Kiamat nanti akan dibangkitkan Orang2 yg terbaik imannya ( Para Imam
Ahlul bait ) dan orang2 yg terburuk imannya yaitu Sy Abu Bakar dan Umar
radhiyallohu ‘anhuma. Inilah doanya :
وَعَجِّلْ فَرَجَهُ
“Dan Segerakanlah keluar/kemunculan beliau ( Imam Mahdi ).”
وَعَجِّلْ فَرَجَهُمْ
“Dan segerakanlah keluar/kemunculan mereka ( Para Imam Ahlul Bait ).”
Ane yaqin, Haqqul Yaqin, Ainul Yaqin,,,, Doanya Mahluk2 Syiah itu gak MUSTAJAB babar blas !!!!!
Pengin tau buktinya ?????? Penasaran ?????
Oke,,, Ane buka Rahasia Umum ini yach ?????
...
Udah Berapa lama, siang malam, pagi sore, hari, bulan, tahun,
puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun, Ribuan bahkan Jutaan Mahluk2
Syiah ( mulai yg yg awwam, Ulamanya, bahkan Ayatullah2nya ) berdo'a :
Allohumma Ajjil Farjahu...... Allohumma Ajjil Farjahu......
Allohumma Ajjil Farjahu...... ( Ya Allah Percepatlah
Kemunculannya...!!!!!!! )-dalam rangka mendoakan kemunculan Imam Mahdi
versi mereka-
Eeee.....Ternyata Si Doi malah Pules tidurnye........ Qiqiqiqiqiqiqiqiqiqiqii
NB : Makane gak usah Yahannu ngajak Mubahalah Segala.... !!!!!!
Qiqiqiqiqiqiqiqiqiqiqqiqiiqiqiqiqiq...........Anak.Pinter.com ^_^
ALL SYIAH... PENGUMUMAAAAAAAAAAN......!!!!!!
Oleh karena itu, Disini akan Kami beber dan Kami jelaskan dengan
dalil2 dan Bukti2 yg shorih dan konkrit, bahwa berdoa untuk meminta
percepatan keluarnye Imam dari persembunyiannya itu DILARANG ....!!!
baca kitab Ente sendiri ini yach...... !!!
باب ١١ ما روي فيما أمر به الشيعة من الصبر والكف والانتظار للفرج ، وترك الاستعجال بأمر الله وتدبيره
)كتاب الغيبة - محمد بن إبراهيم النعماني - الصفحة ,200 بحار الأنوار ج 52 ص(135
Bab 11. Riwayat yang berkenaan dengan apa yg diperintahkan bagi kaum Syiah, yaitu tentang
kesabaran, menahan diri, menunggu keluarnya ( Imam Mahdi),
Meninggalkan untuk meminta dipercepatnya urusan Allah serta
memikir-mikirkannya. ( Kitabul Ghibah oleh Muhammad bin Ibrahim An Nukmani Hal 200, Biharul Anwar Hal 52 Juz 135 )
Qiqiiqiqqiqiqiqiqiqiiqi,,,, jadi sebelum MAHLUK2 SYIAH berdoa dg lafadz Tutul Faroja2-an,,, baca ini dulu yach ????
9 - علي بن أحمد، عن عبيدالله بن موسى العلوي، قال: حدثنا على بن
الحسن، عن علي بن حسان، عن عبدالرحمن بن كثير، عن أبي عبدالله(عليه
السلام) في قول الله عزوجل " أتى أمر الله فلا تستعجلوه "(1) قال: هو
أمرنا، أمر الله عز وجل أن لا تستعجل به حتى يؤيده [الله] بثلاثة [أجناد]:
الملائكة، والمؤمنين، والرعب، وخروجه(عليه السلام) كخروج رسول الله(صلى
الله عليه وآله)، وذلك قوله تعالى: " كما أخرجك ربك من بيتك بالحق "(2(
Dari Abu Abdillah AS mengenai firman Azza wa Jalla : “Telah pasti datangnya ketetapan Allah maka janganlah kamu meminta agar disegerakan (datang) nya”. Beliau berkata : demikian itu adalah urusan kami, Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan agar Engkau tidak meminta mempercepat perihal tsb ( KemunculanImam Mahdi ) Sehingga
Allah menguatkan kepadanya dengan tiga pasukan : Malaikat, Kaum
beriman dan Orang2 yg Penakut. Keluarnya ( Al Mahdi ) AS itu seperti
keluarnya Rasulullah SAW. Demikianlah Firman Allah Ta’ala :
“Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran.”
Qiqiqiqiqiqiqiqiqiqiqiqiqi,,,,,, BINGUNG Yach Ditipu Ma Orang2 IRAN...!!!!
Kalo Mau Hancur... Silahkan Doa Faroja2-an :
عبدالرحمن بن كثير قال: كنت عند أبى عبدالله(عليه السلام) يوما وعنده
مهزم الاسدي، فقال: " جعلني الله فداك متى هذا الامر [الذي تنتظرونه؟] فقد
طال [علينا] فقال: [يامهزم] كذب المتمنون، وهلك المستعجلون، ونجا
المسلمون، وإلينا يصيرون "
Abdurahman bin Katsir berkata : Pada Suatu hari Aku berada di
samping Abu Abdillah AS, sedang disamping beliau Muhzim Al Asadiy. Dia
berkata : Allah mmenjadikan Aku sebagai tebusan, Kapan urusan ini (
yaitu peristiwa yg Engkau semua tunggu2 ) ???? Sungguh sangat lama (
waktu tsb) bagi kita. Naka Beliau berkata : Ya Muhzim : Telah berbohong
orang yg berangan-angan, telah rusak/binasalah Orang2 yg meminta percepatan dan selamatlah orang2 yg beriman serta bagi kita untuk menetapi kesabaran…. !!!!
Qiqiqiqiqiqiqiqiiqiq...... Baca itu diatas :
وهلك المستعجلون
Telah rusak/ binasalah Orang2 yg memhon Isti’jal ( Dipercepat kedatangan Imam Mahdi )
Qiiqiqiqiqiqiqiqiqiiqiq,,,,, Hayooooo,,, Mahluk2 Syiah Pengin Binasa Ape kagak ??
Re:Hadis masalah Najd (tanduk setan) sebuah jawaban untuk munzdir al musawa By Yahya Jakfar
2007/07/23 02:53 Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Najd adalah iraq sekarang dimana terjadi pembunuhan terhadap cucu
kesayangan Rasulullah saw di Karbala. Inilah fitnah yang dimaksud dan
orang iraq ketika masa sahabat radhiyallahu 'anhum masih hidup pernah
mempertanyakan tentang hukum terbunuhnya seekor lalat yang sepele namun
tidak mempertanyakan hukum atas kebiadaban terhadap cucu Rasulullah saw
tersebut. Sampai saat ini pun fitnah itu masih terus ada dengan
kondisi iraq yang memprihatinkan, pertumpahan darah dan perebutan
kekuasaan. Jauh sekali dengan pendapat sebagian orang yang mengatakan
najed adalah saudi arabia. Bahkan sebaliknya di negeri ini kehidupan
islam sangat terjamin, sumber daya alam melimpah ruah, penduduk negeri
jauh dari rasa takut. Kebrkahan turun dari langit sesuai firman Allah
dalam surat Al-A'raaf 96.
Maksud “Najd” Di Sisi Al-Bukhari.
Al-Bukhari rahimahullah meletakkan hadith ini dalam bab berjudul:
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Fitnah itu (datang) dari
sebelah timur”. Kemudian, beliau meriwayatkan beberapa hadith,
termasuklah doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan matan (lafaz):
اللهم بارك لنا في شامنا اللهم بارك لنا في يمننا، قالوا: يا رسول
الله! وفي نجدنا، قال: اللهم بارك لنا في شامنا اللهم بارك لنا في يمننا،
قالوا: يا رسول الله! وفي نجدنا، فأظنه قال في الثالثة: هناك الزلازل
والفتن وبها يطلع قرن الشيطان.
Maksudnya: “Ya Allah Ya Tuhanku! Berkatilah negeri Syam kami, Ya
Allah Ya Tuhanku! berkatilah negeri Yaman kami”. Mereka (para Sahabat)
berkata: “Wahai Rasulullah! (Doakanlah) juga untuk negeri Najd kami”.
Baginda (terus) berdoa: “Ya Allah Ya Tuhanku! Berkatilah negeri Syam
kami, Ya Allah Ya Tuhanku! Berkatilah negeri Yaman kami”. Mereka (para
Sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah! (Doakanlah) juga untuk negeri Najd
kami”.
Aku (perawi hadith) agak pada (permintaan) yang ketiga Baginda
bersabda: “Padanya (Najd) (berlaku) gempa bumi, fitnah dan tempat
terbit tanduk syaitan”[1] [1]
Berdasarkan judul bab ini, ternyata Al-Bukhari tidak menentukan
secara pasti apa yang dimaksudkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam dengan negeri Najd kerana ungkapan beliau ‘dari sebelah timur’
adalah terlalu umum. Kemungkinan ia bermula dari kawasan luar Madinah
sampailah ke Iraq, Iran dan seterusnya. Ini bermakna, Al-Bukhari tidak
memahami maksud perkataan Najd itu sebagai satu kawasan yang khusus di
Semenanjung Tanah Arab.
Maksud “Najd” Berdasarkan Bandingan Dengan Riwayat-Riwayat Lain.
Selain daripada riwayat Al-Bukhari di atas, hadith ini juga telah
diriwayatkan dalam beberapa kitab sumber hadith yang lain dengan matan
seperti berikut:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: اللهم بارك لنا في مدينتنا وبارك لنا
في مكتنا وبارك لنا في شامنا وبارك لنا في يمننا وبارك لنا في صاعنا
ومدنا، فقال رجل: يا رسول الله! وفي عراقنا، فأعرض عنه فقال: فيها الزلازل
والفتن وبها يطلع قرن الشيطان.
Maksudnya: Bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa: “Ya
Allah Ya Tuhanku! Berkatilah negeri Madinah kami, berkatilah negeri
Makkah kami, berkatilah negeri Syam kami, berkatilah negeri Yaman kami
dan berkatilah (sukatan) gantang dan cupak kami”.
Tiba-tiba seorang lelaki mencelah: “Wahai Rasulullah! (Doakanlah)
juga untuk negeri Iraq kami. Lalu Baginda berpaling darinya seraya
bersabda: “Padanya (berlaku) gempa bumi, fitnah dan tempat terbit
tanduk syaitan”[2] [2].
Matan (lafaz) riwayat ini dilihat berbeza dengan matan riwayat
Al-Bukhari kerana di dalamnya ada penambahan doa untuk keberkatan
negeri Madinah dan Makkah, manakala perkataan Najd yang ada dalam matan
riwayat Al-Bukhari pula diganti dengan perkataan Iraq.
Meskipun ada perbezaan matan antara kedua riwayat tersebut, tetapi
pada hakikatnya ia adalah riwayat yang sama, kerana sanad (rantaian
perawi) kedua-dua riwayat itu bertemu pada seorang Sahabat yang sama
iaitu ‘Abd Allah Ibn ‘Umar radhiallahu ‘anhuma. Matan riwayat
Al-Bukhari diriwayatkan melalui jalan sanad Nafi’ daripada Ibn ‘Umar
radhiallahu ‘anhuma, manakala matan riwayat Abu Nu’aim dan Ibn ‘Asakir
itu pula diriwayatkan melalui jalan sanad Salim daripada Ibn ‘Umar
radhiallahu ‘anhuma.
Mengikut kaedah ilmu hadith, kedua-dua riwayat Nafi’ dan Salim itu
saling menyokong antara satu sama lain secara mutabaah (sokongan dalam
konteks riwayat yang datang daripada Sahabat yang sama). Justeru oleh
kerana kedua-dua riwayat itu pada hakikatnya adalah riwayat yang sama,
maka kedua-dua matannya perlu dilihat sebagai penjelas maksud antara
satu sama lain.
Dengan perkataan lain, matan riwayat Al-Bukhari menjadi penjelas
kepada maksud matan riwayat Abu Nu’aim dan Ibn ‘Asakir, sebagaimana
matan riwayat Abu Nu’aim dan Ibn ‘Asakir juga menjadi penjelas maksud
matan riwayat Al-Bukhari.
Ini bermakna, perkataan Najd yang ada dalam matan riwayat Al-Bukhari
menjadi tafsiran bagi maksud perkataan Iraq yang ada dalam matan
riwayat Abu Nu’aim dan Ibn ‘Asakir, sebagaimana perkataan Iraq juga
menjadi tafsiran bagi maksud perkataan Najd. Berdasarkan hakikat ini,
maka jelaslah bahawa perkataan Najd yang dimaksudkan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam doanya itu ialah negeri Iraq dan
bukan daerah khusus yang terdapat di negara Arab Saudi yang dikenali
sebagai Najd.
Maksud ini diperkuatkan lagi dengan matan riwayat Muslim, dimana
Salim Ibn ‘Abd Allah Ibn ‘Umar radhiallahu 'anhuma pernah berkata:
يا أهل العراق! ما أسألكم عن الصغيرة وأركبكم للكبيرة! سمعت أبي، عبدالله بن عمر يقول:
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: إن الفتنة تجئ من ههنا وأومأ بيده نحو المشرق من حيث يطلع قرنا الشيطان...
Maksudnya: “Wahai penduduk Iraq! Alangkah banyaknya persoalan kamu
tentang perkara kecil dan alangkah banyaknya pula dosa besar yang telah
kamu lakukan, aku mendengar ayahku (yakni) ‘Abd Allah Ibn ‘Umar
berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya fitnah itu datang dari sebelah sini, lalu Baginda
mengisyaratkan tangannya ke sebelah Timur, (arah) di mana terbitnya dua
tanduk Syaitan…”[3] [3].
Riwayat muslim ini jelas menunjukkan bahawa kata-kata Nabi SAW itu
ditujukan kepada penduduk Iraq dan isyarat tangan Baginda itu juga
ditujukan kepada negeri Iraq. Maka, berdasarkan keseluruhan
riwayat-riwayat ini, dapatlah disimpulkan bahawa perkataan Najd yang
terdapat dalam riwayat Al-Bukhari itu merangkumi seluruh negeri cIraq
secara umum dan bukan menjurus kepada suatu tempat yang khusus di
Negara Arab Saudi.
Maksud “Najd” Berdasarkan Huraian Para Ulama.
Selain pendekatan memahami hadith melalui perbandingan dengan
riwayat-riwayat lain, maksud perkataan Najd juga dapat diperolehi
daripada huraian para ulama terhadapnya. Dalam konteks ini, Al-Hafiz
Ibn Hajar Al-’Asqalani rahimahullah memetik kata-kata Al-Khattabi
rahimahullah (388H):
نجد من جهة المشرق، ومن كان بالمدينة كان نجده بادية العراق ونواحيها
وهي مشرق أهل المدينة، وأصل نجد ما ارتفع من الأرض وهو خلاف الغور فإنه ما
انخفض منها، وتهامة كلها من الغور ومكة من تهامة.
Maksudnya: “Najd itu di sebelah timur, sesiapa yang berada di
Madinah maka najdnya ialah pendalaman negeri Iraq dan persekitarannya
yang menjadi arah timur (bagi) penduduk Madinah. Ini kerana asal
(perkataan) najd (dari segi bahasa) ialah kawasan tanah tinggi yang
menjadi lawan kepada ghaur yang bermaksud kawasan tanah rendah
(lembah), sedangkan Tihamah keseluruhannya adalah lembah dan Makkah
pula termasuk sebahagian dari Tihamah”[4] [4].
Kemudian, Al-Hafiz Ibn Hajar mengomentari kata-kata Al-Khattabi dengan katanya:
وعرف بهذا وهاء ما قاله الداودي إن نجدا من ناحية العراق فإنه توهم أن
نجدا موضع مخصوص وليس كذلك بل كل شيء ارتفع بالنسبة إلى ما يليه يسمى
المرتفع نجدا والمنخفض غورا.
Maksudnya: “Dan dengan ini dapat diketahui kelemahan pendapat
Ad-Dawudi yang waham (menyangka) bahawa najd itu suatu tempat khusus di
sebelah Iraq, sedangkan ia bukan sedemikian, bahkan setiap (tempat)
yang tinggi berbanding sekelilingnya, (maka) dinamakan yang tinggi itu
najd manakala yang rendah pula ghaur”[5] [5].
Maksud “Najd” Dari Sudut Bahasa.
Sumber rujukan bahasa yang utama seperti Lisan Al-’Arab[6] [6],
Mu’jam Maqayis Al-Lughah[7] [7] dan Al-Qamus Al-Muhit[8] [8] telah
mengesahkan bahawa makna asal perkataan najd ialah kawasan tanah
tinggi, sama seperti yang telah dinyatakan oleh Al-Khattabi dan
Al-Hafiz Ibn Hajar. Justeru gelaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
kepada negeri Iraq dengan nama najd mesti dilihat sebagai penjelasan
bagi bentuk muka bumi negeri berkenaan yang berada di kawasan tanah
tinggi dan bukannya panggilan bagi suatu tempat yang khusus.
Maksud “Najd” Berdasarkan Fakta Sejarah.
Dalam hadith berkenaan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah
menggambarkan negeri Najd sebagai tempat yang banyak berlaku gempa bumi
dan fitnah. Realiti sejarah telah membuktikan bahawa tempat yang
banyak berlaku gempa bumi ialah kawasan sekitar negeri Iraq dan Iran.
Begitu juga dengan fitnah yang berlaku di kalangan umat Islam,
bermula dari zaman Sahabat sehinga ke hari ini, kebanyakannya berpunca
di Iraq. Gerakan bughah (penentang khalifah), Khawarij dan Syiah pada
zaman Khalifah ‘Uthman dan ‘Ali radhiallahu ‘anhuma yang menjadi punca
tercetusnya fitnah perselisihaan di kalangan umat Islam bermula di
Kufah. Begitu juga Perang Jamal, Siffin, Nahrawan, fitnah pembunuhan
Husain cucunda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, fitnah Mukhtar
Ath-Thaqafi yang mendakwa kenabian dan serangan tentera Tartar pada
zaman kerajaan Bani Abbasiyyah, semuanya berlaku di Iraq.
Dalam konteks sejarah perkembangan hadith, Kufah terkenal sebagai
pusat penyebaran hadith palsu sehingga para perawi yang pergi dan
datang dari sana di ‘kuarantinkan’ riwayat mereka oleh para ulama
sebagai langkah berwaspada.
Manakala dalam konteks sejarah moden pula, dapat disaksikan
bagaimana dahsyatnya peperangan antara Iraq dan Iran, diikuti oleh
krisis perang Teluk pada tahun 1992 dan seterusnya penaklukan oleh
Amerika yang berterusan hingga ke hari ini. Ini berlanjutan dengan
peristiwa pembunuhan dan pengeboman di Iraq yang berlaku saban hari dan
ketika, manakala kesan dari segala fitnah itu pula dirasai dan diratapi
oleh umat Islam di seluruh dunia.
Semua fenomena yang berlaku di Iraq sejak dari dahulu sampai
sekarang adalah suatu fitnah yang benar-benar menepati apa yang
digambarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya itu.
Bahkan banyak riwayat hadith sahih yang menunjukkan bahawa kemunculan
Dajjal di akhir zaman juga berlaku di sebelah Iraq, iaitu di kawasan
Asbahan dan Khurasan yang sekarang ini termasuk dalam sempadan negara
Iran.
Maksud “Najd” Dari Sudut Geografi.
Dari sudut geografi pula, kawasan Najd yang meliputi daerah Hijaz
dan Al-Yamamah (tempat lahir Muhammad Ibn ‘Abd Al-Wahhab) secara
tepatnya terletak di sebelah Timur Makkah, dan bukannya di sebelah
Timur Madinah. Justeru oleh kerana Baginda Shallallahu ‘alaihi wasallam
telah mengisyaratkan bahawa fitnah itu datang dari sebelah Timur
Madinah, maka ia sudah tentu bermaksud negeri Iraq kerana ia
sememangnya terletak pada arah yang berkenaan. Dengan mengambil kira
tafsiran daripada keseluruhan riwayat hadith, penjelasan para ulama,
asal usul bahasa, geografi dan realiti sejarah, maka sahlah bahawa
perkataan Najd yang dimaksudkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam hadith itu ialah negeri Iraq dan kawasan persekitarannya yang
turut merangkumi negeri Iran pada masa kini.
Maksud “Najd” Dari Sudut Umum Atau Khusus.
Meskipun hadith itu menunjukkan kedudukan negara Iraq (dan sekarang
termasuk Iran) sebagai tempat yang banyak menimbulkan fitnah bagi umat
Islam, namun yang demikian itu langsung tidak menggambarkan kejahatan
tempat tersebut secara umum. Ini kerana penentuan sesuatu tempat
sebagai punca fitnah bukan bererti kecaman pada tempat tersebut secara
mutlak, tetapi ia bermaksud kecaman pada suasana yang berlaku di tempat
itu pada suatu masa yang tertentu[9] [9].
Sesuatu tempat yang dianggap sebagai tidak baik tidak semestinya
menggambarkan kejahatan seluruh penduduknya sepanjang masa, sebagaimana
sesuatu tempat yang dianggap sebagai baik juga tidak semestinya
menggambarkan kebaikan seluruh penduduknya sepanjang masa.
Justeru di samping fitnah yang banyak berlaku, negeri Iraq juga
melahirkan ramai tokoh ulama Islam yang terbilang, bahkan Kota Baghdad
pernah menjadi pusat pemerintahan dan perkembangan ilmu yang terbesar
dalam sejarah tamadun manusia.
Demikian juga di samping kebaikan yang ada pada negeri Yaman, Syam,
Makkah dan Madinah, fitnah masih tetap berlaku di negeri-negeri
berkenaan pada masa-masa yang tertentu. Sebagai contoh, dari negeri
Yaman puak Yahudi datang ke Madinah, dari negeri Yaman juga tentera
bergajah Abrahah datang menyerang Makkah dan di negeri Yaman juga
muncul Al-Aswad Al-’Anasi sebagai nabi palsu. Di negeri Syam pula
muncul Luqait Al-Azdi sebagai nabi palsu dan di situlah tempatnya medan
pertumpahan darah antara umat Islam, Yahudi dan Kristian kerana
perebutan tempat suci. Negeri Makkah dan Madinah juga menyaksikan
pertumpahan darah kerana menegakkan kalimah tauhid pada zaman Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam meninjau-ninjau di atas sebuah tembok Kota Madinah Baginda
bersabda:
إني لأرى الفتن تقع من خلال بيوتكم كوقع المطر.
Maksudnya: “Sesungguhnya aku melihat fitnah menimpa rumah-rumah kamu seperti titisan air hujan”[10] [10].
Semua ini menggambarkan betapa kesucian sesuatu tempat bukan jaminan
bagi terhindarnya fitnah. Demikian juga dengan kawasan-kawasan yang
tidak disebut oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai lokasi
fitnah, seperti Amerika, Eropah, Afrika dan Asia Tenggara, bukanlah
bermakna ia bebas daripada fitnah. Bahkan fitnah yang berlaku di India
misalnya mungkin lebih banyak daripada yang berlaku di Iraq itu
sendiri.
Kesimpulan lain yang dapat juga diambil daripada perbincangan ini
adalah, jika diandaikan perkataan Najd yang dimaksudkan oleh Nabi
merujuk kepada negara Arab Saudi yang meliputi daerah Hijaz dan
Al-Yamamah (yakni tempat lahir Muhammad Ibn ‘Abd Al-Wahhab), maka yang
demikian itu langsung tidak menggambarkan kecaman terhadap individu
tertentu yang tinggal di sana.
Kedua: Maksud “Tanduk Syaitan”.
Al-Hafiz Ibn Hajar rahimahullah mengemukakan empat pendapat yang
berbeza bagi menjelaskan maksud ungkapan ‘tempat muncul tanduk
syaitan’, iaitu[11] [11]:
I. Sebagai kiasan bagi menggambarkan kekuatan Syaitan dan apa saja
yang memohon pertolongan kepadanya (Syaitan) dalam penyesatan
(manusia).
II. Bahawa Syaitan menyelaraskan tanduknya dengan (arah) Matahari
ketika terbitnya, supaya penyembahan golongan penyembah Matahari akan
terarah kepadanya.
III. Bahawa bagi Matahari itu ada Syaitan yang mana ia terbit antara dua tanduknya.
IV. Bahawa pada hari itu penduduk sebelah timur Madinah terdiri
daripada golongan kafir, manakala fitnah yang pertama (fitnah
pembunuhan ‘Uthman radhiallahu ‘anhum) datangnya dari sebelah Timur,
dan ia menjadi sebab berlakunya perpecahan di kalangan umat Islam,
sedangkan perpecahan itu disukai dan digembirai oleh Syaitan.
Semua tafsiran di atas langsung tidak menunjukkan sasaran kepada mana-mana individu secara khusus.
Notakaki
[1] [12] Al-Bukhari, Muhammad Ibn Isma’il, Sahih Al-Bukhari, Dar Ibn
Kathir, Al-Yamamah, Beirut, 1987, 6: 2598, No: 6681. Tetapi dalam bab
yang bermaksud: “Apa yang dikatakan dalam hal gempa bumi dan
tanda-tanda Kiamat” beliau meriwayatkannya secara mauquf (terhenti
setakat Ibn Umar radhiallahu ‘anhum) sahaja. Lihat rujukan yang sama,
1: 351, No: 990.
[2] [13] Abu Nu’aim Al-Asbahani, Ahmad Ibn Abd Allah, Hilyah
Al-Auliya’, Dar Al-Kitab Al-Arabi, Beirut, Lubnan, 1405H, 6: 133 dan
Ibn ‘Asakir, ‘Ali Ibn Al-Hasan Ash-Shafi’ie, Tarikh Madinah Dimashq,
Dar Al-Fikr, Beirut, Lubnan, 1995, 1: 130. Matan (lafaz) ini juga
diriwayatkan oleh Ya’kub Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah, Al-Mukhallis
dalam Al-Fawaid Al-Muntaqah dan Al-Jurjani dalam Al-Fawaid, Lihat:
Al-Albani, Muhammad Nasir Ad-Din, Silsilah Al-Ahadith As-Sahihah,
Maktabah Al-Maarif, Riyadh, Arab Saudi, 1996, 5: 271-302.
[3] [14] Muslim Ibn Al-Hajjaj, Sahih Muslim, Tahqiq: Muhammad Fuad
‘Abd Al-Baqi, Dar Ihya’ At-Turath Al-’Arabi, Beirut, Lubnan, 1991, 4:
2229, No: 2905. Selain daripada riwayat Muslim ini, riwayat At-Tabrani
juga jelas menyebut negeri ‘Iraq sebagai punca datangnya fitnah. Lihat:
At-Tabrani, Sulaiman Ibn Ahmad, Al-Mu’jam Al-Kabir, Tahqiq: Hamdi ‘Abd
Al-Majid As-Salafi, Maktabah Al-’Ulum Wa Al-Hikam, Mausil, ‘Iraq,
1984, 2: 54-55, No: 1270 dan 6: 91, No: 5608.
[4] [15] Al-’Asqalani, Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar, Fath Al-Bari Bi
Sharh Sahih Al-Bukhari, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, 1379H, 13: 47.
[5] [16] Al-’Asqalani, Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar, Fath Al-Bari Bi
Sharh Sahih Al-Bukhari, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, 1379H, 13: 47.
[6] [17] Ibn Manzur, Muhammad Ibn Mukrim, Lisan Al-’Arab, Dar Sadir, Beirut, Lubnan, t.th, 3: 413-419.
[7] [18] Ibn Faris, Ahmad Ibn Faris, Mu’jam Maqayis Al-Lughah, Dar Al-Jil, Beirut, Lubnan, 1991, 5: 392.
[8] [19] Al-Fairuzabadi, Muhammad Ibn Ya’kub, Al-Qamus Al-Muhit, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, Lubnan, 1987, Hal: 410.
[9] [20] ‘Abd Ar-Rahman Ibn Hasan, Majmu’ah Ar-Rasail Wa Al-Masail,
Dalam: Nasir Ibn ‘Abd Al-Karim Al-’Aql, Islamiyyah La Wahhabiyyah, Dar
Kunuz Isybiliya, Riyadh, Arab Saudi, 2003, Hal: 282-283
[10] [21] Al-Bukhari, Muhammad Ibn Isma’il, Sahih Al-Bukhari, Dar Ibn Kathir, Al-Yamamah, Beirut, 1987, 6: 2589, No: 6651.
[11] [22] Al-’Asqalani, Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Hajar, Fath Al-Bari Bi
Sharh Sahih Al-Bukhari, Dar Al-Ma’rifah, Beirut, 1379H, 13: 46-47.